Wisata ke Luar Negeri (2): Manfaat dan Mudaratnya

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 13 Juli 2025 - 04:29 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Meskipun wisata ke luar negeri banyak manfaatnya untuk diri saya pribadi, hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa wisata ke luar negeri juga punya mudarat. Artikel ringkas ini akan dimulai dengan paparan manfaat wisata ke luar negeri berdasarkan pengalaman pribadi anak dan istri saya, serta hasil perjalanan saya ke luar negeri gratisan yang tujuan utamanya bukanlah untuk wisata. Di bagian akhir baru akan dipaparkan mudarat wisata ke luar negeri berdasarkan beberapa referensi ringan yang saya baca.

Pengalaman kami bepergian ke luar negeri tidak banyak, tetapi saya memberanikan diri untuk melakukan refleksi tentang apa manfaat dari perjalanan kami.

Manfaat Berwisata/Bepergian ke Luar Negeri

Ada banyak rasa syukur yang saya rasakan dari beberapa pengalaman saya yang tidak menyenangkan di luar negeri. Berikut beberapa dari antaranya.

Rasa Syukur Tinggal di Semarang

Dengan dibiayai oleh the British Council, tahun 2003 saya sempat berkunjung ke The University of Newcastle upon Tyne di UK. Saat saya berangkat ke Newcastle, saya masih dalam rangka sakit asam urat di kaki. Dua hari sebelum keberangkatan, saya pergi berobat ke dokter. Kaki yang sakit disuntik oleh dokter. Saat berangkat saya merasa sembuh, sehat walafiat. Namun, apa daya sesampainya di Singapura untuk transit, kaki saya kembali sakit dan sulit untuk berjalan.

Akhirnya selama sekitar dua minggu di Newcastle, saya baru menyadari nikmatnya hidup di Indonesia, khususnya di Semarang. Asam urat ini ternyata tidak mengenal kompromi. Tidak ada toleransi sama sekali. Dia tetap menyerang kaki saya, padahal dua kali dalam sehari saya harus mencari makan ke luar asrama.

Saya membayangkan betapa nikmatnya tinggal di Semarang. Asam urat tidak akan membuat saya kesakitan mencari makanan, karena harus berjalan 1-2 kilometer, seperti di Newcastle. Macam-macam penjual makanan, mulai dari putu, bakpao, nasi goreng, siomay, sate Madura, bakso, mie lontong, bakso Malang, pempek, tiap hari lewat di depan rumah saya. Seandainya saja Newcastle seperti Semarang, oh alangkah indahnya. Sayangnya di Newcastle tidak ada penjual makanan yang lewat di depan asrama tempat saya tinggal.

Asam urat saat bepergian ke luar negeri sudah menyadarkan saya betapa enak dan nyamannya tinggal di Indonesia.

Indonesia Ternyata Maju

Tahun 2014 saya berkunjung ke Surat-Gujarat, India, dengan biaya dari Dikti. Dari Jakarta, saya mendarat di New Delhi. Harapannya saya dapat menggunakan penerbangan domestik dari New Delhi ke Surat. Saat itu saya kesulitan untuk membeli tiket domestik India dari Indonesia. Biro perjalanan yang saya mintai jasanya, tidak bisa membelikan tiket domestik India. Aneh.

Setibanya saya di New Delhi, karena hari sudah sekitar jam 8 malam, saya langsung memesan taksi di loket penjualan taksi resmi (ternyata setelah saya pulang ke Indonesia, saya baru tahu ada taksi resmi yang lebih resmi dari yang saya pakai) di Bandara New Delhi untuk ke hotel tempat saya menginap.  Tiket hotel sudah saya beli di biro perjalanan di Semarang. Dan, seperti biasa gambar saat saya memesan jauh lebih indah dari kenyataan.

Kejutan pertama di India, setelah saya naik taksi dan taksi berjalan beberapa kilometer, tiba-tiba pengemudi taksi menunjukkan bahwa argometer taksi tidak berfungsi. Pengemudi minta saya membayar dua kali lipat tarif taksi. Saya baru menyadari, ternyata selama perjalanan, argometer dia tutupi dengan tubuhnya. Pantas cara mengemudinya aneh. Badan doyong ke arah argometer.

Jika saya tidak bersedia membayar tarif yang dia tawarkan, maka saya diminta turun dan mencari kendaraan yang lain. Karena tidak ada pilihan yang lebih baik, terpaksa saya membayar taksi sesuai dengan tarif yang dia minta.

