TEMPO – Yulianus Paonganan alias Ongen, terpidana dalam kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi, kini bernapas lega setelah menjadi salah satu dari 1.178 narapidana yang menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Kepastian status amnesti ini resmi terbit melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025, yang ditandatangani pada 1 Agustus 2025.
Merespons kabar ini, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan komitmennya terhadap transparansi. “Hari ini saya perintahkan supaya nama-namanya semua diunggah di website Kementerian Hukum supaya tidak ada kecurigaan. Mudah-mudahan sudah ya, tadi saya sudah panggil dirjen,” ujar Supratman, sebagaimana dikutip Antara pada Senin, 4 Agustus 2025, memastikan publik dapat mengakses daftar penerima amnesti tersebut.
Kilas Balik Kasus Ongen
Kasus hukum yang menjerat Yulianus Paonganan berawal dari penangkapannya oleh Badan Reserse Kriminal Polri di kediamannya di Pejaten, Jakarta Selatan, pada 17 Desember 2015. Penangkapan ini dipicu oleh unggahan kontroversial di akun Twitter (sekarang X) miliknya, @ypaonganan. Ia membagikan foto lama Presiden Jokowi—saat masih menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012—yang bersanding dengan artis Nikita Mirzani. Unggahan tersebut dibubuhi keterangan disertai tagar #PapaDoyanLo*** yang dianggap meresahkan.
Melihat konten unggahan tersebut, Kapolri saat itu, Jenderal Badrodin Haiti, menyatakan bahwa postingan Ongen memenuhi unsur pidana pornografi. “Paonganan itu mengunggah di media yang kontennya masuk tindak pidana pornografi,” tegas Badrodin kala itu.
Atas perbuatannya, Ongen dijerat dengan pasal berlapis yang serius. Ia didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengancamnya dengan hukuman maksimal enam tahun penjara. Lebih jauh, ia juga dijerat dengan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, sebuah pasal dengan ancaman hukuman yang lebih berat, yakni pidana penjara minimal 6 bulan hingga maksimal 12 tahun.
Brigadir Jenderal Agus Rianto, yang kala itu menjabat Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, menjelaskan mengapa tulisan Ongen dianggap melanggar hukum. “Secara eksplisit, tulisan itu memuat tentang persenggamaan dan alat kelamin,” ungkapnya, mengindikasikan sifat vulgar dari konten tersebut.
Proses penyidikan berjalan intensif, melibatkan pemeriksaan terhadap empat saksi krusial, terdiri dari dua pelapor dan dua saksi ahli—masing-masing dari bidang hukum pidana dan kebahasaan. Dalam serangkaian pemeriksaan ini, terungkap sejumlah klaim Ongen yang tidak berdasar. Ia sempat mengaku sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan pemimpin redaksi majalah Maritim. Namun, Yatri Indah Kusumastuti, Kepala Biro Hukum, Promosi, dan Humas IPB saat itu, membantah tegas klaim Ongen. “Yang bersangkutan tidak tercatat sebagai dosen di IPB, melainkan dosen salah satu universitas di kawasan Indonesia timur,” jelasnya.
Tidak hanya klaim akademisnya, penelusuran Tempo terhadap alamat kantor majalah Maritim yang tertera di situs webnya—Graha Maritime di Jalan Alhidayah, Pejaten Barat—juga menunjukkan ketidakbenaran. Alamat tersebut terbukti fiktif, dan warga sekitar tidak pernah mengetahui keberadaan kantor tersebut. “Enggak ada Graha Maritime di sini,” kata seorang warga setempat.
Perjalanan hukum Ongen cukup berliku. Pada Mei 2016, ia sempat menikmati kebebasan sementara melalui putusan sela setelah majelis hakim menilai dakwaan jaksa tidak cermat. Namun, kebebasan itu tidak bertahan lama. Setelah jaksa memperbarui surat dakwaan, persidangan ulang pun kembali digelar. Di tengah proses hukum yang berkelanjutan itu, Ongen dikabarkan telah mengakui perbuatannya dan menyampaikan penyesalannya. Puncaknya, pengadilan menjatuhkan vonis hukuman 9 tahun penjara kepadanya.
Avit Hidayat dan Yudono Yanuar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Dipenjara Gara-gara Bahas Ijazah Jokowi, Gus Nur Dapat Amnesti dari Prabowo









