‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?

- Penulis

Selasa, 20 Mei 2025 - 13:33 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan saat dorongan untuk menjadikannya pahlawan nasional memicu perdebatan sengit.

Bagi sebagian orang, dia adalah “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun bagi banyak lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat.

Selama 32 tahun sejak 1966, Indonesia berada dalam ‘genggaman’ Soeharto. Kini, bertahun-tahun setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 saat era Reformasi yang penuh gejolak, sebuah gerakan untuk menganugerahinya gelar pahlawan nasional muncul, membuka luka lama dan memicu perdebatan nasional.

Tetapi siapa sesungguhnya Soeharto? Bagaimana dia naik ke tampuk kekuasaan dan apa saja kontroversinya?

Melalui sudut pandang para sejarawan, pengamat sosial dan ekonomi, BBC News Indonesia menganalisis rekam jejak Soeharto dan mencoba menjawab apakah dia seorang pemimpin yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, atau autokrat yang memperkaya diri sendiri dan kroninya dengan mengorbankan HAM rakyatnya? Dan apakah Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional?

Sepak terjang Soeharto

Lini masa yang disertai catatan ini akan mencoba merangkum bagaimana Soeharto mengimbangi tuntutan-tuntutan pembangunan dan strategi untuk mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun.

1940: Masuk sekolah militer

Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, pada 1921.

Menurut Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001), Soeharto masuk sekolah militer pada bulan Juni 1940 di Gombong, Jawa Tengah. Soeharto bersama pemuda-pemuda lainnya disiapkan Belanda guna menghadapi Jepang yang kian mendekat.

Tapi, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, Soeharto besar dalam pendidikan militer Jepang—yang kelak akan memengaruhi karakternya.

Menurut Bondan, ada dua kelompok besar tentara TNI yang muncul dan tumbuh di masa revolusi, yakni kelompok yang dididik dalam tradisi militer Belanda—biasanya menjunjung tinggi profesionalitas—dan kelompok kedua dibesarkan dalam tradisi militer Jepang.

Dalam tradisi militer didikan Jepang, kata Bondan, tentara mesti terlibat dalam segala urusan termasuk pemerintah, karena tentara mereka adalah tentara pendudukan yang bersifat fasistik.

“Mau tidak mau, ini tentu memengaruhi karakteristik dari para militer yang dibesarkan di masa Jepang, termasuk Pak Harto,” kata Bondan kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

1949: Memimpin pasukan dalam Serangan Umum Satu Maret

Pada Maret 1949, saat berpangkat letnan kolonel, Soeharto memimpin pasukan penyerbu Yogyakarta yang dikuasai Belanda dan berhasil memegang kendali selama enam jam.

Peristiwa yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret ini belakangan menjadi sumber legitimasi dan mitos Soeharto.

Pada masa Orde Baru, Soeharto diposisikan sebagai pengambil inisiatif serangan yang menandakan kekuatan Republik yang baru tetap ada. Namun ternyata, ceritanya tak sesederhana itu.

“Sultan Hamengkubono IX mengatakan sebaiknya dilakukan suatu gerakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia ini masih ada,” kata sejarawan senior, Asvi Warman Adam, seraya menunjukkan bahwa Sultan Yogyakarta paling sedikit juga mengambil inisiatif dan berperan penting.

  • Serangan Umum 1 Maret 1949 dan wawancara Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada BBC Seksi Indonesia tentang ‘siapa penggagas serangan’
  • Sejarah Dwifungsi ABRI: Panggilan sejarah, kelemahan pemimpin sipil, atau hasrat militer berkuasa?

“Dan Sultan Hamengkubono mengatakan bahwa dia sudah berkonsultasi melalui kurir itu dengan Jenderal Sudirman,” lanjut Asvi.

Bondan Kanumoyoso menguatkan pendapat ini, seraya mengatakan bahwa posisi Soeharto pada saat itu layaknya komandan distrik militer saat itu.

Posisi itu, menurut Bondan, tak mungkin mengambil keputusan besar.