Keesokan harinya, saya segera mencari tiket pesawat dari New Delhi ke Surat. Malang tidak dapat ditolak, banyak sekali calo yang menawarkan tiket pesawat, dan harganya ternyata lebih mahal dibandingkan jika saya terbang dulu ke Mumbai, lalu dari Mumbai saya lanjutkan perjalanan ke Surat dengan menggunakan kereta api. Kejutan kedua bagi saya adalah ternyata di India banyak sekali calo di tempat penjualan tiket pesawat.

Lebih celaka lagi saat saya sampai di Mumbai malam hari, saya keliru pergi ke stasiun kereta api untuk tujuan jarak pendek. Sementara untuk membeli tiket kereta api Mumbai-Surat, seharusnya saya pergi ke stasiun kereta api antar kota. Karena kondisi keuangan yang pas-pasan (tentu ini bukan salah Dikti) dan malam sudah larut, akhirnya saya kembali lagi ke Bandara di Mumbai, dan tidur di Bandara.

Baca Juga :  Wisata Umbul Bisa untuk Terapi Kesehatan di Klaten Jawa Tengah,setelah Berenang Pegal Hilang

Keesokan harinya saya menggunakan bajaj dari Bandara Mumbai ke stasiun kereta api antar kota di Mumbai. Kejutan ketiga, bajaj yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan bajaj di Jakarta, dan seperti yang sering muncul di film-film India, ternyata dipaksa untuk memuat tujuh penumpang. Tiga duduk di tempat duduk penumpang, dua orang jongkok di depan lutut penumpang, dan dua lagi duduk di lantai di samping kursi pengemudi bajaj. Luar biasa.

Kejutan masih berlanjut, karena saya menggunakan kereta api ekonomi, ternyata tempat duduk di dalam kereta api terdiri dari dua susun. Persis seperti tempat tidur susun. Kaki penumpang yang duduk di tempat duduk di atas, menjuntai ke kepala penumpang yang duduk di tempat duduk bagian bawah. Luar biasa.

Pengalaman saya dengan calo dan taksi bandara di New Delhi mengingatkan saya pada Jakarta akhir abad 19 menjelang tahun 2000. Bayangkan Bandara New Delhi tahun 2014 sama dengan Bandara Jakarta akhir abad 19.  

Keadaan yang saya alami terkait calo dan argometer taksi itu terjadi di Bandara Soekarno-Hatta tahun 1990-an akhir. Banyak taksi gelap dan calo yang menawarkan jasa, serta kejadian argometer taksi mati dan penumpang diminta membayar tarif yang lebih mahal dari tarif berdasarkan argometer. Tahun 2014 saya sudah tidak menjumpai keadaan seperti itu di Bandara Soekarno-Hatta. Taksi-taksi gelap dan calo tiket sudah tidak terlihat.

Pengalaman saya menyadarkan saya, bahwa ternyata Indonesia di tahun 2014 lebih maju satu abad jika dihitung perabadannya atau 15 tahun-an jika dihitung dalam tahun dibandingkan dengan India.

Gelandangan

Semula saya berpikir, gelandangan atau kaum homeless hanya ada di Indonesia. Ternyata gelandangan juga ada di Newcastle upon Tyne UK dan juga di Berkeley Amerika Serikat. Saya akan menceritakan yang di Berkeley saja. Memang ada homeless di kedua tempat tersebut yang lebih ke gaya hidup, bukan alasan ekonomi.

Tahun 2007 dengan disponsori oleh Luce Foundation, saya tinggal selama empat bulan di asrama mahasiswa dan staf University of California (UC) Berkeley. Namanya International House. Sehari-hari saya ngantornya di Departemen Environmental Science, Policy, and Management, UC Berkeley.

Dari semenjak saya datang di UC Berkeley, saya sudah diperingatkan oleh staf yang membantu saya. Di kampus UC Berkeley banyak gelandangan. Tingkat kriminalitasnya juga tinggi, terutama di malam hari.

Dan, benar saja. Setiap sore menjelang malam makin banyak gelandangan atau homeless yang berkeliaran di kampus. Jarak antar gedung di kampus cukup jauh melewati taman atau ruang terbuka hijau dan sepi jika menjelang malam. Pantas saja banyak terjadi tindakan kriminal, termasuk perkosaan di sana.

Mengherankan. Negara semaju Amerika Serikat ternyata juga ada gelandangan. Untuk kasus gelandangan, ternyata Amerika Serikat tidak kalah dibandingkan dengan Indonesia. Berkunjung ke Berkeley ternyata dapat membuat saya bangga menjadi WNI. Gelandangan bukan murni hanya ada di Indonesia.

Kriminalitas

Sejak sekitar sebulan sebelum keberangkatan saya mengikuti World Water Forum (WWF) IV di Mexico City tahun 2006, saya sudah diperingatkan tentang kriminalitas yang tinggi dan mengerikan di Mexico City.

