Berikut adalah artikel yang sudah ditingkatkan:
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan penghormatannya terhadap dua putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang berimplikasi besar pada sistem kepemiluan di Indonesia. Meski menghargai keputusan yang bersifat final dan mengikat tersebut, Dasco tak menampik bahwa putusan-putusan tersebut cukup mengejutkan dan membawa pekerjaan rumah besar bagi pembentuk undang-undang.
“Ini membuat pekerjaan rumah bagi pembuat undang-undang karena rekayasa konstitusi yang dimaksud oleh MK tidak mudah,” tegas Dasco melalui pesan suara kepada Tempo pada Jumat, 27 Juni 2025. Ketua Harian Partai Gerindra ini menyoroti bahwa merancang ulang konstitusi sesuai arahan MK, khususnya terkait ambang batas pencalonan presiden dan pemisahan pemilihan umum, bukanlah perkara yang mudah dan akan memakan waktu yang tidak sebentar.
Salah satu putusan yang disinggung Dasco adalah penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau *presidential threshold* 20 persen. Putusan ini dibacakan MK pada Kamis, 2 Januari 2025, yang secara fundamental mengubah peta politik nasional. *Presidential threshold* sendiri merupakan ambang batas perolehan suara atau kursi di parlemen yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik agar dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Di sisi lain, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga menjadi sorotan utama. Putusan yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, ini memutuskan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal. MK memandang bahwa pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan kepala serta wakil kepala daerah (pilkada).
Lebih lanjut, MK menetapkan bahwa pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Dengan adanya putusan ini, konsep “Pemilu 5 Kotak” yang selama ini dikenal tidak akan lagi berlaku untuk Pemilu 2029, menandai era baru dalam sistem pemilihan umum serentak. Dasco sendiri mengakui bahwa pemilu serentak sebelumnya menimbulkan sejumlah masalah di lapangan, seperti kelelahan saksi dan petugas penghitungan suara, yang berpotensi mencederai proses demokrasi.
Menyusul putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal, MK juga merekomendasikan agar pembentuk undang-undang segera mengatur masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan tanggal 27 November 2024, serta masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan tanggal 14 Februari 2024. Mahkamah menegaskan bahwa penentuan dan perumusan ini harus diatur oleh DPR dan pemerintah melalui “rekayasa konstitusional” atau *constitutional engineering*.
Menanggapi implikasi putusan MK ini, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati, melihatnya sebagai momentum krusial bagi DPR dan pemerintah untuk segera merevisi undang-undang terkait. Khoirunnisa menyerukan agar kedua lembaga tersebut mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melalui proses kodifikasi. “Bahasanya harus segera, harus gabung, ya,” ujarnya, menekankan urgensi penyelarasan regulasi ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini secara nyata memberikan tantangan signifikan bagi DPR dan pemerintah untuk segera menyusun kerangka hukum yang baru, demi memastikan kelancaran dan integritas proses demokrasi di masa mendatang.