Istilah “abolisi” kini kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan publik, menyusul keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih “Tom” Lembong. Kebijakan ini secara efektif membebaskan Tom Lembong dari segala tuntutan hukum yang sempat menjeratnya, khususnya terkait perkara impor gula yang sedang hangat.
Pemberian abolisi merupakan salah satu dari empat hak prerogatif Presiden yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Presiden berwenang untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Hak ini memungkinkan kepala negara untuk mengintervensi proses hukum demi kepentingan tertentu, seperti rekonsiliasi nasional atau penegakan keadilan.
Dalam sejarah kepemimpinan di Indonesia, Presiden Prabowo bukanlah satu-satunya kepala negara yang pernah memanfaatkan hak abolisi ini. Beberapa presiden terdahulu juga tercatat menggunakan kewenangan serupa dalam berbagai konteks politik dan hukum:
Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, diketahui memberikan abolisi kepada kelompok Teungku Muhammad Daud Beureueh. Keputusan ini diambil dalam konteks upaya rekonsiliasi nasional untuk mengakhiri pemberontakan DI/TII di Aceh. Hasilnya, pada tahun 1962, Daud Beureueh menyatakan kembali tunduk kepada Pemerintah Republik Indonesia, menandai berakhirnya konflik yang berkepanjangan.
Presiden Soeharto
Pada masa kepemimpinannya, Presiden Soeharto juga tercatat menggunakan hak abolisi. Melalui Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1977, beliau memberikan abolisi bagi anggota Fretilin di Timor Timur. Langkah ini merupakan bagian dari strategi politik untuk meredam gelombang konflik separatisme yang bergejolak di wilayah tersebut.
Presiden Habibie
Era reformasi juga diwarnai dengan pemberian abolisi oleh Presiden B. J. Habibie. Beliau memberikan abolisi kepada tujuh individu, yakni Moh. Arif alias Arif Kusno, Agustiana bin Suryana, Mimih Khaeruman, David Dias Ximenes, Salvador da Silva, Gasfar da Silva, dan Boby Xavier Luis Pereira. Pemberian abolisi ini dilandasi oleh semangat mendukung agenda reformasi, memperkuat supremasi hukum, serta menjaga persatuan dan kelangsungan pemerintahan pasca-kejatuhan Orde Baru.
Presiden Gus Dur
Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, juga tercatat pernah memberikan abolisi. Dalam Keputusan Presiden Nomor 173 Tahun 1999, salah satu poin pentingnya adalah pemberian abolisi terhadap 33 tahanan. Keputusan ini menunjukkan komitmen pemerintahan Gus Dur terhadap reformasi hukum dan hak asasi manusia.
Menariknya, meskipun merupakan hak konstitusional, tidak semua Presiden Republik Indonesia tercatat pernah meneken Keputusan Presiden untuk pemberian abolisi. Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden ke-7 Joko Widodo merupakan tiga kepala negara yang dalam catatan sejarah tidak pernah mengeluarkan kebijakan abolisi.
Meskipun demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tercatat menggunakan hak prerogatif lainnya, yaitu pemberian amnesti dan grasi. Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 yang diberikan kepada kelompok yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kebijakan SBY ini merupakan langkah krusial untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Aceh yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengantarkan pada perdamaian yang berkelanjutan.