“Sekarang di Kementerian Pertahanan itu ada diorama. Di diorama itu diambil jalan tengahnya. Jadi bukan Soeharto, bukan Sultan Hamengkubono IX, tapi Mayor Jenderal Bambang Sugeng [yang berperan],” ujar Bondan.

“Bambang Sugeng itu atasan Soeharto yang mengeluarkan surat perintah untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda.”

1957: Soeharto jadi Pangdam Diponegoro

Presiden Sukarno mengusir hampir 50 ribu orang Belanda yang tinggal di Indonesia, salah satunya dipicu ketegangan antara Indonesia dan Belanda soal status Papua—yang kala itu dikenal dengan Irian Barat.

Pada periode inilah diluncurkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Pada saat ini pula, menurut Bondan, militer mulai berbisnis.

“Ada 50.000 orang diusir dari Indonesia tahun 1957-1958, sehingga terjadi kekosongan. Nah, yang paling siap ketika itu, buruh kan juga pada enggak sekolah, itu tentara. Karena itulah kemudian tentara masuk ke dalam dunia bisnis.”

Soeharto—yang kala itu menjabat sebagai panglima daerah militer (Pangdam) Diponegoro dan bertanggung jawab atas wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta—mulai menjalin aliansi dengan pengusaha-pengusaha lokal, termasuk pengusaha Tionghoa.

  • Gula di koperasi tentara – Bagaimana militer berbisnis di Indonesia?
  • TNI minta larangan tentara berbisnis dicabut – Mengapa anggota TNI aktif tidak boleh berbisnis?

1961: Memimpin operasi merebut Irian Barat dari Belanda

Presiden Sukarno menunjuk Soeharto, saat itu mayor jenderal, sebagai panglima Komando Mandala dalam operasi memperebutkan Papua dari Belanda.

Soeharto bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan operasi militer untuk merebut wilayah yang disebut Irian Barat saat itu.

“Kenyataan setelah operasi di Irian Barat itu paling sedikit ada dua orang yang mendapat [penghargaan] Bintang Sakti—Bintang Sakti itu untuk mereka yang dianggap sangat berani di dalam melakukan operasi itu—yaitu Beni Moerdani dan Untung,” kata Bondan.

LB Moerdani kelak akan menjadi andalan Soeharto hingga akhirnya tersingkir. Sementara Letnan Kolonel Untung Syamsuri adalah Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa—pasukan pengawal presiden—yang kelak dituduh memimpin Gerakan 30 September.

Soeharto tak dapat medali dari operasi ini.

1965: G30S dan naik ke tampuk kekuasaan

Saat sejumlah jenderal terbunuh dalam apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S), Soeharto mengambil alih kekuasaan militer yang kosong—berbekal tongkat komando Kostrad yang dipegangnya sejak 1963.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang pembunuhan para jenderal.

Beberapa bulan setelahnya, rangkaian ‘pembersihan’ besar-besaran di berbagai daerah digelar, para anggota PKI dan mereka yang dituduh terlibat ditangkap dan dibunuh.

Bahkan mereka yang terafiliasi dengan PKI dan komunisme dipenjara, kerap kali tanpa proses pengadilan.

“Memang ada perintah secara lisan dari Soeharto dan Nasution untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya,” kata Asvi.

“Kita tahu bahwa yang melakukan operasi militer itu adalah Sarwo Edhie di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Dan kemudian kita ketahui jumlah korbannya itu sangat-sangat besar, 500 ribu orang angka yang moderat untuk itu.

Sementara Bondan Kanumoyoso meragukan peristiwa pembunuhan besar-besaran tanpa proses peradilan ini berlangsung spontan.

“Ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa ada daftar nama yang jatuh ke tangan pihak Angkatan Darat yang kemudian dijadikan pegangan untuk melakukan pembersihan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”

Rangkaian peristiwa itu bergulir saat Soeharto memegang komando.

  • Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
  • Jejak kekerasan 1965 di Aceh Tengah dan ikhtiar penyembuhan – ‘Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon’
  • Dokumen AS soal 1965: Apakah Suharto terlibat dan enam hal lain yang harus Anda ketahui

1966: Supersemar bekal ambil alih kekuasaan

Gejolak politik akibat G30S dan rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani pada 11 Maret 1966.

Surat ini berisi perintah agar Letjen Soeharto mengambil tindakan yang diperlukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara, yang saat itu sedang mengalami gejolak politik akibat peristiwa G30S.

Surat ini jadi dasar bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dan menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada Juli 1966, Soeharto ditunjuk sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera I. Secara de facto dia adalah kepala pemerintahan, meski Sukarno masih menjabat sebagai presiden.

Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai Penjabat Presiden hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Setahun setelahnya, Soeharto dilantik menjadi presiden mandataris.

1967: UU Kehutanan disahkan – ‘Kejahatan ekonomi dan sosial terbesar Orde Baru’

Di tengah masa transisi yang rawan, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

Ini adalah UU yang mengatur tentang hutan di Indonesia. Undang-undang ini menyatakan bahwa hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai oleh negara, dan hutan perlu dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

“Pemerintah Soeharto dengan kementeriannya berlakukan [UU ini]. Bahwa semua lahan-lahan penduduk di dalam kawasan hutan, itu tidak lagi berpedoman pada UU PA [Pokok Agraria] tapi pada UU Kehutanan,” kata antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Affif.

  • Di balik pembelian saham mayoritas Freeport oleh Indonesia
  • Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
Baca Juga :  TikTok Didenda Miliaran Rupiah: Pelanggaran Privasi di Eropa Terungkap!

UU Kehutanan ini tidak mengakui kampung-kampung atau semua kawasan yang dikelola rakyat di dalam kawasan hutan.

“Implikasinya, seluruh penduduk di dalam kawasan hutan boleh digusur, boleh dipindahkan, kampungnya boleh dihapus, kemudian kepemilikannya boleh dihapus, dan tidak ada hak di dalam kampung dan penduduk di dalam kawasan hutan untuk mengklaim lahan,” jelas Suraya.

Beleid ini menjadi semacam ‘karpet merah’ untuk usaha-usaha pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam.

“Itu adalah kejahatan ‘ecosoc’ [economy and social] terbesar yang dilakukan Soeharto dan pemerintahannya,” tegas Suraya kemudian.

1969: Repelita diluncurkan, ‘Revolusi Hijau’ dimulai

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) adalah program pembangunan prioritas yang dirancang pemerintah Orde Baru selama periode lima tahun.

Repelita Pertama berfokus pada pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur.

Sektor pertanian digenjot habis-habisan dengan program Gerakan Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang merupakan implementasi Revolusi Hijau.

Program ini secara intensif mengenalkan petani pada teknologi pertanian modern, termasuk penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan teknik irigasi yang lebih baik.

Peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Abdul Hamid, mengatakan sebelum 1970-an, konflik air terjadi di sejumlah daerah.

Namun konflik ini mereda setelah adanya penataan irigasi.

“Kalau kita menanyakan seorang petani yang hidup pada masa itu, maka mereka itu memang memperoleh tingkat kemakmuran yang meningkat. Sekalipun ada proses-proses ‘pemaksaan’ [dalam pelaksanaan],” kata Abdul Hamid.

1969: Soeharto mulai mengirim tahanan ke Pulau Buru

Pada tahun yang sama Soeharto memulai rencana pembangunan lima tahunnya, dia mulai mengirim tahanan politik ke Pulau Buru di bagian timur Indonesia.

Diperkirakan 11.000 tahanan politik yang dituduh mendukung paham komunisme ditahan di Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan.

Sementara tahanan politik perempuan—sebagian besar adalah anggota Gerwani dan anggota Gerakan sayap PKI—ditahan di Kamp Plantungan, Jawa Tengah.

