Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia berhasil tumbuh solid sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025. Angka ini segera disambut positif oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menegaskan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia ini termasuk salah satu yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN maupun G20.
Menurut Airlangga, pencapaian 5,12 persen tersebut mengukuhkan bahwa perekonomian nasional tetap berada dalam kondisi yang tangguh. “Memang rencana kami di semester kedua menargetkan sasaran 5,2 persen bisa dicapai. Namun apa yang diumumkan tadi pagi, Alhamdulillah, kembali ke jalur 5 persen,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2025.
Airlangga menambahkan, posisi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah tipis dari Tiongkok yang mencatat 5,2 persen. Sementara itu, Indonesia melampaui negara-negara tetangga ASEAN seperti Malaysia dengan 4,50 persen dan Singapura dengan 4,30 persen. Bahkan, capaian ini jauh di atas Amerika Serikat yang hanya tumbuh 2,00 persen, menunjukkan resiliensi ekonomi Indonesia di tengah gejolak global.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, sebelumnya menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II 2025 mencapai Rp 5.947 triliun, dan atas dasar harga konstan 2010 tercatat Rp 3.396,3 triliun. “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 bila dibandingkan triwulan II 2024 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,12 persen,” jelas Edy dalam konferensi pers pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Dari sisi pengeluaran, Edy merinci bahwa hampir seluruh komponen menunjukkan pertumbuhan positif, kecuali konsumsi pemerintah yang terkontraksi 0,33 persen. Kontributor terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga, dengan porsi 54,25 persen dari total PDB. Komponen ini tumbuh 4,97 persen, yang menurut Edy, menjadi indikasi kuatnya permintaan domestik sebagai penopang utama perekonomian.
Namun, data pertumbuhan ekonomi BPS ini mendapat sorotan kritis dari sejumlah ekonom. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpendapat bahwa angka-angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil ekonomi. Ia menyoroti kejanggalan pada data pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan yang menurut BPS tumbuh 5,68 persen secara tahunan dan berkontribusi 1,13 persen pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Bhima membandingkan data BPS dengan indikator lain, seperti PMI manufaktur Indonesia yang terkontraksi di bawah 50 poin sepanjang periode April-Juni 2025. “Jadi penjelasannya apa? Bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi,” tanya Bhima dalam keterangan tertulisnya pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Senada, Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menambahkan keraguan terhadap data konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,97 persen. Meskipun konsumsi rumah tangga menyumbang 54,25 persen terhadap PDB dan memiliki andil 2,64 persen dari total pertumbuhan ekonomi, Nailul mempertanyakan tidak adanya momen signifikan yang dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga secara tajam pada periode tersebut.
“Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indikator, membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS,” tegas Nailul. Oleh karena itu, ia mendesak BPS untuk memberikan penjelasan rinci mengenai metodologi yang digunakan, termasuk indeks penarikan angka nilai tambah bruto sektoral serta perhitungan pengeluaran, demi transparansi dan akuntabilitas data.
Pilihan Editor: Untung-Rugi Penghapusan TKDN dalam Produk Amerika