Kabar mengenai pembebasan bersyarat (PB) Setya Novanto, terpidana kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), memantik kritik tajam dari Praswad Nugraha, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Praswad menyebut keputusan ini sebagai “kado kemerdekaan yang menyakitkan” bagi masyarakat Indonesia.
Kasus korupsi pengadaan e-KTP sendiri tercatat sebagai salah satu skandal terbesar di Indonesia, merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 2,3 triliun. Vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto, yang dijatuhkan pada 24 April 2018, kala itu dianggap sebagai simbol komitmen negara dalam memberantas korupsi kelas kakap. Namun, perjalanan hukumnya kemudian dipenuhi serangkaian keringanan, mulai dari remisi berulang, putusan Peninjauan Kembali (PK) yang mengurangi hukuman, hingga puncaknya pembebasan bersyarat yang diberitakan pada Senin, 18 Agustus 2025.
Secara hukum, pembebasan bersyarat memang merupakan hak setiap narapidana. Namun, Praswad menekankan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga pemberian hak tersebut seharusnya dilakukan secara selektif dan ketat. Jika prosesnya serampangan, publik akan menilai negara gagal memberikan efek jera terhadap para koruptor. Menurut Praswad, akumulasi keringanan hukuman yang diterima Setya Novanto—berupa remisi, PK, hingga PB—berpotensi menciptakan preseden buruk yang berbahaya.
Keluarnya Setya Novanto dari penjara dapat menimbulkan tafsir di masyarakat bahwa hukum bisa “diakali” oleh koruptor kelas kakap. Hal ini, kata Praswad, bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini kerap digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi harus sangat selektif dengan indikator yang jelas. Beberapa indikator yang diusulkan antara lain apakah pelaku telah kooperatif dalam mengembalikan kerugian negara, menunjukkan penyesalan nyata, serta memberikan kontribusi positif selama menjalani pidana.
Tanpa standar yang transparan dan akuntabel, pembebasan bersyarat akan dipersepsikan sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan luar biasa. “Pesan yang tersampaikan justru berbahaya, bahwa korupsi bisa dinegosiasikan,” tegas Praswad.
Pengurangan Hukuman Setya Novanto hingga Bebas Bersyarat
Setya Novanto pertama kali dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi e-KTP pada 24 April 2018. Ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar US$ 7,3 juta dan dicabut hak politiknya selama lima tahun.
Namun, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali Setya Novanto pada 4 Juni 2025. Hukuman penjara Setya Novanto dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan. Masa larangan untuk menduduki jabatan publik juga dipersingkat menjadi 2 tahun 6 bulan.
Selama menjalani masa hukuman di penjara, Setya Novanto juga beberapa kali mendapatkan remisi. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Mashudi mengungkapkan kepada awak media di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat, pada Ahad, 17 Agustus 2025, bahwa total remisi yang diterima Setya Novanto mencapai 28 bulan 15 hari.
Mashudi menegaskan, meski telah bebas bersyarat, Setya Novanto tidak sepenuhnya lepas dari pengawasan. Ia masih diwajibkan melapor ke Balai Pemasyarakatan atau Bapas Bandung hingga 1 April 2029.
Pilihan Editor: Daftar Kepala Kejari Jaksel Sejak Putusan Silfester Matutina Inkrah