Paspor asli sebaiknya jangan dibawa. Disimpan saja di brankas kecil yang disediakan hotel. Bawa uang tunai secukupnya saja, jika kita bepergian. Dan, ini yang mengerikan, katanya kalau kita ditodong, serahkan saja harta benda kita. Jangan melawan, karena katanya penodong menggunakan senjata api yang siap meletus saat menodong.

Apakah benar demikian? Ataukah ini hanya ketakutan para bule-bule? Maklum yang membiayai saya itu Ford Foundation, dan saya berangkat dengan rombongan yang dibiayai oleh NGO dari Amsterdam Belanda. Mungkinkah ini sama dengan teman saya orang Belanda yang baru pertama kali ke Indonesia. Banyak pertanyaan darinya kepada saya: aman tidakkah minum air putih di Indonesia, bagaimana dengan makanannya amankah, apakah orang Indonesia banyak yang bisa Bahasa Inggris, bagaimana tingkat kriminalitas di Indonesia, dan pertanyaan lain yang senada.

Pengalaman saya di Mexico City sih aman-aman saja. Saya sempat naik kereta api dalam kota pulang dari tempat WWF ke hotel. Aman aman saja. Apakah hal ini disebabkan oleh pengalaman saya yang mumpuni naik kendaraan umum di Indonesia atau karena tampang saya yang tidak meyakinkan yang menurut pengemudi taksi di Jakarta tidak akan ada perampok yang tertarik untuk merampok saya. Entahlah.

Baca Juga :  Panduan Lengkap: 8 Langkah Mudah Apply Visa Taiwan untuk WNI

Yang jelas peringatan tentang tingkat kriminalitas yang tinggi di Mexico City benar-benar menakutkan saya. Kalau soal senjata yang digunakan untuk menodong, jelas Indonesia kalah dibandingkan Meksiko. Lha katanya mereka menggunakan senjata api. Di Indonesia paling penodong menggunakan senjata tajam.

Saya jadi bersyukur lagi jadi WNI dan tinggal di Indonesia. Paling tidak image kriminalitas Indonesia tidak semengerikan Mexico City di mata orang asing.

Belajar Disiplin dan Tertib

Tahun 2025 ini anak dan istri saya pertama kali pergi ke luar negeri. Saya memilihkan Singapura sebagai negara yang mereka kunjungi, karena modernitasnya, transportasinya yang baik dan terintegrasi, keamanannya, dan juga jaraknya yang dekat dengan harapan biayanya juga tidak terlalu mahal.

Saya sudah mewanti-wanti istri saya agar disiplin dan tertib. Selalu berdiri di kiri saat menggunakan eskalator di Singapura. Jangan meludah atau buang ingus sembarangan. Yang terakhir ini yang belum biasa dijumpai di Indonesia, orang masih meludah sembarangan. Utamakan yang akan keluar lift atau MRT atau bus. Ini sebenarnya sudah biasa di Indonesia, khususnya saat kita akan naik dan turun dari kereta kalayang di bandara Soekarno-Hatta. Meski kadang ada petugas yang mengingatkan, seperti yang pernah saya jumpai.

Lumayan juga manfaatnya. Setelah pulang dari Singapura, istri saya tertib selalu berdiri di kiri saat menggunakan eskalator. Kalau yang lainnya soal meludah dan teman-temannya, dia sudah terbiasa tidak melakukannya. Jadi saya tidak dapat melihat perubahannya. Tapi eksesnya, dia selalu mengeluh saat menggunakan lift di RS Kariadi saat menemani saya kontrol bulanan. ‘Yang begini ini tidak ada di Singapura’, katanya melihat pengunjung berebut masuk lift sebelum semua pengguna lift keluar.

Singapura sudah membuat istri saya lebih disiplin dan tertib dalam menggunakan eskalator dan lift.

Manfaat Lain

Ada banyak manfaat lain bagi kami pribadi. Saya pilihkan manfaat yang belum banyak didiskusikan di berbagai situs yang muncul saat kita melakukan pencarian di Google dengan kata kunci ‘manfaat wisata ke luar negeri’ atau saat kita bertanya kepada ChatGPT atau sejenisnya.

Mudarat Berwisata ke Luar Negeri

Dari pustaka yang terbatas saya baca, paling tidak ada dua mudarat wisata ke luar negeri. Pertama terkait dengan Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari pesawat yang kita tumpangi. Maklum saya yang tinggal di Semarang hampir selalu menggunakan pesawat baik untuk rute domestiknya atau rute internasionalnya saat ke luar negeri. Kedua, terkait dengan efek pengganda pariwisata.

