Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, dibacakan pada 26 Juni 2025, memutuskan pemilu nasional dan pemilu daerah harus diselenggarakan secara terpisah. Pemilu lokal, meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala/wakil kepala daerah, akan digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah pemilu nasional (pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden). Keputusan ini mengakhiri era pemilu serentak “lima kotak” untuk Pemilu 2029. Ketua MK, Suhartoyo, menjelaskan pemisahan ini bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, sederhana, dan mudah bagi pemilih dalam menjalankan hak pilihnya.
Namun, putusan ini memicu beragam reaksi dan sorotan. Komisi II DPR RI, misalnya, menilai putusan tersebut berpotensi memicu revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan UU Otonomi Khusus Papua. Wakil Ketua Komisi II, Dede Yusuf, menjelaskan hal ini karena kedua UU tersebut menetapkan masa jabatan DPRD selama lima tahun, sementara putusan MK mengharuskan pemilu daerah digelar minimal dua tahun setelah pemilu nasional. Komisi II akan melakukan kajian mendalam dan berdiskusi dengan berbagai pihak sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Partai NasDem, melalui Wakil Ketua Umum Saan Mustopa (yang juga Wakil Ketua DPR), menyatakan putusan MK berpotensi mengganggu sistem ketatanegaraan karena dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan. Partai ini meminta konsistensi MK dengan putusan sebelumnya yang mendukung sistem pemilu serentak. NasDem menekankan, pemisahan pemilu dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusional jika periode DPRD tidak diisi melalui pemilu dalam jangka waktu lima tahun.
Partai Golkar, diwakili Wakil Ketua Umum Adies Kadir, menyatakan masih mempelajari dampak putusan MK tersebut. Partai ini menganggap putusan tersebut kontroversial dan perlu kajian lebih lanjut, termasuk kemungkinan pelanggaran konstitusi. Adies juga menyoroti potensi dampak negatif terhadap sinkronisasi program pemerintah pusat dan daerah, yang dikhawatirkan akan terhambat akibat pemisahan pemilu.
Kesimpulannya, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah menimbulkan berbagai konsekuensi dan reaksi yang beragam di kalangan legislatif dan partai politik. Revisi UU, potensi pelanggaran konstitusi, serta dampak terhadap sinkronisasi program pemerintahan menjadi beberapa poin penting yang perlu dikaji lebih lanjut. Diskusi dan kajian mendalam dari berbagai pihak menjadi krusial untuk menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapi implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini.