Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan aliran dana hasil pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) kepada 85 pegawai di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Angka ini mengejutkan, mengingat hanya delapan orang yang sejauh ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang mencuat ini.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan alasan di balik keputusan untuk tidak menjerat ke-85 pegawai tersebut sebagai tersangka, meskipun mereka diduga menerima bagian dari uang haram. Asep menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana seseorang harus didasarkan pada keberadaan mens rea atau niat jahat saat melakukan tindak pidana.
“Bahwa tentunya pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang itu ada mens rea-nya. Ada niat jahat yang harus kita buktikan di sini,” papar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (17/7). Ia menambahkan, fokus penyelidikan adalah untuk mengidentifikasi siapa saja yang benar-benar memiliki niat jahat dalam melancarkan aksi pemerasan ini.
Lebih lanjut, Asep menguraikan pentingnya menelusuri apakah pihak yang menerima aliran uang korupsi tersebut menyadari asal-usul perolehan dana tersebut. “Kemudian, apakah orang-orang tersebut, misalkan yang terbagi ini, ya, terbagi uangnya mengalir ke siapa, memang dia mengetahui, memahami,” ucapnya. Menurut Asep, ada perbedaan signifikan antara individu yang sengaja terlibat dan mereka yang menerima uang tanpa mengetahui sumbernya, misalnya hanya “kebagian” atau dibelikan makanan.
Oleh karena itu, KPK dituntut untuk secara cermat memisahkan antara pelaku utama tindak pidana korupsi dengan pihak-pihak yang hanya ikut menerima namun tidak memiliki pengetahuan atau niat jahat, serta tidak turut serta dalam perbuatan pidana tersebut. “Jadi, kita memang harus benar-benar memisahkan antara orang atau yang pelaku utamanya dengan siapa yang memang hanya sebagai kebagian tapi tidak betul-betul tidak ada niat jahatnya. Dan juga tidak ada fakta perbuatan yang turut serta di dalam tindak pidana ini. Jadi, kita akan pilah seperti itu,” jelas Asep.
Dalam pusaran kasus ini, KPK telah menjerat delapan individu sebagai tersangka. Pada Kamis (17/7), empat di antaranya telah resmi ditahan. Mereka adalah:
- Suhartono, Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker tahun 2020–2023.
- Haryanto, Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) tahun 2019–2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker 2024–2025.
- Wisnu Pramono, Direktur PPTKA tahun 2017–2019.
- Devi Angraeni, Direktur PPTKA tahun 2024–2025.
Keempat tersangka tersebut akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan, terhitung mulai 17 Juli 2024 hingga 5 Agustus 2024 di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih. Sementara itu, empat tersangka lainnya masih belum ditahan, yakni:
- Gatot Widiartono, Koordinator Analisis dan PPTKA tahun 2021–2025.
- Putri Citra Wahyoe, Petugas Hotline RPTKA 2019–2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA pada Direktorat PPTKA 2024–2025.
- Jamal Shodiqin, Analis TU Direktorat PPTKA tahun 2019–2024 yang juga Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA tahun 2024–2025.
- Alfa Eshad, Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker tahun 2018–2025.
KPK menjelaskan modus operandi dalam kasus ini, di mana para tersangka yang merupakan pejabat di Kemnaker, melalui pegawai di Direktorat PPTKA, diduga melakukan pemerasan terhadap pemohon RPTKA. Uang diminta sebagai syarat agar izin kerja calon TKA dapat diterbitkan. Empat tersangka yang baru ditahan diduga secara langsung memerintahkan verifikator di Direktorat PPTKA untuk memungut sejumlah uang dari para pemohon agar dokumen RPTKA disetujui dan dikeluarkan.
Dari kurun waktu 2019 hingga 2024, total uang yang berhasil dikumpulkan para tersangka dari pemohon RPTKA mencapai sekurang-kurangnya Rp 53,7 miliar. Dana tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi para tersangka, tetapi juga sebagian dibagikan kepada sejumlah pegawai di lingkungan Kemnaker, dengan nilai mencapai Rp 8,94 miliar yang dinikmati oleh 85 pegawai tersebut.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hingga saat ini, belum ada tanggapan atau komentar resmi dari para tersangka mengenai kasus yang menimpa mereka.