Alasan Ekonomi, Makin Banyak Keluarga Indonesia Enggan Punya Anak?

Avatar photo

- Penulis

Kamis, 12 Juni 2025 - 20:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam laporan terbaru *State of the World Population*, Dana Kependudukan PBB (UNFPA) mengungkapkan realitas pahit yang dihadapi jutaan orang di seluruh dunia: keterbatasan finansial menjadi penghalang utama bagi mereka untuk memiliki keluarga ideal yang diimpikan. Sebuah dilema modern yang semakin meluas, mengubah aspirasi pribadi dan memunculkan krisis demografi yang kompleks.

Bagi Dian Dewi Purnamasari, seorang wartawan berusia 36 tahun di Jakarta, mimpi memiliki dua atau tiga anak, yang dulu terbersit saat ia masih lajang, kini telah jauh berubah. Setelah melahirkan putrinya enam tahun lalu, prioritas Dian bergeser. “Apalagi biaya hidup sekarang mahal, ya,” tuturnya, menyadari tantangan ekonomi yang nyata.

Dian dan suaminya, seorang pekerja lepas, hidup dari gaji ke gaji. Meski putri semata wayangnya baru duduk di bangku TK, Dian mengaku sudah harus menyisihkan uang untuk biaya kuliah di masa depan. “Secara finansial sudah *ngepas*. Kami hidup dari gaji ke gaji, untuk menabung saja susah,” ujarnya. “Sepertinya enggak relevan untuk punya anak lagi.” Kondisi ini sangat berbeda dengan kehidupannya saat tumbuh besar di Magelang, Jawa Tengah, sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. “Kalau di desa, hidup lebih sederhana. Enggak banyak yang ingin dibeli, enggak harus investasi. Sekolah di negeri pun murah. Yang penting cukup untuk makan.”

Kisah Dian mencerminkan fenomena global yang kian umum, sebagaimana dipaparkan dalam laporan UNFPA. Banyak orang sesungguhnya ingin memiliki lebih banyak anak, namun beragam faktor krusial memaksa mereka untuk menekan keinginan tersebut. Laporan UNFPA, yang merupakan survei terhadap 14.000 responden di 14 negara—termasuk Indonesia—menyoroti bahwa satu dari lima responden belum memiliki, atau memperkirakan tidak akan memiliki, jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia sendiri, survei dilakukan secara daring kepada 1.050 responden.

Negara-negara yang terlibat dalam survei ini, selain Indonesia, meliputi Korea Selatan, Thailand, Italia, Hungaria, Jerman, Swedia, Brasil, Meksiko, AS, India, Maroko, Afrika Selatan, dan Nigeria. Secara agregat, populasi ke-14 negara ini menyumbang sepertiga populasi global, merepresentasikan keragaman pendapatan (rendah, menengah, tinggi) serta angka kelahiran (rendah dan tinggi). Survei ini melibatkan responden laki-laki dan perempuan berusia dewasa muda (18 tahun ke atas) hingga mereka yang telah melewati usia reproduktif.

Krisis Angka Kelahiran: Antara Keinginan dan Realitas Ekonomi

“Dunia mengalami penurunan angka kelahiran secara global, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Natalia Kanem, Kepala UNFPA. Ia menambahkan, “Kebanyakan orang yang disurvei ingin punya dua atau lebih dari dua anak. Alasan terbesar penurunan angka kelahiran ini adalah banyak orang merasa mereka tidak mampu mewujudkan keluarga yang mereka inginkan. Dan inilah krisis yang sebenarnya.”

Pernyataan yang menyebut turunnya angka kelahiran sebagai “krisis” menandai pergeseran signifikan dalam narasi kependudukan. Ahli demografi Anna Rotkirch, yang sebelumnya meneliti angka kelahiran di Eropa dan menjadi penasihat pemerintah Finlandia, menggarisbawahi bahwa “secara umum, lebih banyak orang memiliki lebih sedikit anak dari yang mereka inginkan ketimbang sebaliknya.” Jumlah ini, menurutnya, bahkan bisa jadi lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Rotkirch yang telah mengamati fenomena serupa di Eropa, menyatakan terkejut melihat tingginya proporsi responden berusia 50 tahun ke atas (31%) yang mengaku memiliki lebih sedikit anak dari yang mereka inginkan.

Baca Juga :  Amanda Rawles dan Adriel Susanteo: Selisih Usia Mereka Terungkap!

Meski menjadi pijakan untuk riset lanjutan di 50 negara tahun ini, survei UNFPA ini memiliki beberapa keterbatasan. Pelaksanaan survei secara daring di Indonesia, Maroko, Nigeria, dan Thailand berarti data yang terkumpul tidak merepresentasikan kondisi nasional secara menyeluruh. Selain itu, sampel kelompok usia di beberapa negara terlalu kecil untuk menarik kesimpulan definitif.

