Bahaya Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Legitimasi Kekuasaan, Marginalisasi Perempuan & Papua

Avatar photo

- Penulis

Rabu, 14 Mei 2025 - 11:51 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Rencana pemerintah untuk menyusun ulang narasi sejarah nasional telah memicu berbagai tanggapan. Beberapa sejarawan khawatir bahwa upaya ini dapat menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan serta menghilangkan narasi krusial, khususnya yang berkaitan dengan peran perempuan dan sejarah Papua. Namun, ketua tim penulis buku tersebut meyakinkan bahwa tidak akan ada campur tangan dari pihak luar.

Pemerintah Indonesia berencana meluncurkan sebuah ‘buku induk’ sejarah nasional pada bulan Agustus mendatang, sebagai persembahan istimewa untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80.

Menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, buku ini merupakan “penyempurnaan dan perluasan dari buku-buku sejarah yang ada,” dan akan menjadi referensi utama sejarah resmi Indonesia serta menjadi landasan bagi materi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Akan tetapi, proyek penulisan ulang sejarah ini telah memicu perdebatan sengit di antara para sejarawan.

Arkeolog Truman Simanjuntak, yang sebelumnya terlibat dalam penyusunan buku tersebut, memutuskan untuk mengundurkan diri karena ketidaksetujuannya terhadap penggantian istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal,” yang menurutnya “menghapus konsep dan disiplin ilmu prasejarah dari khazanah pengetahuan.”

Sejarawan asal Papua, Albert Rumbekwan, menyampaikan kekecewaannya karena sejarah Papua hanya mendapatkan porsi yang terbatas. Padahal, sejarah Papua sangatlah kaya dan panjang, setidaknya membentang sejak 500 tahun yang lalu.

Sementara itu, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Mohammad Refi Omar Ar Razy, menilai bahwa penyusunan buku ini terkesan dilakukan dengan tergesa-gesa, dan isinya masih “sangat Indonesia sentris,” “sangat elite,” serta kurang memberikan perhatian pada peran perempuan dalam sejarah Indonesia.

“Isinya tidak banyak memberikan pembaruan mendasar dalam aspek historis,” ungkapnya kepada wartawan Hilman Handoni yang meliput untuk BBC News Indonesia.

Namun demikian, Susanto Zuhdi, selaku ketua tim penulis buku ini, menegaskan bahwa buku sejarah ini akan disusun “seobjektif” mungkin dan menjamin tidak akan ada intervensi dari pemerintah.

‘Pelurusan sejarah’

Pemerintah Indonesia sebelumnya telah menerbitkan dua edisi buku ‘induk’ serupa.

Buku Sejarah Nasional Indonesia, yang terdiri dari enam jilid, diterbitkan pada tahun 1975.

Pada dekade 2010-an, pemerintah juga mensponsori penyusunan dan penerbitan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS), yang terdiri dari sembilan jilid dengan total 4.500 halaman.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutkan setidaknya ada tiga aspek utama dalam pembaruan catatan sejarah yang akan diterbitkan pada bulan Agustus mendatang.

Di antaranya adalah revisi terhadap narasi yang sudah ada, penambahan materi sejarah baru, serta pelurusan sejarah yang memerlukan klarifikasi berdasarkan hasil kajian.

Salah satu contoh bagian yang direvisi, menurutnya, adalah catatan mengenai zaman “prasejarah.”

“Ada temuan-temuan baru, misalnya penelitian terbaru dalam prasejarah kita seperti Gua Leang-Leang Maros yang tadinya usianya diduga 5.000 tahun, ternyata 40.000-52.000 tahun yang lalu usianya,” kata Fadli seperti yang dikutip dari kantor berita Antara.

Pemerintah menanggung biaya proyek ini, sebagaimana yang dilakukan pada penyusunan dua buku induk sejarah sebelumnya.

Ketua tim penyusun buku sejarah ini, Susanto Zuhdi, menyadari adanya anggapan bahwa pemerintah saat ini memiliki kepentingan tertentu dalam penyusunan sejarah.

Namun, menurutnya, penyusunan sejarah resmi di negara mana pun pasti memiliki pertimbangan kepentingan.

