Ragamutama.com – , Jakarta – Ayam Goreng Widuran, sebuah rumah makan legendaris di Kota Solo, Jawa Tengah, baru-baru ini menjadi perbincangan hangat. Hal ini dipicu oleh pengumuman resmi mereka bahwa hidangan yang disajikan bukanlah produk halal. Informasi ini disebarluaskan melalui akun media sosial resmi mereka, @ayamgorengwiduransolo, pada hari Jumat, 23 Mei 2025.
Dalam pernyataan tersebut, pihak manajemen Ayam Goreng Widuran menyampaikan permintaan maaf yang tulus, seraya menekankan bahwa mereka telah memasang label “non-halal” secara jelas di seluruh cabang mereka. “Kami sangat berharap masyarakat dapat memberikan kami kesempatan untuk berbenah dan meningkatkan layanan dengan niat yang baik,” demikian bunyi pengumuman tersebut.
Selain penandaan fisik di gerai-gerai mereka, status non-halal juga telah dicantumkan pada keterangan di Google Maps. Saat ini, tim Tempo masih berusaha menjalin komunikasi dengan pihak pengelola Ayam Goreng Widuran Solo melalui kontak yang tertera pada akun media sosial @ayamgorengwiduransolo. Upaya panggilan telepon dan pesan telah dilakukan, namun hingga saat ini belum mendapatkan respons.
Ayam Goreng Widuran berlokasi strategis di Jalan Sutan Sjahrir Nomor 71, Kepatihan Kulon, Kecamatan Jebres, Solo. Rumah makan ini membanggakan keterangan “sejak 1973,” yang menunjukkan bahwa mereka telah melayani pelanggan setia selama lebih dari 50 tahun.
Menu andalan di Ayam Goreng Widuran adalah ayam goreng kampung yang renyah dengan taburan bumbu kremes yang menggugah selera. Hidangan istimewa ini disajikan lengkap dengan sambal pedas, nasi putih hangat, dan lalapan segar.
Selain di Jalan Sutan Syahrir, Ayam Goreng Widuran juga memiliki cabang di Jalan Arifin Ruko Sudirman, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, serta di Jalan Imam Bonjol, Pemecutan Klod, Denpasar Barat, Bali.
Harga ayam goreng di rumah makan ini bervariasi, mulai dari Rp120 ribu untuk satu ekor ayam kampung goreng utuh hingga Rp35 ribu untuk satu potong ayam goreng kremes yang lezat.
Di Indonesia, sertifikasi halal merupakan persyaratan wajib bagi semua produk yang diperdagangkan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Cakupan produk yang dimaksud sangat luas, meliputi makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk hasil rekayasa genetik, hingga berbagai barang gunaan yang digunakan oleh masyarakat. Bahkan, jasa yang terkait dengan proses pengolahan, penyimpanan, dan penyajian produk juga termasuk dalam kategori yang wajib bersertifikat halal.
Namun, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memberikan pengecualian bagi produk yang mengandung bahan-bahan yang secara jelas tidak halal, seperti daging babi atau minuman beralkohol. Produk-produk ini tidak diwajibkan untuk mengurus sertifikat halal.
“Produk non-halal memang mendapatkan pengecualian. Tentu saja, minuman keras atau makanan yang mengandung babi tidak mungkin mengajukan sertifikat halal,” jelas Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, seperti yang dikutip dari laman resmi BPJPH.
Meskipun tidak wajib memiliki sertifikasi halal, produk non-halal tetap diizinkan untuk beredar di pasaran. Syaratnya adalah harus ada keterangan yang jelas yang menyatakan bahwa produk tersebut mengandung unsur non-halal. Misalnya, makanan yang mengandung daging babi wajib mencantumkan tulisan atau gambar babi pada kemasannya.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 92 dan 93 Undang-undang Jaminan Produk Halal. Pelaku usaha diwajibkan untuk memberikan label tidak halal dalam bentuk gambar, tanda, atau tulisan pada kemasan, bagian produk, atau tempat tertentu pada produk. Penandaan juga dapat dilakukan dengan menggunakan warna yang berbeda dalam daftar komposisi bahan, misalnya dengan menggunakan warna merah untuk menandai bahan yang tidak halal. Dengan demikian, konsumen memiliki informasi yang lengkap dan jelas, sehingga dapat membuat pilihan berdasarkan keyakinan masing-masing.
Pilihan Editor: Laba Bersih Ayam Goreng Nelongso Turun