Monumen ‘Rumah Penyiksaan’ Aceh Diresmikan: Halangi Keadilan?

Avatar photo

- Penulis

Sabtu, 12 Juli 2025 - 00:17 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah telah meresmikan sebuah monumen baru di atas reruntuhan situs kelam Rumoh Geudong, Aceh, pada Kamis (10/07). Rumoh Geudong merupakan salah satu lokasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Kabupaten Pidie yang tak terpisahkan dari era konflik bersenjata antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di tengah peresmian ini, pemerintah juga menyerahkan “bantuan tali asih” senilai Rp10 juta kepada keluarga korban, sebuah kebijakan yang segera memicu polemik dan kritik tajam dari para pegiat HAM. Lantas, apa inti persoalannya?

Rukiyah Ahmad, kini berusia 66 tahun, tak pernah bisa mengenyahkan ingatan atas peristiwa kelam 35 tahun silam dari benaknya. Baginya, kejadian itu terukir abadi.

Pada hari nahas itu, Kamis, 25 Oktober 1990, sebuah ketukan terdengar di pintu rumahnya di Gampong Cot Tunong, Pidie, Aceh. Di hadapannya, berdiri sosok Keuchik atau Kepala Desa Cot Tunong, Ahmad Yakob, ditemani oleh seorang pria berseragam TNI Angkatan Darat dari kesatuan elit Kopassus. Rukiyah, perempuan berpostur mungil yang saat itu tengah mengandung anak ketiganya dengan usia kehamilan delapan bulan, kemudian dibawa ke sebuah lokasi yang paling ditakuti masyarakat setempat: Rumoh Geudong, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya.

Begitu memasuki Rumoh Geudong, di sudut kolong rumah adat Aceh yang menyeramkan itu, ia melihat sesosok mayat tergeletak di lantai. Firasatnya segera mengatakan bahwa itu adalah jenazah suaminya, Ibrahim Abubakar alias Ibrahim Pawang, yang saat itu berusia 45 tahun. Belakangan, Rukiyah mengetahui bahwa suaminya ditembak di Jembatan Gampong Amud Mesjid, Kecamatan Glumpang Tiga, pada pukul 11.00 WIB di hari yang sama. Di Rumoh Geudong, Rukiyah dicecar berbagai pertanyaan terkait keberadaan suaminya yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)—sebutan pemerintah Indonesia untuk GAM—pada awal 1990-an. “Saya juga diminta mencari keberadaan suami saya,” kenang Rukiyah, Rabu (09/07) sore, kepada wartawan di Pidie, Firdaus Yusuf, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Pada hari yang sama, Kamis, 25 Oktober 1990, sekitar pukul 17.00 WIB, jenazah Ibrahim Pawang dipulangkan melalui Camat Glumpang Tiga, Sulaiman Abdullah. Rukiyah meminta untuk dapat melihat jenazah suaminya untuk terakhir kali, namun permohonannya tak dipenuhi. “Saya juga meminta pada camat agar saya juga dibawa pulang, tapi kata tentara di Rumoh Geudong, saya baru boleh pulang setelah suami saya dimakamkan,” ungkap Rukiyah.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah pengalaman yang meninggalkan trauma berkepanjangan bagi Rukiyah hingga kini. Selama dua hari dua malam, Rukiyah disekap dan mendapatkan berbagai bentuk penyiksaan di Rumoh Geudong, sebelum akhirnya dibebaskan pada Sabtu, 28 Oktober 1990. Rukiyah Ahmad adalah satu dari 53 saksi korban penyiksaan oleh tentara Indonesia di Rumoh Geudong. Kisah Rukiyah dan korban lainnya menjadi bagian penting dari kesaksian yang diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kesaksian ini merupakan inti penyelidikan Komnas HAM untuk mengungkap praktik kekejaman aparat TNI di Rumoh Geudong, yang berfungsi sebagai pos militer sekaligus lokasi penyiksaan. Dibantu LSM PASKA, proses penyelidikan pelanggaran HAM berat di Aceh ini berlangsung hingga April 2018. Lima bulan kemudian, Komnas HAM mengirimkan laporan penyelidikan pro-yustisia peristiwa Rumoh Geudong serta berbagai kasus di Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis) lainnya kepada Jaksa Agung. Tujuannya adalah mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti laporan ini ke tahapan penyidikan dan penuntutan. Selain Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya, dua kasus pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah diserahkan Komnas HAM ke Jaksa Agung adalah peristiwa Simpang KKA dan peristiwa Jambo Keupok. Namun, Kejaksaan Agung berulang kali menolak berkas penyelidikan Komnas HAM tersebut.