Meskipun tidak terlalu dapat diandalkan keilmiahannya, situs https://www.flightright.com/blog/train-vs-plane#the-most-important-facts-about-train-or-plane, khususnya di halaman The most important facts about “Train or Plane?”, menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan dengan kereta api menghasilkan emisi CO2 hingga 96,5% lebih sedikit dibandingkan dengan penerbangan. Menurut situs yang sama dengan mengutip Laporan Greenpeace, untuk rute Berlin-Praha, misalnya, bepergian dengan kereta api 30 kali lebih ramah lingkungan daripada pesawat terbang.

Efek pengganda pariwisata adalah perputaran uang yang dibelanjakan wisatawan, yang menghasilkan pendapatan tambahan bagi berbagai sektor dan bisnis. Pariwisata menciptakan lapangan kerja di berbagai sektor, seperti perhotelan, restoran, transportasi, dll. Pada akhirnya pengeluaran wisatawan juga akan berdampak pada sektor pertanian (untuk makanan yang dikonsumsi wisatawan), industri kecil untuk souvenir misalnya. Dan, jangan lupa juga akan menciptakan lapangan kerja. Belum lagi sewa perkantoran untuk pemasok jasa wisata yang tentunya akan meningkat.

Jadi jika kita berwisata ke luar negeri, maka perputaran uang kita akan dinikmati oleh negara yang kita kunjungi. Sementara jika kita berwisata di dalam negeri, maka seluruh perputaran uang akan dinikmati oleh banyak orang dan industri yang ada di Indonesia.

Akan lebih indah lagi jika wisata di dalam negeri dan di tempat-tempat yang jauh dari pusat perekonomian, seperti di Desa-desa Wisata. Bukan hanya perputaran uang akan dinikmati di dalam negeri, tetapi juga akan lebih memeratakan pembangunan ekonomi dalam negeri.

Penutup

Manfaat yang saya cantumkan di artikel ini lebih ke manfaat positif bagi diri saya dan keluarga. Mungkin saja tentu akan muncul manfaat negatif, seperti wisata ke luar negeri akan menghasilkan banyak kekecewaan terhadap negara kita.

Jika hasil berwisata ke luar negeri adalah kekecewaan pada negara kita dan juga perputaran uangnya terjadi di negara lain, maka celakalah berwisata atau bepergian ke luar negeri.

Berita Terkait

7 Rekomendasi Playground Terdekat di Bali, Arena Bermain untuk Anak
Tour de Ambarrukmo 2025: 1.200 Pesepeda Diajak Jelajahi Yogyakarta
Wisata Malam Bandung yang Bisa Menjadi Referensi Liburanmu
Hidden Gem di Serang Banten yang Wajib Kamu Kunjungi di Akhir Libur Sekolah: Pulau Sangiang
Berburu Promo Sehari Menjelang Penutupan PRJ
11 Hari Tersesat: Kisah Survival Backpacker Jerman di Australia
Embun Upas Bromo: Wisatawan Banjiri Gunung, Ini Penyebabnya!
Cirebon untuk Anak: 5 Wisata Edukatif & Seru, Liburan Keluarga!

Berita Terkait

Minggu, 13 Juli 2025 - 09:04 WIB

7 Rekomendasi Playground Terdekat di Bali, Arena Bermain untuk Anak

Minggu, 13 Juli 2025 - 07:41 WIB

Tour de Ambarrukmo 2025: 1.200 Pesepeda Diajak Jelajahi Yogyakarta

Minggu, 13 Juli 2025 - 06:10 WIB

Wisata Malam Bandung yang Bisa Menjadi Referensi Liburanmu

Minggu, 13 Juli 2025 - 04:59 WIB

Hidden Gem di Serang Banten yang Wajib Kamu Kunjungi di Akhir Libur Sekolah: Pulau Sangiang

Minggu, 13 Juli 2025 - 04:41 WIB

Berburu Promo Sehari Menjelang Penutupan PRJ

Berita Terbaru

technology

HP Infinix 2 Jutaan Diskon: 5 Rekomendasi Spek Gaming Terbaik!

Minggu, 13 Jul 2025 - 15:23 WIB

technology

Samsung Z Flip 7 vs Z Flip 6: Apa Bedanya?

Minggu, 13 Jul 2025 - 15:05 WIB

crime

Tawuran Kramat Raya: 9 Pemuda Diciduk Polisi!

Minggu, 13 Jul 2025 - 14:29 WIB

entertainment

The Sun Gazer: Kisah Cinta Langit yang Menyentuh

Minggu, 13 Jul 2025 - 14:11 WIB

technology

Harga HP Samsung Juli 2025: Z Flip7 vs Z Fold7, Mana Terbaik?

Minggu, 13 Jul 2025 - 13:23 WIB