Para tahanan politik ini menjalani kerja paksa selama 11 tahun keberadaan pengasingan tersebut mulai dari 1969 hingga 1979.

Sejarawan senior Asvi Warman Adam untuk menunjukkan bahwa Soeharto bertanggung jawab langsung atas pelanggaran HAM ini.

“Pelakunya jelas. Penanggung jawabnya itu adalah jaksa agung yang ditunjuk [presiden], surat perintahnya datang dari Panglima Kopkamtib waktu itu,” jelas Asvi.

“Panglima Komkamtib dengan presiden itu garis komandonya itu lurus,” katanya kemudian.

Pengiriman tapol ke Pulau Buru ini juga punya implikasi lainnya. Penduduk lokal yang terbiasa makan sagu mulai mengonsumsi beras.

  • Cerita penyintas 1965 yang ‘diasingkan’ di kamp khusus tapol perempuan Plantungan
  • Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65
  • ‘Dosa turunan’ dicap PKI, keluarga penyintas 65 masih mengalami diskriminasi: ‘Jangan bedakan kami’

“Pada 1930-an itu semua orang [di Pulau Buru] makan sagu, tiba-tiba sekarang, dia bisa jadi pusat produksi beras,” ujar Asvi.

Beras mulai diperkenalkan dan dibudidayakan secara masif di Pulau Buru dengan aktor utama para tapol yang melakukan “kerja paksa”.

“Di zaman [presiden] Jokowi, [pada 2015], dia meresmikan dam dan mendeklarasikan Buru sebagai lumbung pangan Provinsi Maluku.”

1973: Penggabungan parpol

Untuk menjamin stabilitas politik, Soeharto menggabungkan (fusi) partai-partai politik menjadi tiga golongan.

Partai-partai Islam, seperti NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai-partai nasional dan non-Islam digabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Golongan Karya adalah kekuatan baru yang dirancang untuk menjadi pendukung pemerintah.

Implikasi dari fusi partai ini, menurut peneliti senior dari LP3ES Abdul Hamid, ada kelompok yang tidak puas.

“Kelompok-kelompok tertentu dipaksa untuk masuk dalam sebuah lorong tertentu. Padahal keragaman bangsa ini luar biasa.”

1974: Peristiwa Malari

Protes mahasiswa yang mengkritik investasi asing dan praktik korupsi berbuah kerusuhan di Jakarta—dikenal sebagai Peristiwa Malari, atau Malapetaka 15 Januari.

“Soeharto ingin menciptakan industrialisasi [dengan menarik investasi]. Bagaimana itu bisa dibangun dalam tempo 10 tahun? Kan tidak mungkin, karena basis masyarakat kita adalah pertanian,” kata Abdul Hamid.

  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
  • Pasang surut gerakan mahasiswa dan kebijakan depolitisasi kampus pada masa Orde Baru

Dia melanjutkan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi Soeharto juga dirancang dari atas ke bawah alias tidak memperhatikan situasi sosial dan budaya masyarakat.

“Saat itu menteri-menterinya teknokrat semua. Ahli ilmu sosial tidak banyak dilibatkan oleh Soeharto.”

“Sejarawan, budayawan, kurang banyak dilibatkan dalam proses pembangunan, kebijakan pembangunan. Semua teknokrat waktu itu, akibatnya ya seperti itu,” ujar Abduh Hamid kemudian.

1975: Aneksasi Timor Timur

Pada 7 Desember 1975, pasukan militer Indonesia menyerbu Timor Timur—kini menjadi negara bernama Timor-Leste. Dilaporkan ada lebih dari 20.000 tentara dikerahkan dalam invasi yang dikenal sebagai Operasi Seroja.

Invasi hanya berselang dua hari dari kunjungan Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger pada 5 Desember.