Temuan Komnas HAM menyimpulkan bahwa Pos Sattis—termasuk Rumoh Geudong—adalah tempat penyekapan, interogasi, penyiksaan, pemerkosaan, dan bahkan eksekusi. Menurut Komnas HAM, Kopassus TNI AD merupakan pelaksana lapangan di Pos Sattis Rumoh Geudong. Selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah (1989-1998), Pos Sattis ini dibentuk di setiap kecamatan di empat sektor, yakni Sektor A/Pidie, Sektor B/Aceh Utara, Sektor C/Aceh Timur, dan Sektor D/Aceh Tengah. Dyah Rahmany P, dalam bukunya, Rumoh Geudong Tanda Luka Orang Aceh (2001), mencatat bahwa Rumoh Geudong mulai digunakan sebagai pos militer sejak April 1990. Rumah ini dikenal angker dan pernah membuat anggota Kopassus memindahkan pos sementara sebelum akhirnya kembali setelah meminta ulama Aceh, Abu Kuta Krueng, untuk melakukan kenduri pemindahan makhluk halus.

Bertahun-tahun setelah Kejaksaan Agung menolak berkali-kali laporan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM berat di Aceh, sebuah langkah terobosan non-yudisial dilakukan Presiden Jokowi di akhir pemerintahannya. Pada 26 Agustus 2022, Presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu. Tim PPHAM ini, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, bertugas melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM hingga 2020. Ada belasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi fokus penyelesaian non-yudisial, termasuk pembunuhan Massal 1965, peristiwa Talang Sari, Penembakan Misterius 1982-1985, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya, hingga peristiwa Jambo Keupok. Pada 27 Juli 2023, Presiden Joko Widodo sendiri berkunjung ke Rumoh Geudong di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, untuk melakukan “kick-off” penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Ironisnya, sebelum acara tersebut, pemerintah membongkar sisa-sisa bangunan asli Rumoh Geudong yang tersisa setelah dibakar massa pada 1998. Hanya tangga beton dan dua sumur lama yang kini tersisa, digantikan oleh monumen dan sebuah masjid.

Baca Juga :  Bobon Santoso Masak Batagor Raksasa: 6.000 Porsi untuk Bobotoh

Kebijakan “bantuan tali asih” yang merupakan bagian dari penyelesaian non-yudisial ini menuai kritik tajam dari para pegiat HAM. Sebanyak 58 korban Rumoh Geudong telah menerima berbagai bantuan rehabilitasi sosial sejak awal pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial, termasuk traktor, mesin pompa air, mesin pemotong rumput, puluhan ayam dan bebek, hand sprayer elektrik, Kartu Indonesia Sehat (KIS) Prioritas, PKH Rp 3 juta, dan paket sembako. Namun, sekitar dua tahun setelah Jokowi meresmikan kebijakan ini di Rumoh Geudong, pemerintah kembali memberikan bantuan tali asih kepada korban kasus Rumoh Geudong dan Simpang KKA yang belum terakomodir. Melalui Wakil Menteri HAM, Mugianto Sipin, pemerintah pusat menyerahkan bantuan tersebut di Kota Pidie pada 9 Juli lalu. Menurut Mugianto, penyerahan bantuan tali asih ini adalah “wujud nyata kehadiran negara dalam memberikan atensi dan penghormatan kepada para korban” yang telah memikul luka sejarah bertahun-tahun. Ia menegaskan, “Ini sekaligus bagian dari upaya pemulihan, pengakuan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan para korban dan keluarganya.” Nilai bantuan tali asih yang diserahkan kepada 27 korban Rumoh Geudong dan 57 korban Simpang KKA adalah Rp10 juta per korban.

Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyampaikan bahwa fokus penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial seharusnya adalah pemulihan bagi korban, namun pendekatan ini tidak boleh menutup proses pengusutan hukum terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan Komnas HAM pada 2018. “Reparasi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat tidak sebatas dengan pemberian uang tunai. Jika diberikan uang tunai pun, nilainya haruslah wajar,” tegas Aulianda Wafisa, Selasa (08/07). Ia menekankan bahwa peristiwa yang dialami korban Rumoh Geudong dan Simpang KKA adalah pelanggaran HAM berat, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan luar biasa. “Pemberian uang senilai Rp 10 juta terkesan seperti penanganan tindak pidana ringan atau tipiring. Itu sangat memalukan,” tambahnya. Aulianda membandingkan dengan nilai bantuan tali asih yang diterima keluarga korban penculikan aktivis ’98 beberapa waktu lalu, yang mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar per keluarga korban. Meskipun tidak bermaksud menilai dari nominal uang, ia berpendapat bahwa angka sebesar itu “bisa membuat kehidupan masyarakat korban berubah menjadi jauh lebih baik.” Aulianda juga mendesak pemerintah agar dalam hal reparasi dan rehabilitasi korban, turut memasukkan aspek sosial, psikologis, kesehatan, jaminan pendidikan bagi keluarga korban, serta pemberdayaan ekonomi. “Jangan beranggapan pemulihan bagi korban hanya sekadar bayar uang. Hal itu merendahkan harkat dan martabat korban sebagai manusia,” ujarnya. Menanggapi kritik tentang nilai tali asih Rp10 juta, Wakil Menteri HAM, Mugianto, menjelaskan bahwa bantuan tersebut adalah “bantuan tali asih dan bukan pemulihan korban. Pemulihan korban akan dilakukan kemudian secara komprehensif. Tidak ada yang bisa menggantikan penderitaan para korban.” Terkait perbandingan dengan bantuan bagi korban ’98, Mugianto menuturkan bahwa penderitaan korban tidak untuk dibanding-bandingkan. “Kami datang ke sini untuk memastikan bahwa negara hadir untuk para korban pelanggaran HAM berat. Kementerian HAM tahu betul apa tanggung jawabnya,” kata Mugianto, Rabu (09/07), di Kantor Bupati Pidie.

Pada 10 Juli lalu, di atas reruntuhan Rumoh Geudong, pemerintah Indonesia meresmikan sebuah monumen yang diberi nama ‘Memorial Living Park’. Monumen itu diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Dalam sambutannya, Yusril menyatakan bahwa Memorial Living Park ini dibangun sebagai wujud kehadiran negara dalam memberikan ruang aman dan bermartabat kepada penyintas serta keluarga korban, sekaligus sebagai tempat belajar dan mengenang peristiwa masa lalu. “Pemerintah telah mengakui terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk yang terjadi di Aceh,” kata Yusril, menegaskan bahwa komitmen ini terlembaga dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023, yang disebutnya sebagai tonggak awal pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengakuan negara tersebut, lanjut Yusril, bukanlah akhir, melainkan awal sebuah proses pemulihan. “Pemerintah tidak sekadar hadir dengan kata-kata, tapi hadir lewat langkah nyata dalam melakukan pemulihan hak-hak korban,” ujarnya. Setelah pemotongan pita dan penandatanganan prasasti, wartawan Firdaus Yusuf bertanya kepada Yusril Ihza Mahendra, “Apakah Memorial Living Park ini menghapus kekejaman TNI Angkatan Darat di Rumoh Geudong? Kalau tidak, bagaimana negara menarasikannya?” Dengan suara yang sangat pelan, Yusril menjawab, “Dalam upaya menangani suatu masalah, tentu tidak ada suatu hal yang 100% memuaskan. Tapi kita harus melakukan sesuatu untuk perubahan.”

