Seorang penyintas dari tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Perairan Selat Bali, pada Rabu (02/07), mengisahkan pengalaman mencekam yang disebutnya “bertaruh dengan maut”. Ia adalah Eka Toniansyah, yang harus berjuang menyelamatkan diri sembari berupaya menolong ayahnya yang juga ikut dalam pelayaran maut tersebut.
“Saya rangkul tubuh bapak saat tenggelam dalam ombak. Tapi bapak sudah tidak ada [meninggal],” ujar Eka dengan suara getir saat ditemui di kediamannya di Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Sabtu (05/07).
Hingga Sabtu pagi, data tim SAR gabungan mencatat 36 orang telah berhasil dievakuasi, meliputi 30 penyintas dan enam korban meninggal dunia. Sementara itu, 29 korban lainnya masih dinyatakan hilang dan dalam pencarian. Berdasarkan manifes awal, KMP Tunu Pratama Jaya diketahui membawa 53 penumpang, 12 kru kapal, dan 22 kendaraan.
‘Saya rangkul tubuh bapak saat tenggelam dalam ombak’
Eka mengisahkan, saat kapal mulai ditelan gelombang, ia bersama ayahnya, Eko Satriyo (51 tahun), terjebak dalam pusaran air laut yang menggulung KMP Tunu Pratama Jaya. Dalam kepanikan dan kegelapan, Eka refleks memeluk erat tubuh ayahnya ketika mereka berdua ‘ditelan’ ombak ke dalam laut.
“Saya rangkul tubuh bapak saat tenggelam dalam ombak. Tapi bapak sudah tidak ada [meninggal],” terangnya lagi, menegaskan momen pilu tersebut.
Meskipun ayahnya telah tiada, Eka tak sedikit pun melepaskan genggamannya. Berkat perjuangan dan tekadnya, ia berhasil muncul kembali ke permukaan dan terapung di laut lepas selama lima jam, sebelum akhirnya dievakuasi.
- Pencarian korban kapal tenggelam di Selat Bali terus berlangsung
- Kapal tenggelam berulang kali terjadi di Indonesia, dua masalah kerap muncul
Detik-detik kapal tenggelam
Eka menceritakan, sesaat sebelum kapal naas itu tenggelam, ia dan ayahnya berada di ruang penumpang bersama sejumlah penumpang lain. Menurut kesaksiannya, peristiwa itu terjadi sangat cepat, hanya sekitar tiga menit.
Yang lebih mencemaskan, kata Eka, tidak ada peringatan dari petugas kapal saat KMP Tunu Pratama Jaya mulai miring. “Tidak ada peringatan dari petugas saat kapal miring. Orang-orang [penumpang] yang lain ambil sendiri pelampungnya. Kita semua ambil sendiri,” ungkap Eka.
Ia dan ayahnya sempat meraih pelampung kecil dan berpegangan pada besi panjang geladak kapal. “Mungkin penumpang lain tidak dapat pelampungnya. Bapak sempat saya pakaikan pelampung tetapi tidak selamat,” imbuhnya.
Kesaksian Eka tentang nihilnya peringatan ini senada dengan keterangan sejumlah penyintas KMP Tunu Pratama Jaya lainnya, seperti yang termuat dalam artikel BBC News Indonesia berjudul Pencarian korban kapal tenggelam di Selat Bali terus berlangsung. Para penyintas mengaku tidak mendengar pengumuman akan tenggelamnya kapal dan banyak yang terselamatkan berkat jaket pelampung yang secara kebetulan tercecer keluar dari kapal.
Menanggapi insiden ini, Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, menyatakan pemerintah berkomitmen penuh untuk menginvestigasi penyebab kecelakaan dan berupaya mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. “Adapun penyebab kecelakaan, kami akan menyerahkan kepada KNKT sesuai dengan tugasnya untuk melakukan investigasi. Pihak kami saat ini fokus pada proses pencarian dan penyelamatan,” tegasnya dalam konferensi pers di Posko Pelabuhan Ketapang, Kamis (03/07) petang.
Ditemukan nelayan
Setelah terombang-ambing selama hampir lima jam di tengah lautan, Eka beserta jasad ayahnya akhirnya ditemukan oleh nelayan. Eka bersama korban selamat lainnya kemudian diseberangkan menuju Pelabuhan ASDP Ketapang, menaiki KMP Dharma Rucitra dari Pelabuhan Gilimanuk, Bali, pada Kamis (03/07).