“Jadi seakan-akan itu ‘disetujui’ oleh Amerika. Dengan alasan bahwa akan ada kelompok komunis di sana yang akan menguasai Timur Leste,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

  • Henry Kissinger, mantan Menlu AS yang menyetujui serangan Indonesia ke Timor Leste, tutup usia
  • Kembalinya anak Timor Leste yang ‘diambil paksa’ oleh TNI
  • Pembantaian di Gereja Suai: Kisah gadis yang diculik dan dikawin paksa, akhirnya bersatu dengan keluarga di Timor Leste setelah 23 tahun

Indonesia resmi menganeksasi Timor Timur pada 1976 dan menjadikannya sebagai provinsi ke-27.

Masuknya Timor Timur menjadi bagian Indonesia menjadi awal “pendudukan” Indonesia di Timor Timur, sebelum akhirnya provinsi ini menggelar referendum pada 1999 dan memilih berpisah dari Indonesia.

1983: ‘Bapak Pembangunan’ dan ‘Petrus’ dimulai

MPR menganugerahi Soeharto gelar “Bapak Pembangunan Indonesia”, tertuang dalam TAP MPR No. IV/MPR/1983.

Gelar ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang signifikan selama masa pemerintahannya melalui program-program Repelita.

Pada tahun yang sama juga dimulai kampanye pemberantasan preman yang dikenal dengan nama Pembunuhan Misterius atau ‘Petrus’ yang berlangsung hingga 1985.

Ribuan orang yang diduga atau sebagai pelaku kriminal yang dibunuh untuk meredam kriminalitas.

“Soeharto di dalam otobiografinya mengakui itu. Jadi menurut hemat saya tidak ada lagi alasan untuk mengelak dari pelanggaran HAM berat itu,” tegas Asvi.

  • Penembakan misterius 1982-1985: Kisah pembunuhan petinju Johny Mangi dan teror potongan kepala di Kota Malang
  • Penembakan misterius 1982-1985: ‘Walau bapak saya gali, dia tak bisa dibunuh tanpa diadili dulu’
  • Penembakan misterius 1982-1985: ‘Saya masuk daftar yang harus dibunuh, padahal saya bukan gali’

1984: Swasembada Beras

Indonesia mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya pada 1984 setelah intensifikasi pertanian beras dilakukan.

Setahun berikutnya, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberi penghargaan kepada Soeharto untuk prestasi ini.

“Produksi pangan kita itu benar-benar naik drastis ya. Antara tahun 1974-1984 [produksi beras Indonesia] itu yang tertinggi kedua di Asia,” kata Grace Laksana, sejarawan yang meneliti Revolusi Hijau di Indonesia.

Tapi kata dia ‘harga’ yang harus dibayar cukup mahal. Petani menjadi tergantung pada bibit, pupuk, dan pestisida yang diproduksi perusahaan-perusahaan internasional.

Ketimpangan makin nyata karena hanya petani besar yang bisa memanfaatkan fasilitas pemerintah, kata Grace.

Dampak lainnya: hilangnya keragaman bibit-bibit lokal dan menurunnya kualitas tanah akibat penggunaan bahan-bahan kimia.

Untuk menyukseskan program ini, militer kerap kali dipakai pemerintah.

“Revolusi Hijau [berlangsung] Pasca-Peristiwa 65, jadi suasananya itu masih sangat anti-komunis. Retorika ini yang juga dipakai oleh aparat-aparat desa untuk memastikan bahwa Revolusi Hijau berjalan. Warga desa ya takutlah daripada dicap komunis, ‘Sudahlah saya ikut saja.'”

1990: Kekuatan Islam yang sedang tumbuh

Presiden Soeharto naik haji dan menyemat ‘Haji Muhammad’ di depan namanya.

Pada Desember 1990 dia juga mengizinkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri dengan BJ Habibie sebagai ketuanya.

Jilbab mulai diperbolehkan di sekolah-sekolah. Pada fase ini para pengamat menyebut Soeharto mulai merangkul kekuatan politik Islam.

“Waktu itu ada istilah ‘Ijo Royo-Royo’ di Parlemen,” kata Abdul Hamid dari LP3ES.

