MK Putuskan Akhiri Pemilu Serentak, Desak Revisi UU Pemilu untuk Pemisahan Nasional dan Daerah
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang mengubah lanskap demokrasi Indonesia, mengabulkan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Uji materi ini secara spesifik menargetkan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, yang dinilai Perludem bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan ini, era pemilu serentak resmi berakhir. MK secara tegas memutuskan bahwa pemilu nasional, yang mencakup pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Presiden dan Wakil Presiden, harus dipisahkan dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota serta kepala dan wakil kepala daerah. Jeda waktu antara kedua jenis pemilu ini ditetapkan minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
Menanggapi putusan bersejarah ini, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan bahwa keputusan MK akan menjadi landasan utama bagi revisi Undang-Undang Pemilu. Politikus Partai NasDem tersebut menyatakan bahwa Komisi II DPR akan segera mencari formula terbaik untuk mengatur penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal secara terpisah, mengingat ini adalah bagian dari kewenangan konstitusional mereka. “Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu perhatian utama bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” ujar Rifqinizamy pada Kamis, 26 Mei 2025.
Di sisi lain, Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, sebelumnya telah mendesak agar revisi Undang-Undang Pemilu segera dibahas. Menurut Titi, penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang lebih awal akan sangat krusial untuk memaksimalkan persiapan seluruh tahapan pemilihan, sekaligus meminimalisir potensi keberatan terhadap muatan materi dalam RUU tersebut. Titi menekankan bahwa pembahasan RUU Pemilu sebelum dimulainya tahapan pemilihan akan mencegah perubahan aturan yang mendadak, serta membuka ruang lebih luas bagi deliberasi dan partisipasi publik yang optimal.
Sebaliknya, ia memperingatkan bahwa penundaan pembahasan RUU Pemilu berisiko pada penyelesaian yang terburu-buru, bahkan berpotensi berdekatan dengan pelaksanaan pemilihan pada 2029. Kekhawatiran Titi juga meliputi kurangnya partisipasi masyarakat dan potensi gugatan ke MK di kemudian hari, jika proses legislasi tidak dilakukan secara cermat dan sesuai konstitusi.
Artikel ini disusun berkat kontribusi dari Novali Panji Nugroho, Sapto Yunus, dan Daniel Ahmad Fajri.