Duka mendalam atas tragedi ini juga menyelimuti Misatun, istri dari almarhum Eko Satriyo. Misatun menuturkan bahwa sang suami berprofesi sebagai sopir truk, dan Eka, putra mereka, baru sebulan terakhir menjadi kenek ayahnya. Pada Rabu (02/07) sekitar pukul 21.00 WIB, Eka dan Eko bertolak membawa material semen untuk dikirim ke Singaraja, Bali.
Misatun tak pernah menyangka bahwa pertemuan malam itu akan menjadi perpisahan terakhirnya dengan sang suami. Setelah anak dan suaminya pergi, Misatun tidur seperti biasa. Namun, ia terbangun pukul 02.00 WIB dan langsung dihantam kabar mengerikan: anak dan suaminya tenggelam bersama KMP Tunu Pratama Jaya.
“Saya langsung datang ke Pelabuhan untuk memastikan kabar tersebut,” ujarnya.
Sekitar pukul 08.00 WIB, Kamis (03/07), Misatun menerima kabar pahit bahwa suaminya meninggal dunia, sementara putranya ditemukan selamat. Misatun mengenang suaminya sebagai sosok yang penuh perhatian. Ia yang tengah menderita diabetes mengaku kerap dikirimi obat dan diingatkan untuk rutin berdoa oleh Eko. “Sering mengingatkan salat, terakhir saya diingatkan baca ayat kursi 11 kali,” kenang Misatun.
Tak hanya itu, Misatun juga mengenang pesan terakhir suaminya yang tak terduga: “istriku sayang,ee aku minta maaf”. Ia tak menyangka, kalimat itu adalah pesan perpisahan. “Dia bilang sayang tetapi saya ditinggalkan. Aku enggak bisa [kuat] mas,” ujarnya sembari tak kuasa menahan tangis.
Bagaimana perkembangan pencarian?
Tim SAR gabungan kembali mengintensifkan upaya pencarian pada Sabtu (05/07) terhadap 29 korban yang dilaporkan masih hilang akibat tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Perairan Selat Bali. Deputi Bidang Operasi Pencarian dan Pertolongan dan Kesiapsiagaan Basarnas, Eko Suyatno, menjelaskan bahwa tim SAR mengerahkan belasan kapal dan helikopter milik TNI AL, Polri, dan Basarnas.
Area pencarian pun diperluas hingga sejauh 20 mil laut ke arah selatan dari lokasi kejadian. Hingga Sabtu pagi, data tim SAR gabungan mencatat total 36 orang telah dievakuasi, terdiri dari 30 penyintas dan enam korban meninggal dunia, dengan 29 korban masih dalam pencarian.
Sebelumnya, pada hari kedua pencarian, Jumat (04/07), upaya menemukan korban KMP Tunu Pratama Jaya terhambat. “Proses pencarian terhalang cuaca, jarak pandang dan tinggi gelombang,” kata Eko Suyatno dalam konferensi pers di media center Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur.
Untuk mendukung misi pencarian, pihak berwenang mengerahkan 15 kapal dan dua helikopter. Angkatan Laut Indonesia bahkan mengirimkan dua kapal perang, KRI Teluk Ende dan KRI Tongkol. Eko menambahkan, pada Sabtu (05/07), tim SAR gabungan berencana mendatangkan peralatan pencarian bawah laut untuk memaksimalkan upaya mereka.
Bagaimana kronologinya?
KMP Tunu Pratama Jaya memulai pelayarannya dari Pelabuhan Ketapang pada pukul 22.56 WIB, Rabu. Sekitar pukul 23.20 WIB, kapal itu mengirimkan panggilan darurat, demikian disampaikan Wahyu Setiabudi, Koordinator Pos SAR Banyuwangi.
Lima menit setelah panggilan darurat tersebut, Wahyu mengungkapkan bahwa petugas jaga syahbandar melihat kapal itu mulai tenggelam. Pukul 00.18 WIB, Kamis dini hari, sejumlah petugas dari berbagai instansi segera dikerahkan ke titik terakhir keberadaan KMP Tunu Pratama Jaya. Namun, petugas penyelamat menghadapi kendala cuaca buruk. “Di titik lokasi ombak mencapai 2,5 meter,” ujar Wahyu, menjelaskan tantangan yang dihadapi tim di lapangan.
—
Wartawan di Banyuwangi, Eko Purwanto, melaporkan untuk BBC News Indonesia
- Belasan korban kapal tenggelam di Danau Toba ditemukan, lebih dari 180 hilang
- Kapal tenggelam di Sultra tewaskan 15 orang, ‘Bukti keselamatan perairan tidak dipikirkan’