Keluarga Arya Daru Pangayunan, seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu), mendesak pihak kepolisian untuk menggelar rekonstruksi dan autopsi ulang guna mengungkap tabir misteri di balik kematiannya. Keyakinan kuat bahwa Arya Daru tidak meninggal karena bunuh diri menjadi dasar utama permohonan tersebut. “Penasihat hukum keluarga telah meminta kepolisian untuk melakukan rekonstruksi ulang, diikuti dengan autopsi lengkap terhadap almarhum demi mengetahui secara pasti penyebab kematiannya,” ungkap Nicholay Aprilindo, kuasa hukum keluarga Arya Daru Pangayunan, di Kota Yogyakarta pada Sabtu (23/8).
Nicholay Aprilindo kemudian memaparkan sejumlah alasan yang menguatkan keraguan keluarga. Salah satunya adalah penemuan obat jenis CTM dan parasetamol. Menurut kesaksian istri almarhum, Arya Daru tidak memiliki riwayat alergi dan tidak pernah mengonsumsi CTM. “Hingga kini, belum ada penjelasan mengenai bagaimana CTM tersebut masuk ke dalam tubuh Arya Daru dan berapa kadar zat tersebut,” terang Nicholay. Ia menegaskan, autopsi yang komprehensif seharusnya mencakup pemeriksaan organ vital seperti ginjal, paru-paru, dan jantung, untuk mengungkap kandungan obat atau zat lain yang mungkin ada di dalam tubuh korban.
Selain temuan obat, keluarga juga menyoroti adanya sejumlah luka lebam mencurigakan pada tubuh diplomat muda tersebut. “Sungguh tidak masuk akal jika seseorang mengakhiri hidupnya sendiri dengan melukai atau menghajar tubuhnya hingga lebam terlebih dahulu,” kata Nicholay, menyampaikan keberatan keluarga. Ia menambahkan bahwa keluarga memiliki bukti foto yang menunjukkan kondisi bibir jenazah yang tampak membengkak atau “nyonyor”, suatu kondisi yang menurutnya memerlukan penyelidikan mendalam guna memastikan penyebab kematian.
Berdasarkan sederet kejanggalan yang ada, pihak keluarga Arya Daru Pangayunan semakin yakin bahwa ada pihak lain yang terlibat dalam insiden tragis ini. “Kami menyimpulkan sementara bahwa kematian almarhum bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari satu rangkaian tindak pidana yang melibatkan pihak ketiga,” tegas Nicholay. Menjawab kemungkinan argumen terkait minimnya bukti forensik seperti sidik jari, Nicholay menambahkan, “Saat ini, pembunuh profesional yang memiliki keahlian khusus dilengkapi dengan peralatan canggih, seperti sarung tangan tak berjejak, yang mampu menghilangkan jejak sidik jari dan bukti lainnya.” Pernyataan ini memperkuat keyakinan keluarga akan adanya indikasi pembunuhan yang terencana, menuntut penelusuran lebih lanjut oleh pihak berwenang.