Konflik Israel dengan Iran meluas dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS) di dalamnya. Serangan AS terhadap beberapa fasilitas strategis Iran disebut justru terjadi di saat ekonomi dunia sedang rentan.
Mengutip Bloomberg, Selasa (23/6), Bank Dunia, IMF, sampai OECD telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa bulan terakhir. Dengan adanya keterlibatan AS dalam konflik yang berpotensi menaikkan harga minyak dan gas secara signifikan, hal itu akan menjadi penghambat baru bagi perekonomian dunia.
Analis Bloomberg Economics, Ziad Daoud, memproyeksi keterlibatan AS dalam konflik tersebut tentu akan berdampak pada risiko melonjaknya harga minyak bahkan terjadinya inflasi.
“Kita lihat saja bagaimana Iran menanggapinya, tetapi serangan itu kemungkinan akan meningkatkan konflik. Bagi ekonomi global, konflik yang meluas menambah risiko kenaikan harga minyak dan dorongan kenaikan inflasi,” tulis analisa Bloomberg.
Serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran telah meningkatkan risiko geopolitik di mana situasi ini juga terjadi seiring potensi kenaikan tarif Trump yang akan berlaku dalam beberapa minggu mendatang.
Nantinya respons Iran terhadap serangan AS akan sangat penting. Iran memiliki beberapa opsi balasan seperti serangan terhadap personel AS, menargetkan infrastruktur energi regional, atau menutup Selat Hormuz.
Jika opsi menutup Selat Hormuz yang diambil maka harga minyak bisa menembus USD 130 per barel. Hal itu bisa membuat Indeks Harga Konsumen (CPI) AS mendekati 4 persen di musim panas dan mendorong Federal Reserve AS (The Fed) dan bank sentral lainnya untuk menunda waktu pemotongan suku bunga di masa mendatang.
Saat ini sekitar satu per lima dari pasokan minyak harian dunia melewati Selat Hormuz, yang terletak di antara Iran dan negara-negara tetangganya di Teluk Arab seperti Arab Saudi.
AS memang pengekspor minyak, namun, harga minyak mentah yang lebih tinggi hanya akan menambah tantangan yang sudah dihadapi ekonomi AS. The Fed memperbarui proyeksi ekonomi minggu lalu, menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan AS tahun ini menjadi 1,4 persen dari 1,7 persen setelah mencerna dampak tarif Trump terhadap harga dan pertumbuhan.
Sebagai pembeli terbesar minyak mentah Iran, China nantinya juga akan menghadapi konsekuensi meskipun persediaan minyak bumi saat ini masih aman.
Selain minyak, gangguan apa pun pada pengiriman melalui Selat Hormuz juga akan berdampak signifikan pada pasar gas alam cair global. Saat ini Qatar yang menguasai sekitar 20 persen perdagangan LNG global menggunakan Selat Hormuz untuk ekspor dan tidak memiliki jalur alternatif.
Jika Selat Hormuz ditutup nantinya akan membuat pasar LNG global sangat ketat, sehingga mendorong harga gas Eropa naik secara signifikan.
Investor Khawatirkan Pasokan Minyak
Seiring meningkatnya ketegangan, investor khawatir pasokan minyak dapat terganggu. Meski demikian anggota OPEC+, termasuk Arab Saudi, masih memiliki kapasitas cadangan yang melimpah yang dapat diaktifkan.
Selain itu, Badan Energi Internasional juga dapat memilih untuk mengkoordinasikan pelepasan stok darurat guna menstabilkan harga.
“Ketegangan di Timur Tengah merupakan guncangan buruk lainnya bagi ekonomi global yang sudah lemah. Harga minyak yang lebih tinggi dan kenaikan inflasi CPI yang terkait akan membuat bank sentral pusing,” kata Ben May, direktur penelitian ekonomi makro global di Oxford Economics, dalam sebuah laporan menjelang eskalasi terbaru.