Hari itu, kamis, 26 Juni 2026 langit Jakarta begitu cerah, dan Daku (saya) memutuskan mengambil jeda cuti dari hiruk-pikuk kota yang penuh dengan lika liku-nya.
Kali ini, Daku (saya) traveling bukan ke mall atau kafe kekinian atau ke alam terbuka, tapi ke sebuah tempat yang membuat ku tenggelam dalam kapsul waktu dari Masjid Baba Alun, Museum Kebudayaan Betawi di Situ Babakan, Museum Layang-Layang, dan terakhir Museum Basuki Abdullah.
Daku tidak sendirian kesana, ditemani sekitar 60-an konten kreator yang dipilih oleh Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta dan Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Jakarta Selatan.
Ada sesuatu yang membuat kena pelet, destinasi pertama membuat hati ku tertarik penasaran dengan perpaduan budaya, apalagi jika itu menyatu dalam tempat ibadah.
Itulah yang membawa ku ke sebuah tempat yang menenangkan yang kerap disebut orang sebagai “masjid rasa klenteng” -Masjid Babah Alun di Cilandak, Jakarta Selatan.
Ku sengaja meluangkan waktu untuk “bernapas” dari rutinitas setiap hari. Seorang kerabat pernah bilang, “Kalau mau tahu wajah asli dari Jakarta, cari Masjid dari kaum minoritas”.
Masjid Babah Alun berdiri dengan anggun dan berbeda, letaknya berada di samping jalan tol. Bukan kubah menjulang atau menara tinggi yang pertama ku lihat, melainkan fasad bergaya Tionghoa klasik dengan perpaduan warna merah, hijau, dan emas yang mencolok namun tetap menenangkan jiwa.
Sejujurnya, jikalau tidak ada tulisan “Masjid Babah Alun”, aku hampir mengira ini adalah klenteng. Masjid Babah Alun didirikan pada abad ke-19 oleh seorang pedagang kaya bernama Tan Eng Goan, yang bergelar Babah Alun.
Awalnya tempat ibadah bagi umat Muslim ini berfungsi sebagai tempat ibadah bagi komunitas Tionghoa Muslim di Jakarta, dengan berjalannya waktu digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Tujuan berikutnya, Daku diantarkan ke salah-satu pusat kebudayaan Betawi di Setu Babakan. Pertama yang kami jejak Museum Betawi.
Daku melangkah masuk ke bangunan utama museum. Di dalamnya, setiap sudut seolah berbisik dan berbicara. Ada pakaian adat lengkap dengan kebaya encim dan baju sadariah.
Di salah satu ruangan, terpajang Ondel-Ondel dan rebana. Tak jauh dari situ, aku melihat replika meja makan Betawi tempo dulu, lengkap dengan tungku logam & tanah liat serta alat-alat masak tradisional. Rasanya Daku seperti mengintip kehidupan sehari-hari orang Betawi zaman baheula.
Seorang pemandu bercerita tentang asal mula suku Betawi. Etnis ini merupakan campuran dari berbagai budaya dari Sunda, melayu, Arab, Tionghoa, Eropa, hingga Jawa.
Museum ini bukan sekadar tempat memajang benda – benda lama. Tempat ini adalah ruang hidup, tempat cerita, budaya, dan kenangan Betawi yang diusahakan terus berdenyut.
Di Museum betawi ini, aku belajar bahwa mengenal budaya sendiri bisa menarik hasrat petualangan ke alam syaraf intelektual ku.
Daku tersadar, keragaman ini adalah kekayaan luar biasa yang membentuk karakter khas Betawi yang ceria, ramah, kocak dan penuh warna.
Lalu, jiwa ku dibawa, suasana lain di Perkampungan Betawi di Pulau Ismail Marzuki. Deretan rumah adat bergaya Betawi terpajang anggun di tepian danau Situ Babakan.
Angin semilir dengan hujan cahaya yang terik menyapu wajahku, membawa aroma pepohonan dan sedikit wangi aroma danau. Terbayang suara musik gambang kromong samar terdengar dari kejauhan, seperti hendak menyambut siapa pun yang datang dengan ramah.
Raga ku bukan hanya untuk mengabadikan foto-foto, tapi dengan rasa bangga menjadi bagian dari memahami negeri yang kaya budaya seperti Indonesia.