Namun Susanto Zuhdi, yang pernah menjabat sebagai kepala direktorat sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2001, menyebutkan bahwa inisiatif untuk memperbarui sejarah Indonesia kali ini tidak sepenuhnya berasal dari pemerintah.

Dia mengatakan bahwa para sejarawan telah lama menginginkan pembaruan historiografi nasional. Keinginan ini juga menjadi amanat Kongres Sejarah pada tahun 2001.

“[Ini] kepentingan dari bawah maupun dari atas. Kelihatannya Pak Prabowo secara prinsip, secara pribadi, saya lihat suka sejarah. Bahkan jauh sebelum dia jadi presiden. Jadi ya memang kepentingan bersama,” jelas Susanto.

Susanto kemudian menceritakan bahwa pada akhir tahun lalu dirinya diminta untuk memimpin proyek ini, yang diakuinya memiliki “waktu yang sangat terbatas.”

“Tapi saya bilang kita harus punya tekad. Nekat jadi tekad,” ujarnya sambil bercanda.

Dia menjelaskan bahwa buku ini nantinya akan terdiri dari 10 jilid, masing-masing berisi 500 halaman, yang mencakup periode mulai dari masa prasejarah Indonesia hingga masa pemerintahan Joko Widodo.

Ada 120 sejarawan yang terlibat dalam proyek ini, termasuk mahasiswa pascasarjana dari luar negeri dan sejarawan dari universitas-universitas di berbagai daerah, mulai dari Universitas Syiah Kuala di Aceh hingga Universitas Cenderawasih di Papua.

“Pemerataan juga harus menjadi pertimbangan. Itulah Indonesia.”

Sejarawan publik, yang bekerja di luar lingkungan akademik seperti museum, situs sejarah, atau media, juga dilibatkan dalam penulisan ulang sejarah kali ini untuk membuat sejarah lebih mudah diakses dan relevan bagi masyarakat umum.

Lebih lanjut, Susanto menegaskan bahwa tidak ada “arahan” atau pesanan apa pun dalam penyusunan buku ini.

Baca Juga :  Peti Jenazah Paus Fransiskus Akhirnya Tertutup: Prosesi Pemakaman Berakhir

“Enggak ada arahan itu, adanya arahan ‘Reinventing Indonesian Identity’,” tegasnya.

Menurutnya, penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk “mencari identitas bangsa.”

“[Indonesia] ini bangsa yang besar. Bangsa yang punya sejarah yang luar biasa.”

Susanto menyatakan bahwa pemerintah tidak ikut campur dalam perubahan substansi yang terjadi di dalam buku.

Apa saja sejarah yang direvisi?

“Kita tidak lagi menyebut ‘Zaman Hindu-Buddha’ atau ‘Zaman Islam’,” kata Susanto.

Sebagai gantinya, para sejarawan yang menulis dalam buku tersebut menggunakan istilah “Indonesia dalam Jaringan Global” atau “Indonesia dalam Jaringan Timur Tengah.”

Penggunaan istilah-istilah ini, menurut Susanto, bertujuan untuk menekankan peran aktif Indonesia dalam berbagai peristiwa dan memperkuat pandangan tentang Indonesia.

Namun demikian, ada perubahan istilah dalam buku itu yang memicu kontroversi.

Arkeolog Truman Simanjuntak menolak penggantian istilah “prasejarah,” yang merujuk pada era ketika aksara belum ditemukan, menjadi “awal sejarah.”

Dia akhirnya mengundurkan diri dari tim penulis buku sejarah baru ini.

Dalam surat pengunduran diri yang diunggah di situs Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia, Truman, yang menerima penghargaan dari LIPI dan penghargaan Satyalancana Karya Satya, mengatakan, “menggantikan ‘prasejarah’ dengan ‘Sejarah Awal’ sama dengan menghapuskan istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan.”

Dia juga mengatakan bahwa keputusan tersebut “betul-betul aneh, hanya dan baru kali ini terjadi di Indonesia.”

Meskipun begitu, Susanto Zuhdi tetap pada pendiriannya. Menurutnya, definisi sejarah secara konvensional adalah saat manusia mengenal aksara. Sebelum itu, tidak disebut sebagai sejarah.

