Ketegangan menyelimuti Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 22 Agustus 2025, saat Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel, mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, berteriak meminta amnesti kepada Presiden Prabowo Subianto. Permohonan tersebut ia sampaikan di hadapan para wartawan sesaat sebelum masuk ke dalam mobil tahanan Isuzu Elf berwarna hitam yang akan membawanya. Mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK, Noel berharap belas kasihan Presiden Prabowo atas kasus yang menjeratnya.
Ketua Umum Prabowo Mania 08 itu telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Meskipun Noel bersikukuh bahwa kasusnya bukanlah pemerasan, ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai detail dugaan korupsi yang menyeret namanya.
Pada hari itu, Noel tidak sendirian. Ia keluar dari gedung KPK bersama 11 tersangka lainnya, memimpin barisan panjang yang kemudian bergegas menuju mobil tahanan. Penangkapan ini merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Rabu, 20 Agustus 2025. Dalam operasi tersebut, KPK berhasil meringkus 14 orang, termasuk pegawai di Kementerian Ketenagakerjaan dan pihak swasta di berbagai lokasi.
Dari hasil OTT tersebut, KPK menyita sejumlah barang bukti yang mencengangkan, meliputi 15 unit mobil, 7 unit sepeda motor—salah satunya adalah milik Noel—serta uang tunai senilai Rp 170 juta. Jumlah fantastis ini mengindikasikan skala praktik rasuah yang terjadi.
Ketua KPK Setyo Budiyanto kemudian menjelaskan konstruksi perkara yang merugikan banyak pihak. Ia mengungkapkan bahwa biaya resmi pengurusan sertifikat K3 seharusnya hanya Rp 275 ribu. Namun, pihak Kementerian Ketenagakerjaan secara tidak sah memungut biaya hingga Rp 6 juta. Angka ini, menurut Setyo, dua kali lipat dari rata-rata upah minimum regional (UMR) yang diterima para buruh, menunjukkan betapa memberatkannya praktik ini bagi pekerja.
Setyo menambahkan bahwa KPK menemukan adanya selisih pembayaran antara biaya resmi penerbitan sertifikat K3 dengan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selisih inilah yang dipungut dari pihak-pihak yang mengurus sertifikat melalui perusahaan jasa K3, dengan total dana haram yang mengalir ke berbagai pihak mencapai Rp 81 miliar.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, membeberkan bahwa praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak 2019. Meskipun Noel baru menduduki kursi Wakil Menteri Ketenagakerjaan pada 2024, ia mengetahui adanya praktik kotor tersebut. Lebih parah lagi, alih-alih menghentikannya, Noel justru membiarkan, bahkan meminta dan menerima sesuatu, termasuk uang senilai Rp 3 miliar dan sebuah motor Ducati.
Atas perbuatannya, Noel dan belasan pelaku lainnya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Beberapa jam setelah konferensi pers KPK, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengumumkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memecat Noel dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian Noel diterbitkan pada Jumat malam, menunjukkan respons cepat pemerintah terhadap kasus korupsi ini.
Pilihan editor: Bisakah Papan Tulis Pintar Menggantikan Peran Guru
PENGAMAT MINTA PRABOWO TOLAK AMNESTI
Menanggapi permintaan amnesti Noel, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rahman mendesak Presiden Prabowo untuk menolaknya secara tegas. Menurut Zaenur, pihak Istana harus segera mengumumkan penolakan tersebut kepada publik, seraya menyatakan bahwa kasus ini akan diserahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang berlaku.
Zaenur menjelaskan bahwa permintaan amnesti justru mengindikasikan pengakuan Noel atas tindakan korupsi yang dilakukannya. Ia memperingatkan bahwa pemberian amnesti akan menghilangkan efek jera yang selama ini diupayakan oleh aparat dalam pemberantasan korupsi. Jika amnesti diberikan, para pejabat tidak akan lagi merasa takut melakukan korupsi, karena ada kemungkinan mereka bisa diampuni. “Jadi dampak buruknya bisa hilang penjeraan umum,” tegasnya.
Zaenur juga berpendapat bahwa pencopotan Noel dari jabatannya oleh Prabowo adalah langkah yang tepat. Tindakan ini diperlukan untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan memastikan kinerja Kementerian Ketenagakerjaan tidak terganggu. Namun, Zaenur menyoroti bahwa pencopotan ini saja tidak serta-merta membuktikan bahwa Prabowo tidak pandang bulu terhadap korupsi, mengingat penangkapan Noel dilakukan oleh KPK.
Lebih lanjut, Zaenur mengkritik bahwa Prabowo sejak awal tidak menempatkan unsur integritas sebagai prioritas utama dalam memilih calon anggota Kabinet Merah Putih. Ketiadaan unsur ini, menurutnya, menunjukkan sikap permisif terhadap korupsi. Jika dibiarkan, pemerintah akan semakin korup dan menghambat upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, pemerintah tidak akan bekerja untuk kesejahteraan rakyat, melainkan demi keuntungan pribadi dengan melanggar hukum. Oleh karena itu, Zaenur menekankan pentingnya pelaporan pelanggaran hukum kepada aparat penegak hukum dan pengawasan ketat di dalam kabinet, sesuatu yang ia nilai belum serius dilakukan oleh Prabowo.
Senada dengan Zaenur, Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro berpandangan bahwa Prabowo sudah keliru sejak awal dalam memilih calon anggota Kabinet Merah Putih. Menurut Herdiansyah, pemilihan anggota kabinet lebih didasarkan pada semangat bagi-bagi kekuasaan, bukan pertimbangan rekam jejak dan kompetensi. “Jadi memang dari awal, proses pengangkatan menteri tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi,” katanya.
Pengurus Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) ini menambahkan bahwa pengangkatan menteri tanpa melihat latar belakang secara cermat sangat rentan memicu korupsi. Oleh karena itu, ia tidak terkejut ketika Noel akhirnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Herdiansyah menyarankan agar Prabowo seharusnya melibatkan KPK sejak awal dalam proses seleksi calon anggota kabinet, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi pada periode pertamanya, untuk mendapatkan “daftar merah” nama-nama yang diduga terlibat korupsi. “Meskipun sekarang KPK melempem,” ujarnya.
Tempo telah berupaya meminta penjelasan dari Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi terkait isu ini, namun hingga berita ini diturunkan, keduanya belum memberikan tanggapan.
Ironisnya, kasus ini muncul di tengah komitmen Prabowo yang berulang kali mengingatkan pejabat untuk tidak korupsi. Komitmen tersebut salah satunya disampaikannya dalam pidato Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Gedung Nusantara, Jakarta pada Jumat, 15 Agustus 2025. Kala itu, Prabowo menyinggung berbagai masalah hukum, mulai dari mafia beras, korupsi, tambang dan lahan sawit ilegal, hingga keterlibatan para jenderal, menegaskan pentingnya integritas.
M. Rizky Yusrizal berkontribusi dalam tulisan ini
Pilihan editor: Rumah Balita yang Meninggal karena Cacingan Berada di Kawasan Rawan Longsor