Selanjutnya ku dibawa terbang ke Masa Kecil di Museum Layang-Layang Jakarta. Tanpa ekspektasi tinggi ku datangi kembali Museum Layang-Layang Indonesia, yang terletak di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Begitu sampai, Daku disambut oleh suasana yang berbeda dari bayanganku tentang “museum”. Daku pernah dua kali ke tempat ini sebelumnya.
Tak ada bangunan besar bergaya kolonial dengan pilar megah. Yang ada justru lorong-lorong bambu dengan atap jerami dan rumah-rumah Joglo Jawa yang teduh dan asri.
Pohon-pohon rimbun menaungi area yang tenang ini, membuat kawasan ini menjadi sejuk. Hembusan angin membuat daun-daun menari tanpa nada. Rasanya seperti pulang ke rumah nenek di kampung kelahiran Ibu ku di Solo.
Begitu berada di pendopo, kedua bola mataku dimanjakan oleh ratusan layang-layang dari berbagai daerah dan negara. Ada yang besar seperti hewan, ada yang kecil dengan bentuk burung, hingga layangan bentuk karakter pewayangan.
Seorang pemandu ramah bercerita bahwa museum ini didirikan oleh Ibu Endang W. Puspoyo, seorang pakar kecantikan pada tahun 2003, sebagai wujud cintanya pada budaya dan permainan tradisional yang mulai tergeser permainan digital.
Museum ini menjadi pengingat bagi orang tua agar anak-anak Indonesia tetap kenal tanah, angin, dan langit-lewat layang-layang.
Daku melihat-lihat satu per satu koleksi. Ada layang-layang dari berbagai daerah bahkan ada yang berukuran raksasa, hingga layang-layang unik dari Kalimantan.
Setiap bentuk layang-layang punya cerita, dan setiap helai benangnya seperti menyimpan kenangan dari ingatan seseorang, bagaikan ketika anak-anak berlarian di sawah menaikkan layang-layang sambil mengejar angin.
Yang paling memorable, enam puluhan orang diajak ikut workshop membuat layang-layang ! Duduk di dalam pendopo, menempelkan kertas putih, dan merakit rangka bambu.
Ternyata tidak mudah membuat layang-layang, sepertinya seru. !! terlihat ada rasa bangga ketika akhirnya benang berhasil dililit, dan bentuk layanganku berdiri utuh, siap mengudara.
Layang-layang cukup membuat membuat mereka tersenyum lebar. Sejenak, lupa usia, lupa masalah tempat kerja, lupa Jakarta yang bising dan macet. Yang ada hanya jiwa, angin, dan langit.
Museum Layang-Layang bukan sekadar tempat memajang kertas yang bisa terbang. Tempat ini adalah ruang nostalgia, mengenang masa kecil, edukasi, dan terapi jiwa.
Tempat di mana orang dewasa diingatkan untuk bermain, dan anak-anak diajak menyentuh nostalgia dengan tangan mereka sendiri. Kadang bahagia itu, kita hanya perlu seutas benang dan segenggam angin.
Perjalanan Ku menjejak sejarah di hari itu di Museum Basuki Abdullah. Museum ini bagaikan galeri yang merupakan museum seni yang didedikasikan untuk mengenang Basoeki Abdullah, salah satu maestro seni rupa Indonesia.
Nama Basoeki Abdullah bukan nama asing, pernah aku dengar. Pelukis besar Indonesia yang karyanya melegenda, terutama lukisan realis dan potret tokoh-tokoh penting, bahkan tokoh mistis seperti Nyi Roro Kidul.
Tapi jujur, Daku belum pernah melihat langsung karya-karyanya. Jadi, hari itu Daku ingin melihat sendiri seperti apa warisan sang maestro yang pernah menikahi empat wanita ini.
Di dalamnya, pengunjung dapat menikmati berbagai koleksi karya seni, benda pribadi, dan artefak budaya yang mencerminkan kehidupan serta perjalanan kreatif Basoeki Abdullah.
**
Hari itu, aku pulang dengan kenyang. Kenyang akan pengetahuan, kenyang akan nostalgia, kenyang akan pemahaman budaya. Tapi aku juga membawa sesuatu yang lebih dalam: rasa tenang, kekaguman, dan sejenis cinta baru untuk Indonesia.
*
Salam hangat, Blogger Udik dari Cikeas,
Bro Agan aka Andri Mastiyanto
Shopee Bro Agan I Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan I Instagram @agan_reborn & @andrie_gan I Blog – kompasiana.com/rakyatjelata