Sosiolog Aceh, Otto Nur Abdulllah, yang akrab disapa Otto Syamsuddin Ishak—mantan komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 sekaligus ketua tim ad hoc pelanggaran HAM masa lalu di Aceh—menyatakan bahwa pembangunan Memorial Living Park di atas sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong adalah “praktik menghalangi upaya hukum yang sempurna”. “Tempat kejadian perkara sudah rusak,” kata Otto, Rabu, 9 Juni 2025. Menurut Otto, ada tiga hal penting yang harus diingat dari Rumoh Geudong. Pertama, rumah tersebut adalah rumah hulubalang besar di Kecamatan Glumpang Tiga, sebuah “monumen sistem politik yang pernah berlaku di Pidie.” Kedua, Rumoh Geudong adalah rumah adat dengan ornamen, ukiran, dan arsitektur khas Aceh yang membedakannya dari rumah lain. Ketiga, rumah itu kemudian berubah menjadi “kamp penyiksaan,” menjadikannya sebuah rumah adat seorang hulubalang besar yang bertransformasi menjadi tempat kekejaman. Memorial Living Park yang dibangun tersebut, ujar Otto, tidak menceritakan serangkaian peristiwa yang terjadi di rumah itu, “bahkan cenderung menghilangkan peristiwa-peristiwa di sana dan digunakan untuk menyembunyikan barang-barang bukti yang ditemukan di dalam pekarangan rumah itu.” Lebih lanjut, peresmian Memorial Living Park pada Kamis, 10 Juli 2025 kemarin, diwarnai insiden kekerasan terhadap salah satu staf PASKA Aceh, Faisal (32 tahun), di panggung utama tempat para korban pelanggaran HAM berat duduk. Pemukulan oleh seorang warga Gampong Billi Aron, Fattahillah, menyebabkan Faisal mengalami pendarahan di telinga dan harus mendapatkan perawatan medis. Direktur PASKA Aceh, Farida Haryani, mengkhawatirkan informasi yang tidak disampaikan secara terbuka kepada publik mengenai identitas korban yang menerima bantuan tali asih Rp10 juta, menyebabkan korban dan keluarga korban yang belum terakomodir merasa kecewa dan menyalahkan kelompok masyarakat sipil.

Baca Juga :  Quartararo Raih Kemenangan Perdana MotoGP: Sejarah Baru Usai Gantikan Rossi di Yamaha

Proyek pembangunan Memorial Living Park, yang ditender Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Agustus 2023, melibatkan anggaran besar. Pembangunan monumen itu sendiri memiliki pagu anggaran Rp 19.348.000.000, ditambah manajemen konstruksi dengan pagu anggaran Rp 866.000.000, dengan Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Permukiman Provinsi Aceh. Sekitar dua tahun lalu, pada 27 Juni 2023, Pemerintah Kabupaten Pidie telah membayar Rp 3.966.151.000 sebagai uang pembebasan lahan Rumoh Geudong seluas 7.015 meter persegi kepada kuasa ahli waris, Cut Yuliza. Namun, di tengah proses pembangunan Memorial Living Park, para pekerja menemukan tulang-tulang manusia yang diduga menjadi korban pembunuhan di luar proses hukum di sekitar tempat monumen. Setelah sempat menyimpan tulang-tulang tersebut di gudang di lokasi proyek selama lebih dari tiga bulan, tulang-tulang itu kemudian dikuburkan kembali di tempat penemuannya. Hingga kini, belum ada sikap atau upaya konkret dari pihak terkait untuk menindaklanjuti temuan tulang-belulang tersebut.

Kembali ke sosok Rukiyah Ahmad, salah seorang korban penyiksaan di Rumoh Geudong. Saat peresmian monumen yang berdiri di atas bekas lokasi di mana ia mengalami penderitaan 35 tahun silam, Rukiyah berdiri di sisi Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dan Wakil Menteri HAM, Mugianto Sipin. Sambil menggenggam piagam bertuliskan bantuan tali asih, perempuan berusia 66 tahun itu berharap agar pemerintah membangun tugu yang memuat daftar korban yang pernah disekap dan disiksa, korban pembunuhan kilat, serta korban penghilangan paksa dan extrajudicial killing di Memorial Living Park, “seperti Museum Tsunami di Banda Aceh.” Rukiyah mengucapkan terima kasih kepada Kementerian HAM atas tali asih senilai Rp 10 juta yang telah ia terima, seraya berharap “pemulihan untuk korban dilakukan secara berkesinambungan.”

