Ragamutama.com – Sebuah langkah mengejutkan diambil oleh Perusahaan Otobus (PO) SAN Putra Sejahtera, yang secara resmi menghentikan pemutaran lagu dan musik di seluruh armada bus mereka. Keputusan drastis ini merupakan respons langsung terhadap polemik pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik di ruang publik, khususnya angkutan umum.
Manajemen PO SAN, melalui pernyataan resminya di akun Instagram, menegaskan bahwa kebijakan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Aturan tersebut secara jelas mengatur kewajiban pembayaran royalti bagi pihak-pihak yang memanfaatkan lagu di ruang publik, termasuk di dalam angkutan umum.
“Untuk menghindari adanya pelanggaran atas peraturan tersebut maka dengan ini manajemen PT. SAN Putra Sejahtera untuk sementara waktu tidak lagi memutarkan lagu atau musik di dalam bus PO SAN selama perjalanan,” demikian pernyataan resmi pihak manajemen, sebagaimana dikutip pada Senin (18/8/2025).
Lebih lanjut, langkah ini juga bertujuan untuk melindungi penumpang dari potensi pembebanan biaya tambahan royalti yang bisa berdampak pada kenaikan tarif tiket bus. Kebijakan ini secara resmi tertuang dalam memo internal bernomor J.291/SAN-HRD/VIII/2025 yang diedarkan pada Jumat (15/8/2025). Dampak langsungnya juga terasa pada penonaktifan fasilitas Audio Video on Demand (AVOD) yang sebelumnya tersedia di kelas bus Madar Class.
Meskipun demikian, pihak PO SAN berharap suasana hening tanpa musik justru dapat memberikan pengalaman berbeda bagi penumpang. “Semoga keheningan ini menambah rekatnya komunikasi selama perjalanan dan tidak mengurangi kenyamanan kita bersama,” lanjut pengumuman tersebut.
Respons publik, khususnya para pengguna setia layanan bus PO SAN, bervariasi. Meskipun banyak yang menyayangkan absennya hiburan musik, sebagian besar memahami keputusan ini mengingat polemik royalti yang sedang memanas. Kritikan juga muncul terkait metode penarikan royalti yang dianggap memukul rata tanpa mempertimbangkan diversifikasi penggunaan. “Akhirnya ngefek juga ke transportasi,” tulis salah satu warganet. Sementara yang lain berpendapat, “Harusnya dibedakan mana yang benar-benar harus bayar royalti, mana yang enggak, janganlah semua dipukul rata, sekarang ini banyak aturan, duit royalti juga paling larinya kemana.”
Langkah PO SAN ini secara tidak langsung memperpanjang daftar kasus yang mencerminkan ketegangan dalam isu royalti musik di ruang publik. Polemik ini semakin memuncak setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) gencar melakukan penarikan royalti dari berbagai sektor usaha, termasuk kafe, restoran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Kendati prinsip pembayaran royalti disetujui, banyak pelaku usaha mengungkapkan kebingungan dan keberatan terhadap kriteria serta besaran biaya royalti yang dianggap membebani, menjadikan kebijakan PO SAN ini sebagai sorotan baru dalam diskursus tersebut.