“Padahal sumber sejarah kan tidak cuma yang tertulis. Memang artefak bukan sumber sejarah? Lukisan di dinding memang bukan sumber sejarah?”

Narasi yang hendak dibangun oleh buku ini, lanjut Susanto, juga mengenai klaim bahwa Indonesia “dijajah 350 tahun.”

“Yang bilang [dijajah 300 tahun] itu Gubernur Jenderal De Jong, ‘Kami sudah 300 tahun di sini dan kami mau 350 tahun lagi’,” ujarnya.

“Istilah itu kemudian dipakai oleh Presiden Sukarno supaya menunjukkan kita jangan terlalu lama lagi [dijajah].”

Padahal faktanya, kata Susanto, hingga awal abad ke-20 banyak kerajaan yang masih merdeka.

Beberapa aspek lain yang akan dimasukkan ke dalam buku sejarah ini termasuk sejarah kuliner, busana, tari dan koreografi, diaspora, dan kehidupan digital.

Bagaimana dengan sejarah yang kontroversial?

Susanto Zuhdi mengatakan bahwa buku ini akan menempatkan tokoh-tokoh berideologi kiri yang kerap terpinggirkan dalam sejarah resmi, “seobjektif mungkin” dalam buku sejarah yang akan segera diterbitkan.

“Kita harus tempatkan Tan Malaka seobyektif mungkin, semulia mungkin. Tan Malaka ini kontribusinya besar, pemikirannya besar,” kata Susanto Zuhdi mengenai tokoh kiri Tan Malaka yang menurutnya kurang mendapatkan porsi dalam historiografi nasional sebelumnya.

Perubahan lainnya, kata Susanto, ada pada nama peristiwa Pemberontakan PKI pada 1927 yang menurutnya tidak tepat.

“Kalau melawan negara [kolonial] yang sah, ngapain kita sebut ‘berontak.’ Kita [pakai] istilah] lawan, dong,” seraya menegaskan kontribusi perlawanan yang juga dilakukan para ulama Banten pada peristiwa tersebut.

Namun, katanya, timnya akan tetap berhati-hati kapan akan menggunakan istilah pemberontakan, kapan menggunakan istilah perlawanan.

Sementara itu, rangkaian peristiwa setelah Tragedi 1965, ujar Susanto, juga akan disertakan bersama rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum gerakan tersebut, agar obyektif.

Setelah peristiwa 1965, ratusan ribu orang paling sedikit menjadi korban pembunuhan, pemenjaraan, dan kerja paksa.

Ribuan orang lainnya mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari setelah keluar dari penjara atau pembuangan.

Bersama-sama dengan peristiwa pelanggaran HAM Orde Baru lainnya, seperti Peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Peristiwa Penembakan Misterius, dan upaya koreksi Orde Baru oleh kelompok Petisi 50, semuanya kata Susanto Zuhdi, akan juga dituliskan.

“Pokoknya fakta. Sejarah kan fakta. Cuma biasanya ada yang tidak puas atas interpretasi terhadap fakta, ya enggak apa-apa,”

Ini katanya juga mencakup peristiwa penculikan mahasiswa dan aktivis prodemokrasi menjelang Reformasi yang menyeret nama presiden Prabowo Subianto.

“Pokoknya kalau ada peristiwanya, pasti kita masukkan. Kita nggak akan menutupi peristiwanya,” tutup Susanto Zuhdi.

Meminggirkan peran perempuan dan sejarah Papua

Sejarawan Mohammad Refi Omar Ar Razy, yang juga merupakan pengajar di Universitas Negeri Surabaya, telah melihat dokumen kerangka buku yang telah beredar di kalangan sejarawan.

Dokumen itu katanya telah memasukkan beberapa tambahan seperti penemuan-penemuan arkeologi terbaru yang memang cukup penting dan patut diapresiasi.

Namun secara umum, menurut Refi, narasi yang hendak dibangun masih terpusat pada negara.

“Narasinya masih sangat Indonesia sentris, sangat elite, tidak dekat dengan masyarakat,” ujarnya.