“Secara politik Soeharto memang mencari sandaran. Karena waktu itu Golkar telah menimbulkan kebencian di kelompok-kelompok Islam.”

Tapi menurut Abdul Wahid, ada penjelasan lebih dari itu.

“Saat itu gelombang kaum santri yang intelektual sudah mulai tumbuh. Itu tidak mungkin Soeharto melakukan [merangkul kekuatan Islam] di tahun 1970-an. Tidak mungkin.”

1998: Soeharto lengser

Sejak pertengahan 1990-an kritik terhadap Soeharto terus mengeras.

Sementara itu keadaan ekonomi semakin terpuruk akibat krisis ekonomi global. Krisis ekonomi di Thailand pada 1997 merembet ke Indonesia.

Nilai tukar rupiah akhirnya terjun bebas, sementara banyak perusahaan bangkrut.

Baca Juga :  Mikhael Sinaga Diperiksa Polisi Terkait Pencemaran Nama Jokowi

Pada Maret 1998, Soeharto terpilih kembali dengan suara bulat untuk masa jabatan ketujuh sebagai presiden. Kala itu, gelombang demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan terjadi di sejumlah daerah.

Di bawah tekanan mahasiswa, Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.

Sejak itu, berakhir pula kepresidenannya yang telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan dimulailah periode reformasi politik (Reformasi).

  • Hari-hari jelang Reformasi 1998 dalam gambar dan catatan
  • 20 tahun reformasi: Lini masa foto dan video BBC sejak Soeharto berkuasa hingga jatuh
  • Propaganda Orde Baru di balik acara Cerdas Cermat dan Kelompencapir?

2006: Penuntutan dugaan korupsi dihentikan

Penyelidikan atas dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dimulai tak lama setelah dia lengser dari jabatannya.

Pada 22 Oktober 1998, Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Suharto.

Namun pada 2006, Kejaksaan mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) yang isinya “menghentikan penuntutan dugaan korupsi Seoharto di tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa tak layak diajukan ke persidangan”.

2008: Soeharto meninggal

Setelah dirawat selama 23 hari, akibat komplikasi gangguan kesehatan, Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008.

Jenazah Soeharto dibawa ke Solo dan dimakamkan secara militer di Kompleks Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.

2024: Nama Soeharto dihapus dari TAP MPR

Sekitar 16 tahun setelah kepergiannya, nama Soeharto kembali mencuat tahun lalu saat MPR resmi menghapus namanya dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, tanpa mencabut ketetapan MPR seluruhnya.

Dalam rapat gabungan pimpinan MPR, pada 25 September 2009, disepakati bahwa penyebutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR No.11 kini dianggap selesai. Alasannya karena Soeharto telah meninggal dunia.

Pasal 4 Tap MPR itu telak-telak menyebut Soeharto dan berbunyi:

“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto.”

Keputusan MPR menghapus nama Presiden kedua Soeharto dari Ketetapan MPR soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang diiringi dengan wacana memberikan gelar pahlawan nasional disebut sebagai sebuah penghinaan bagi keluarga penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu.

Penolakan juga datang dari beragam aktivis kemanusiaan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).

Penghapusan nama dalam TAP MPR tak serta merta lolos jadi pahlawan nasional?

Pada April silam, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan Soeharto “berpeluang” mendapat gelar pahlawan nasional tahun ini.

Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial kini sedang mengkaji 10 nama yang diusulkan ke kementerian, termasuk nama Soeharto dan Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid.

Dijelaskan oleh menteri yang akrab disapa Gus Ipul ini, pemberian gelar pahlawan untuk kedua mantan presiden tersebut adalah untuk mengingat jasa-jasa baiknya.

“Kita mempertahankan nilai-nilai yang baik sambil kita juga mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Jadi yang baik, yang lama kita mempertahankannya. Yang jelek ya enggak usah diteruskan,” kata Gus Ipul, seperti dikutip dari detik.com.