Namun, beberapa temuan utama survei ini cukup jelas. Dari 14.000 responden, hanya 4.000 orang yang menyatakan tidak ingin memiliki anak sama sekali (childfree). Mereka yang ingin punya anak namun terpaksa membatasi jumlahnya memberikan berbagai alasan:

* Keterbatasan finansial menjadi alasan paling dominan (39%), dengan proporsi tertinggi di Korea Selatan (58%) dan terendah di Swedia (19%).
* Kurangnya keamanan kerja atau pengangguran menempati posisi kedua (21%).
* Kesehatan atau fertilitas menjadi alasan utama bagi hanya 12% responden, meskipun angka ini lebih tinggi di Thailand (19%), Amerika Serikat (16%), Italia, Afrika Selatan (15%), Nigeria (14%), dan India (13%).

Dilema Keluarga di Indonesia: Faktor-faktor Penghambat

Untuk responden Indonesia, survei ini secara spesifik menggali faktor-faktor yang membuat mereka memiliki lebih sedikit anak dari yang diinginkan. Responden dapat memilih beberapa opsi, dan hasilnya menunjukkan kompleksitas masalah yang dihadapi.

* Ekonomi: Menjadi alasan paling umum. Ini mencakup keterbatasan finansial (39%), keterbatasan hunian seperti ketiadaan ruang atau tingginya harga rumah/sewa (22%), dan kurangnya opsi perawatan anak yang layak atau berkualitas (6%).
* Kesehatan: Memiliki proporsi lebih kecil, meliputi masalah kesuburan atau infertilitas (6%), kurangnya perawatan medis untuk kesehatan fertilitas atau kehamilan (9%), dan memiliki penyakit kronis atau kesehatan yang buruk secara umum (10%).
* Keinginan yang Berubah: Sebanyak 19% responden menyatakan keinginan mereka untuk memiliki lebih banyak anak berubah seiring waktu. Selain itu, 17% terpengaruh oleh keinginan pasangan yang justru menginginkan lebih sedikit anak.
* Kekhawatiran akan Masa Depan: Ada 14% responden yang khawatir akan situasi politik atau sosial (misalnya perang atau pandemi) sebagai alasan pembatasan jumlah anak. Sebanyak 9% menyebut perubahan iklim dan lingkungan yang memburuk sebagai pertimbangan.
* Faktor-faktor Lain: Beberapa responden Indonesia mengutarakan alasan personal seperti tidak punya pasangan (4%), kurangnya keterlibatan pasangan dalam pekerjaan rumah tangga atau perawatan anak (16%), dan saran dari dokter atau tenaga kesehatan agar tidak menambah anak (7%). Sebagian kecil responden bahkan menyebut “sudah kehendak Tuhan” terkait jumlah anak.

Meski demikian, survei yang diselenggarakan UNFPA bersama YouGov ini juga menguak alasan mendalam responden untuk memiliki anak. Mayoritas di semua negara menyatakan anak memberikan kebahagiaan hidup dan kepuasan tersendiri dalam membesarkan mereka. Khusus di Indonesia dan Nigeria, memiliki anak juga dimaknai sebagai jaminan keberlangsungan nama keluarga, aset untuk generasi masa depan, dan untuk membantu merawat orang tua di usia senja. Norma sosial dan agama turut menjadi alasan penting untuk punya anak bagi responden di Indonesia, Maroko, dan Nigeria.

Baca Juga :  Lisa Mariana Sedih: Foto Anak Viral Jelang Sekolah Gara-Gara Ridwan Kamil

Pergeseran Fokus PBB dan Kebijakan Berbasis Data

Stuart Gietel-Basten, ahli demografi dari Hong Kong University of Science and Technology, menyebut survei UNFPA ini sebagai kali pertama sebuah badan PBB melakukan kajian menyeluruh atas persoalan tingkat kelahiran rendah. Sebelumnya, PBB lebih banyak berfokus pada perempuan yang memiliki lebih banyak anak dari yang mereka inginkan, serta “kebutuhan yang tak terpenuhi” akan alat kontrasepsi. Namun, seiring menurunnya tingkat kelahiran di negara-negara berkembang tempat UNFPA banyak beroperasi, fokus lembaga ini pun bergeser.