“Ketika saya lihat plan-nya buku ini, itu juga sebetulnya isinya tidak banyak memperbarui hal-hal yang fundamental dalam sisi historis.”

Penyusunan buku masih mengedepankan perang, kejatuhan, kekuasaan, perjuangan, dan kepahlawanan yang rawan akan menjadi mitos baru.

Baca Juga :  Update Surabaya Mei 2022: Informasi Penting Terkini

“Ideologi yang diutamakan. Historiografi kita, sejarah kita sebetulnya enggak pernah berubah semenjak masa kerajaan sampai hari ini.”

“Sejarah masih digunakan untuk membangun legitimasi,” katanya lagi.

Ar Razy juga melihat rencana buku itu belum banyak menyorot peran perempuan. Padahal tokoh-tokoh perempuan ini juga memiliki karakter yang menonjol.

“Tokoh-tokoh perempuan yang juga jago menulis sastra seperti Suwarsih Djoyopuspito, seorang guru perempuan di tahun 1938-39, pernah nulis novel. Kemudian juga Partini [seorang putri dari Pura] Mangkunegara,” kata dia.

Semestinya, kata Ar Razy, peran perempuan juga mendapat ulasan dalam historiografi nasional.

“Mungkin dalam satu bab atau satu sub-bab. Secara teknis harus disorot[peran mereka].”

Sejarawan sekaligus Ketua Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan, mengakui bahwa dalam penulisan sejarah nasional selama ini, posisi Papua hanya tampil sedikit saja.

Hal ini, menurutnya, kontras dengan sejarah panjang kawasan ini yang membentang paling sedikit sejak 500 tahun yang lalu.

“Dalam historiografi Indonesia [Papua] itu hanya ada seputar Ternate dan Tidore, terus Trikora, dan Integrasi 1963. Seputaran itu saja yang ada di dalam catatan sejarah yang diajarkan di buku-buku teks.”

Albert sendiri baru diminta bergabung sebagai penulis buku ini pada Maret 2025. Dia diminta untuk menuliskan sejarah Papua setelah Reformasi.

“Jadi saya coba dalam waktu singkat itu saya menulis tentang awal reformasi, 1998 sampai 2001. Namun ketika kita bertemu, mereka minta untuk saya harus tulis sampai dengan era Jokowi, 2023.”

Total 40 halaman yang harus dia tuliskan untuk menampung peristiwa berdurasi 20 tahun lebih di Papua.

Rekan Albert, sejarawan Ester Yambeyapdi akan menuliskan bagian mengenai Papua pada masa VOC.

Sementara itu apa yang terjadi di Papua setelah Proklamasi hingga sebelum Reformasi tampaknya akan jatuh pada penulis lainnya.

“Mereka tidak kasih bagian itu ke kita,” kata Albert.

Pada 1949, saat Konferensi Meja Bundar, Belanda menolak untuk menyerahkan Papua ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia.

Setelah penundaan sekian lama, badan perwalian PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia pada 1963 dengan syarat Indonesia akan menyelenggarakan referendum yang bebas bagi rakyat Papua untuk menentukan status wilayah mereka.

Pada titik inilah, muncul gerakan-gerakan yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia.

Pada 1969 Penentuan Pendapat Rakyat digelar yang menghasilkan integrasi wilayah Papua ke Indonesia, sebuah hasil kontroversial yang masih dipertanyakan hingga kini.

Hingga kini insurgensi, di tengah-tengah pemanfaatan sumber daya alam Papua yang kaya, masih berlangsung.

Albert mengaku akan mengangkat isu-isu sensitif yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dan keinginan orang Papua untuk merdeka di dalam tulisannya,

“Juga ada sentil di situ terkait dengan masalah lingkungan juga, masalah proyek-proyek yang terjadi di Papua hari ini. Tapi kan kita tidak tahu apakah itu akan dimasukkan secara utuh, atau dia akan mengalami editing yang cukup ketat untuk itu.”

“Kami berharap kalau memang Jakarta atau kementerian mau serius melihat persoalan Papua dalam historiografi sejarah, mungkin mari kasih proyek penulisan sejarah tentang Papua itu ke kami,” katanya.

“Kami menulis tentang sejarah kami,” tutupnya.