Selain dua nama di atas, ada nama KH. Bisri Sansuri, ulama NU yang terlibat dalam perjuangan fisik di zaman Jepang dan terlibat di usaha persiapan kemerdekaan.

Ada pula Idrus bin Salim Al-Jufri, ulama besar dari Palu Sulawesi Tengah yang mendirikan Alkhairaat, organisasi yang membangun ratusan madrasah dan memajukan pendidikan di kawasan timur.

Dari Aceh, ada nama Teuku Abdul Hamid Azwar, tokoh yang terlibat pertempuran melawan Jepang dan mendirikan Angkatan Perang Indonesia di Aceh.

Sementara nama KH Abbas Abdul Jamil, ulama yang dijuluki ‘Singa dari Jawa Barat’ dan terlibat langsung dalam pertempuran 10 November di Surabaya, pun diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional tahun ini.

Pada akhir April silam, Gus Ipul menyebut bahwa nama Soeharto sudah memenuhi syarat sebagai calon kandidat penerima gelar pahlawan nasional, setelah pihak keluarga memberikan surat persetujuan.

“Sudah selesai semua kalau syarat-syaratnya. Beliau itu kan sudah dua kali diajukan. Sudah dua kali diajukan dari tahun 2010, 2015, dan sekarang secara normatif sudah terpenuhi semua,” kata Gus Ipul, seperti dikutip dari Tempo.co.

Ke depan, TP2GP akan bersidang pada 17 Juli untuk menentukan sosok yang diberi gelar pahlawan nasional tahun ini.

Tapi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, bilang ada sejumlah syarat untuk mendapat gelar, tanda jasa, atau tanda kehormatan, berdasar Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2009. Antara lain:

  • WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
  • memiliki integritas moral dan keteladanan
  • berjasa terhadap bangsa dan negara
  • berkelakuan baik
  • setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara
  • tidak pernah dipidana, minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

“Mengacu pada syarat umum poin 4, pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik,” kata Hendardi lewat keterangan resminya.

Pernyataan Hendardi ini merujuk pada berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto, serta dugaan korupsi yang dilakukan kroni-kroninya.

Akumulasi persoalan ini, menurut Hendardi, menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan melalui Gerakan Reformasi 1998.

Dia menambahkan, tidak adanya klarifikasi politik yang memadai dan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh dan terjadi pada pemerintahan Soeharto yang sulit dapat menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menjadi tidak relevan.

Suraya Affif, selaku antropolog dari Universitas Indonesia, juga tidak setuju dengan rencana pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan.

“Ya enggak bisalah. Dia memang membuat stabilitas. Tapi kan dia menggunakan militer. Yang membuat kita terus berhadapan [antara sipil dan militer].”

Menurut sejarawan senior Asvi Warman Adam, TAP MPR itu masih berlaku dan nama Soeharto masih bisa diseret kembali karena persoalan hukum yang tidak tuntas.

“Dalam proses hukum pidana itu sudah selesai, dalam arti Soeharto sudah meninggal dan dia tidak lagi bisa dilanjutkan tuntutannya. Tapi tuntutan perdatanya masih belum tuntas,” tegas Aswi.

Asvi menyebut Soeharto sebagai figur kontroversial, apalagi untuk dijadikan pahlawan nasional.

Tapi itu bukan berarti ‘tradisi’ penganugerahan gelar pahlawan nasional mesti dihentikan, sebab menurutnya masih banyak figur-figur lain yang bisa dijadikan alternatif untuk diangkat sebagai pahlawan.

Misalnya, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso (1921- 2004), yang menjabat sebagai kepala kepolisian RI dari 1968-1971.

Hoegeng dikenal luas sebagai sosok polisi yang jujur, berintegritas tinggi, dan sederhana.

“Dan [dia] sudah-sudah disebut oleh Gus Dur [yang] menyebut hanya dua polisi yang jujur: polisi tidur, dan Hoegeng. Menurut saya layak. Hoegeng itu juga sudah lama diusulkan, kenapa tidak diangkat?” kata Aswi.

