Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara serius mengusut dugaan korupsi kuota haji 2024. Peningkatan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan ini menandakan KPK akan meminta pertanggungjawaban dari setiap pihak yang terbukti menerima aliran dana hasil rasuah tersebut. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan komitmen lembaganya untuk menindak tegas pelaku dan mengembalikan kerugian negara.
Penyidikan kasus ini menerapkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). KPK tidak hanya membidik oknum di pemerintahan atau Kementerian Agama yang diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pembagian kuota haji, tetapi juga mengincar pihak perusahaan travel yang tidak seharusnya mendapatkan alokasi kuota. Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa dana yang diterima secara tidak sah, baik karena keputusan pembagian kuota yang menyimpang atau keuntungan dari alokasi ke travel yang tidak berhak, akan menjadi objek pengembalian.
KPK menyoroti adanya penyimpangan signifikan dari aturan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, pembagian kuota haji seharusnya dialokasikan 92% untuk kuota haji reguler dan 8% untuk kuota haji khusus. Namun, dalam dugaan kasus ini, kuota justru dibagi rata 50%-50%. Asep Guntur Rahayu mengungkapkan bahwa dari total kuota haji khusus yang ada, sekitar 8.400 kuota dianggap ilegal, jauh melebihi batas 1.600 kuota khusus yang diizinkan undang-undang. KPK akan melacak ke mana saja pembagian kuota “ilegal” ini dialirkan, termasuk ke travel atau asosiasi travel tertentu, berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Perkara ini berawal dari pertemuan Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, dengan Pemerintah Arab Saudi pada tahun 2023, yang menghasilkan tambahan 20.000 kuota haji untuk Indonesia. Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa tambahan kuota ini seharusnya didedikasikan sepenuhnya untuk haji reguler, mengingat tujuannya adalah untuk memperpendek masa tunggu haji reguler yang saat ini bisa mencapai 15 tahun atau lebih. Jika disesuaikan dengan proporsi undang-undang, tambahan 20.000 kuota berarti 18.400 untuk reguler dan 1.600 untuk khusus.
Namun, alih-alih dialokasikan seluruhnya untuk haji reguler demi mengurangi antrean panjang, tambahan kuota tersebut justru diduga dimanfaatkan untuk kepentingan kuota haji khusus secara tidak sah. Karenanya, Asep menegaskan bahwa kuota tambahan ini seharusnya secara keseluruhan dialokasikan untuk haji reguler, bukan untuk memperbanyak kuota haji khusus yang memang terbatas. KPK menggunakan surat perintah penyidikan (Sprindik) umum dalam kasus ini, yang berarti penyelidikan masih berlangsung tanpa penetapan tersangka secara spesifik pada tahap awal ini, memungkinkan KPK untuk mendalami kasus secara menyeluruh.