“Saat ini, kami melihat banyak retorika soal bencana, baik menyangkut *overpopulasi* maupun populasi yang menyusut,” kata Natalia Kanem, Kepala UNFPA. Ia memperingatkan bahwa retorika ini bisa mendorong respons berlebihan atau bahkan manipulatif, yang bertujuan memaksa perempuan untuk punya lebih banyak atau lebih sedikit anak. Kanem mencontohkan bagaimana 40 tahun lalu negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Thailand, dan Turki khawatir akan populasi terlalu tinggi, namun pada 2015 kelimanya justru berupaya meningkatkan angka kelahiran.

“Sebisa mungkin, kami menghindari supaya negara-negara menetapkan kebijakan berdasarkan kepanikan,” ujar Gietel-Basten. Ia menekankan bahwa orang-orang sudah merasa takut dan cemas tentang masa depan dunia, sehingga tidak ada alasan untuk membuat mereka merasa semakin cemas. Banyak negara merespons penurunan angka kelahiran dengan mendorong migrasi atau meningkatkan partisipasi perempuan di tempat kerja, yang terkadang memicu reaksi budaya negatif. Gietel-Basten mengamati, “Kami melihat rendahnya angka kelahiran, semakin menuanya populasi, dan angka populasi yang stagnan dijadikan alasan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang nasionalis, anti-migran, dan konservatif terhadap gender.”

Di balik data global dan kebijakan makro, masalah kurangnya waktu juga menjadi alasan signifikan orang-orang enggan memiliki anak. Ini adalah salah satu pertimbangan utama bagi Dian di Jakarta. Setiap hari dihadapkan pada kemacetan, Dian mengaku kewalahan secara fisik dan mental. “Kalau ada anak satu lagi, sepertinya enggak akan bisa fokus ke anak yang sudah ada. Kasihan dia,” katanya. Dengan pertimbangan yang matang, ia menegaskan, “Dalam waktu dekat ini, kami tidak akan berubah pikiran.” Realitas yang dialami Dian dan jutaan lainnya ini menjadi pengingat bahwa krisis demografi global adalah cerminan dari dilema pribadi yang sangat nyata.


Baca juga:
* ‘Bagaimana kamu bisa berasumsi hidup saya tidak berarti karena saya tidak punya anak?’ – Pengakuan para pasutri yang memutuskan ‘childfree’ di Indonesia
* Resesi seks: Apakah Indonesia kekurangan bayi?
* Mengapa anak tunggal selalu dianggap egois dan manja?
* ‘Child-free’ semakin populer: Orang-orang yang menjalani kehidupan tanpa anak
* Nestapa ‘anak oleh-oleh’ pekerja migran: Jadi korban pernikahan anak hingga pelecehan seksual – ‘Kami terus terjebak di lingkaran setan’
* Lima negara terbaik untuk membesarkan anak – orang tua dapat cuti berlimpah hingga lingkungan yang ‘sangat aman’

Berita Terkait

Jennifer Coppen Murka Kamari Dilecehkan Fans, Ungkap Kekecewaan Mendalam
Jennifer Coppen Ngamuk, Fans Sentuh Anak Dilarang Foto!
GJLS: Terungkap! Usia Asli Pemain, Beda Jauh dari Peran Ibu-Ibu?
Keluarga Super Irit: Sinopsis, Tips Hemat Ala Keluarga Masa Kini
Davika Hoorne Dilamar Ter Chantavit, Ini Profil Lengkap & Biodatanya!
Jennifer Coppen Larang Fans Sentuh Kamari, Alasannya Bikin Kaget!
Iis Dahlia Akhirnya Beri Lampu Hijau, Devano dan Baila Resmi Jadian?
Justin Bieber Mention, Hubungan Transaksional: Untung Rugi?

Berita Terkait

Jumat, 13 Juni 2025 - 17:17 WIB

Jennifer Coppen Murka Kamari Dilecehkan Fans, Ungkap Kekecewaan Mendalam

Jumat, 13 Juni 2025 - 12:17 WIB

Jennifer Coppen Ngamuk, Fans Sentuh Anak Dilarang Foto!

Jumat, 13 Juni 2025 - 07:42 WIB

GJLS: Terungkap! Usia Asli Pemain, Beda Jauh dari Peran Ibu-Ibu?

Jumat, 13 Juni 2025 - 06:32 WIB

Keluarga Super Irit: Sinopsis, Tips Hemat Ala Keluarga Masa Kini

Kamis, 12 Juni 2025 - 20:52 WIB

Alasan Ekonomi, Makin Banyak Keluarga Indonesia Enggan Punya Anak?

Berita Terbaru

Uncategorized

Rahasia Posisi Duduk Paling Aman di Pesawat, Pilih Mana?

Jumat, 13 Jun 2025 - 20:57 WIB

technology

Boeing 787-8 Jatuh di India: Spesifikasi Lengkap dan Analisis

Jumat, 13 Jun 2025 - 19:37 WIB