Sementara itu, Murtala (50 tahun), warga Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, salah seorang korban peristiwa Simpang KKA, menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat Simpang KKA tidak hanya seharusnya berhenti pada pemulihan korban, melainkan juga harus melibatkan proses penegakan hukum agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa depan. “Pemulihan terhadap korban pun harus dilakukan secara berkesinambungan,” kata Murtala, yang juga menjabat Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA. Ia juga meminta pemerintah untuk membebaskan lahan dan membangun sebuah museum Peristiwa Simpang KKA. Peristiwa Simpang KKA sendiri terjadi di Dusun Simpang III KKA, Gampong Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, pada 3 Mei 1999. Insiden ini bermula saat anggota TNI Kesatuan Den Rudal 001/Lilawangsa, Serka Adityawarman, dilaporkan hilang dan diduga diculik anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada malam pengajian akbar yang digelar GAM pada 30 April 1999. Penembakan membabi-buta yang dilakukan anggota TNI dari Kesatuan Yonif 113 dan Den Rudal 001/Lilawangsa di Simpang KKA menyebabkan 39 warga sipil meninggal dunia dan 125 lainnya mengalami luka-luka. “Rata-rata korban terkena tembakan dari arah belakang,” kenang Murtala, yang saat itu berada di lokasi penembakan.

Wartawan di Aceh, Firdaus Yusuf, melakukan liputan dan menuliskan artikel ini.

  • Komnas HAM: Kopassus ‘diduga terlibat pelanggaran HAM berat’ di Aceh
  • ‘Disetrum, digantung dengan kaki di atas di Rumoh Geudong’, trauma anak muda Aceh
  • Kesaksian korban peristiwa Jambo Keupok, Aceh: ‘Lolongan pilu saat tentara membakar hidup-hidup belasan orang’
  • ‘Disetrum, digantung dengan kaki di atas di Rumoh Geudong’, trauma anak muda Aceh
  • Komnas HAM: Kopassus ‘diduga terlibat pelanggaran HAM berat’ di Aceh
  • Kesaksian korban peristiwa Jambo Keupok, Aceh: ‘Lolongan pilu saat tentara membakar hidup-hidup belasan orang’

Berita Terkait

Kementerian dan Lembaga Semangat Minta Tambah Anggaran dalam RAPBN 2026
Komnas HAM Tinjau TKP Tewasnya Diplomat Kemlu Arya Daru Pangayunan
6 Air Terjun Pacet Memukau: Trekking Menantang, Pemandangan Surgawi!
Xiaomi 15 Ultra vs Z Flip7: Adu Spek & Harga, Siapa Unggul?
Milly Alcock Jadi Supergirl! Biodata & Profil Lengkap
Riza Chalid Jadi Tersangka! Korupsi Pertamina Rp 285 Triliun Terungkap
Rayyan Arkan Dhika: Penari Pacu Jalur Riau yang Mendunia!
Samsung Z Flip7 Resmi di Indonesia! Harga & Fitur Unggulan Terungkap!

Berita Terkait

Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:11 WIB

Kementerian dan Lembaga Semangat Minta Tambah Anggaran dalam RAPBN 2026

Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:05 WIB

Komnas HAM Tinjau TKP Tewasnya Diplomat Kemlu Arya Daru Pangayunan

Sabtu, 12 Juli 2025 - 00:35 WIB

6 Air Terjun Pacet Memukau: Trekking Menantang, Pemandangan Surgawi!

Sabtu, 12 Juli 2025 - 00:17 WIB

Monumen ‘Rumah Penyiksaan’ Aceh Diresmikan: Halangi Keadilan?

Jumat, 11 Juli 2025 - 19:53 WIB

Xiaomi 15 Ultra vs Z Flip7: Adu Spek & Harga, Siapa Unggul?

Berita Terbaru

Public Safety And Emergencies

Kematian Diplomat Arya Daru: Polisi Libatkan Psikolog Forensik!

Sabtu, 12 Jul 2025 - 14:47 WIB