Ragamutama.com, JAKARTA — Di tengah dorongan kuat dari Bank Indonesia (BI) agar sektor perbankan nasional memperluas sumber pendanaan dari luar negeri melalui Rasio Pendanaan dari Luar Negeri (RPLN), PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) atau BBCA secara konsisten memilih untuk tetap mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) sebagai tulang punggung likuiditasnya. Pendekatan ini menunjukkan strategi yang berbeda dalam menghadapi arahan regulator.
Hera F. Haryn, Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, menegaskan bahwa posisi likuiditas perseroan saat ini berada dalam kondisi yang sangat memadai. Hal ini didukung oleh pertumbuhan DPK yang solid dan berkelanjutan. “BCA mengandalkan DPK sebagai sumber pendanaan utama untuk pembiayaan, di mana dana murah atau Current Account and Savings Account (CASA) menjadi kontributor utama seiring dengan meningkatnya volume transaksi,” jelas Hera kepada Bisnis, dikutip Selasa (29/7/2025).
Per Maret 2025, total DPK BCA tercatat naik 6,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp1.193 triliun. Mayoritas DPK ini, sekitar 82%, didominasi oleh dana CASA yang mencapai Rp979 triliun. Selain itu, frekuensi transaksi yang diproses BCA juga menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 19% yoy pada kuartal I/2025, mencerminkan efektivitas strategi hybrid banking yang mengoptimalkan ekosistem layanan online dan offline untuk mempertahankan posisi pasar dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Meskipun BCA tidak secara eksplisit menjadikan RPLN sebagai strategi pendanaan utama, manajemen menyatakan tetap mencermati setiap arahan dari regulator, termasuk ketentuan mengenai penyesuaian RPLN. “BCA senantiasa mengelola likuiditas secara pruden serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam penerapan manajemen risiko,” imbuh manajemen, menegaskan komitmen mereka terhadap pengelolaan yang cermat.
Berbeda dengan pendekatan BCA, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) justru telah mencatatkan Rasio Pendanaan dari Luar Negeri (RPLN) di kisaran 22% per Mei 2025. Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara, menyatakan bahwa posisi likuiditas perusahaan saat ini masih sangat mampu mengakomodasi target pertumbuhan aset yang telah ditetapkan.
Bank Mandiri secara proaktif terus meningkatkan sinergi dengan mitra perbankan global guna memperkuat struktur pendanaan dan menjaga ketahanan likuiditasnya. Strategi ini ditopang oleh jaringan Kantor Luar Negeri (KLN) serta diversifikasi instrumen pendanaan jangka pendek dari luar negeri. Ashidiq juga menyambut baik kebijakan Bank Indonesia yang mendorong perbankan nasional untuk tidak hanya bergantung pada likuiditas dari pasar dalam negeri, melihat kebijakan RPLN sebagai langkah yang memberikan ruang pengelolaan likuiditas yang lebih fleksibel dan adaptif.
“Kebijakan RPLN dari Bank Indonesia sangat mendukung Bank Mandiri untuk terus menjaga likuiditas secara prudent dan fleksibel sesuai dengan dinamika pasar,” tegas Ashidiq, menyoroti manfaat kebijakan tersebut bagi operasional Bank Mandiri.
Sebagai informasi, Bank Indonesia telah menaikkan batas maksimum RPLN dari 30% menjadi 35% dari modal bank, yang mulai berlaku efektif sejak 1 Juni 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 12 Tahun 2025. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperluas pendanaan eksternal perbankan nasional, sembari tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan risiko.