  • Bakar mobil polisi, segel pabrik, hingga sebut Sutiyoso ‘bau tanah’ – Siapa Hercules, GRIB Jaya, dan apa hubungan dengan Prabowo Subianto?
  • Menelusuri jejak feodalisme di Indonesia – Dari zaman Kerajaan Mataram hingga era pemerintahan Prabowo
  • Menyoal penelitian sejarah aksi militer Belanda di Indonesia era Revolusi 1945-1950
  • Melihat sejarah Indonesia lewat foto-foto lama di media sosial
  • HUT RI: Laksamana Maeda dalam lintasan sejarah kemerdekaan Indonesia
  • Berulang kali dibubarkan, mengapa diskusi sejarah dianggap momok?
  • G30S: Sejarah Gerwani, propaganda dan stigma yang melekat padanya
  • Mengapa Ratna Asmara, sutradara perempuan pertama di Indonesia, ‘hilang dari sejarah perfilman Indonesia?’
  • 1965: Pemerintah Indonesia didesak ‘menulis ulang sejarah’ peristiwa kekerasan 1965-1966 – ‘Beri tempat kepada suara korban yang selama ini dibungkam’
  • ‘Bom-bom itu dijadikan lonceng di balai kampung dan gereja’ – Orang asli Papua di Agimuga dan trauma tentang Peristiwa 1977
  • Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
  • Eksil Papua di Belanda: Cerita anak-cucu pembuat bendera Bintang Kejora dan seniman dari timur Indonesia
  • 1965: Pemerintah Indonesia didesak ‘menulis ulang sejarah’ peristiwa kekerasan 1965-1966 – ‘Beri tempat kepada suara korban yang selama ini dibungkam’
  • Siapa manusia Indonesia? ‘Tidak ada pribumi atau non-pri, kita semua pendatang’
  • Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?

Berita Terkait

Kolonel Antonius Hermawan: Kisah Inspiratif dari Keluarga hingga Pengabdian Negara
Ferrari: Simbol Protes Anti-Pemerintah yang Kontroversial di Serbia?
Taman Kehati Sawerigading Wallacea: Bukti Nyata Komitmen PT Vale Indonesia Lestarikan Alam
Eddie Marzuki Nalapraya: Kisah Bapak Pencak Silat Dunia yang Menginspirasi
Membongkar Jejak Digital Paus Leo XIV: Fakta Tersembunyi!
Inspirasi Santo Agustinus: Pengaruhnya pada Kepemimpinan Paus Leo XIV
Paus Leo XIV: Prediksi Masa Depan Gereja Katolik?
Rayakan Waisak 2025: 10 Destinasi Wisata Buddhis Terbaik di Indonesia

Berita Terkait

Rabu, 14 Mei 2025 - 11:51 WIB

Bahaya Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Legitimasi Kekuasaan, Marginalisasi Perempuan & Papua

Rabu, 14 Mei 2025 - 09:27 WIB

Kolonel Antonius Hermawan: Kisah Inspiratif dari Keluarga hingga Pengabdian Negara

Rabu, 14 Mei 2025 - 06:19 WIB

Ferrari: Simbol Protes Anti-Pemerintah yang Kontroversial di Serbia?

Rabu, 14 Mei 2025 - 01:27 WIB

Taman Kehati Sawerigading Wallacea: Bukti Nyata Komitmen PT Vale Indonesia Lestarikan Alam

Selasa, 13 Mei 2025 - 19:03 WIB

Eddie Marzuki Nalapraya: Kisah Bapak Pencak Silat Dunia yang Menginspirasi

Berita Terbaru

Public Safety And Emergencies

TNI Transparan Ungkap Penyebab Ledakan Amunisi Garut yang Menewaskan 13 Orang

Rabu, 14 Mei 2025 - 18:27 WIB

entertainment

Drama Luna Maya dan Yuki Kato: Alasan di Balik Lemparan Bunga!

Rabu, 14 Mei 2025 - 18:24 WIB

Family And Relationships

Venna Melinda Ungkap Reaksi Soal Rencana Pernikahan Verrell-Fuji 2025

Rabu, 14 Mei 2025 - 17:51 WIB