Hoegeng juga amat relevan diangkat sebagai pahlawan dalam situasi saat ini, “Itu relevan juga dengan kondisi sekarang ketika sedang digalakkan pemberantasan korupsi gitu.”

  • Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’
  • Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan
  • 20 tahun reformasi: Lini masa foto dan video BBC sejak Soeharto berkuasa hingga jatuh
  • Dokumen rahasia Amerika: ‘Presiden Clinton desak Presiden Soeharto teken perjanjian IMF’
  • Soeharto ‘dihidupkan lagi’ melalui AI, ajak coblos Golkar – Apakah ampuh mendongkrak elektabilitas partai?
  • Indonesia-China siapkan proyek satu juta hektare sawah di Kalteng – Ulangi kegagalan ‘food estate’ Soeharto?
  • Hari-hari jelang Reformasi 1998 dalam gambar dan catatan
  • Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
  • Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan
  • Apa peran Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin dalam sejarah Indonesia?
  • Pahlawan Nasional: Mengapa Gus Dur dan sejumlah tokoh terus luput dari gelar itu
  • Prabowo janji dukung Marsinah jadi pahlawan nasional di hadapan ribuan buruh – Siapa Marsinah dan mengapa dia dibunuh?
  • Kisah Rasuna Said sang ‘Singa Betina’ dan Martha Christina Tiahahu sang remaja pemberani
  • Wacana permintaan maaf negara ke Sukarno, sejarawan: ’Pintu masuk meluruskan sejarah G30S dan membebaskan dari trauma masa lalu’
  • Hari Pahlawan: Siapa saja dan ke mana para ‘Ibu Bangsa’?
  • Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’
  • Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan
  • 20 tahun reformasi: Lini masa foto dan video BBC sejak Soeharto berkuasa hingga jatuh

Berita Terkait

Maxime Bouttier Ungkap Detik-Detik Mendebarkan Jelang Pernikahan dengan Luna Maya
Terpesona dengan Shabrina Leanor, Maia Estianty Naik ke Atas Meja
Persib Bandung Siap Raih Kemenangan di Laga Akhir Liga 1 Musim 2024-2025
Cristiano Ronaldo Kembali ke Real Madrid? Petunjuk dari Legenda Klub di Bursa Transfer
Cristiano Ronaldo Kembali ke Real Madrid? Transfer Mengejutkan di Usia 40 Tahun!
Pengumuman Skuad Timnas Indonesia Bikin Media Vietnam Khawatirkan Dampak ASEAN All-Stars
Kardinal Suharyo: Paus Leo XIV Teruskan Jejak Paus Fransiskus
Josh Freese Out: Foo Fighters Umumkan Pengganti Drummer Resmi!

Berita Terkait

Selasa, 20 Mei 2025 - 17:21 WIB

Maxime Bouttier Ungkap Detik-Detik Mendebarkan Jelang Pernikahan dengan Luna Maya

Selasa, 20 Mei 2025 - 13:33 WIB

‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?

Selasa, 20 Mei 2025 - 12:21 WIB

Terpesona dengan Shabrina Leanor, Maia Estianty Naik ke Atas Meja

Selasa, 20 Mei 2025 - 06:01 WIB

Persib Bandung Siap Raih Kemenangan di Laga Akhir Liga 1 Musim 2024-2025

Selasa, 20 Mei 2025 - 04:09 WIB

Cristiano Ronaldo Kembali ke Real Madrid? Petunjuk dari Legenda Klub di Bursa Transfer

Berita Terbaru

finance

Kondisi Global Membaik, Sektor Saham Ini Diprediksi Melonjak!

Selasa, 20 Mei 2025 - 22:13 WIB

technology

Demo Ojol Surabaya: Pengemudi Tuntut Kenaikan Tarif yang Pasti!

Selasa, 20 Mei 2025 - 22:04 WIB

entertainment

Blake Lively: Investigasi Wayfarer Studios Hanya Sandiwara Belaka?

Selasa, 20 Mei 2025 - 21:52 WIB