Fordow: Mengungkap Situs Nuklir Iran yang Menjadi Target Utama Serangan AS
Serangan udara Amerika Serikat pada Minggu, 22 Juni 2025, mengguncang fasilitas nuklir Fordow di Iran, menyoroti kembali eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Presiden Donald Trump, melalui platform Truth Social, dengan bangga mengumumkan suksesnya operasi militer terhadap tiga situs nuklir Iran utama: Fordow, Natanz, dan Esfahan. “Muatan penuh bom dijatuhkan di situs utama Fordow,” tegas Trump, seperti dikutip dari laman *Euro News*, menggarisbawahi urgensi target ini.
Terletak strategis dekat kota suci Qom, sekitar 95 kilometer barat daya Teheran, Fordow telah lama menjadi salah satu situs kunci pengayaan nuklir Iran. Baik Amerika Serikat maupun Israel memandang Fordow Fuel Enrichment Plant sebagai target krusial dalam upaya mereka menghentikan ambisi program nuklir Iran. Lantas, apa sebenarnya yang menjadikan fasilitas nuklir Fordow begitu vital dan misterius di mata dunia? Mari kita selami lebih dalam profilnya.
Profil Situs Nuklir Fordow: Benteng Bawah Tanah Iran
Dilansir dari laman *Euro News*, Fordow Fuel Enrichment Plant membentang seluas sekitar 5.000 meter persegi dan menampung 3.000 sentrifus. Uniknya, Fordow dirancang khusus untuk menahan serangan udara, menjadikannya situs nuklir terbesar kedua Iran setelah Natanz yang dibangun dengan pertahanan berlapis. Keberadaannya tersembunyi jauh di balik lima terowongan yang menembus pegunungan, menciptakan benteng bawah tanah yang hampir tak tertembus. Citra satelit terbaru hanya mampu menangkap struktur pendukung besar dan perimeter keamanan yang luas, menyisakan misteri tentang skala dan fungsi sebenarnya di dalamnya.
Desain bawah tanah yang kokoh ini, dengan ruang utama diperkirakan berada 80 hingga 90 meter di bawah permukaan tanah yang dilapisi tebal tanah dan batu, membuatnya dianggap kebal terhadap bom penghancur bunker konvensional yang dimiliki Israel. Menurut *Center for Strategic & International Studies*, hanya Amerika Serikat yang memiliki bom GBU-57 *Massive Ordnance Penetrator*, yang dapat diantar oleh bomber B1, yang berpotensi menghancurkan Fordow melalui serangan berulang yang presisi.
Misteri Awal Mula Pembangunan Fordow
Pembangunan Fordow dimulai secara rahasia pada awal 2000-an, dengan citra satelit menunjukkan aktivitas konstruksi sejak 2002. Pada 2004, dua struktur persegi putih yang diduga pintu masuk terowongan sudah terlihat jelas. Keberadaan fasilitas ini baru terungkap pada 2009 setelah mulai beroperasi, memicu kritik keras dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat karena Iran tidak mengungkapkannya selama fase pembangunan. Menurut David Albright dari *Institute for Science and International Security* (ISIS), Fordow kala itu merupakan bagian integral dari program senjata nuklir Iran, dirancang khusus untuk memproduksi uranium tingkat senjata dari uranium yang diperkaya rendah dari program nuklir sipil.
Iran sendiri mengklaim kepada *International Atomic Energy Agency* (IAEA) pada Oktober 2009 bahwa fasilitas bawah tanah ini dibangun sebagai respons terhadap ancaman serangan militer serta sebagai cadangan strategis untuk fasilitas Natanz. Tehran menyatakan Fordow mampu menampung hingga 3.000 sentrifus. Namun, pengungkapan Fordow oleh Presiden AS Barack Obama, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, dan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown pada 2009 memicu kecaman global. Obama dengan tegas menyatakan, “Ukuran dan konfigurasi fasilitas ini tidak konsisten dengan program damai,” seperti yang tercatat di laman *CNN*. Pada puncaknya, fasilitas ini memiliki 16 kaskade dan sekitar 3.000 sentrifus, dengan kemampuan mengaya uranium hingga 5% pada awalnya, lalu meningkat tajam ke lebih dari 20% pada tahun 2011.
Pelanggaran Atas Kesepakatan Nuklir: Fordow Kembali Berdenyut
Fasilitas nuklir Fordow sempat “dijinakkan” melalui perjanjian nuklir Iran bersejarah, *Joint Comprehensive Plan of Action* (JCPOA), pada tahun 2015. Kesepakatan ini mewajibkan Iran untuk menghapus dua pertiga sentrifugal dan seluruh material nuklir dari situs ini. Namun, setelah Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan tersebut pada tahun 2018 di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, Iran secara bertahap mulai membalikkan komitmennya. Pada tahun 2019, Presiden Hassan Rouhani secara resmi mengumumkan pengayaan uranium kembali dengan menyuntikkan gas uranium ke sentrifugal, menandakan reaktivasi penuh fasilitas krusial ini.
Eskalasi berlanjut. Pada Januari 2023, laporan terbaru dari IAEA mengungkapkan bahwa Iran telah meningkatkan pengayaan uranium hingga 60% di Fordow, dengan 2.700 sentrifugal beroperasi. Iran juga dituding melanggar perjanjian pengamanan dengan PBB. “Iran menerapkan perubahan signifikan pada informasi desain yang dideklarasikan untuk Pabrik Fordow tanpa memberi tahu PBB sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan kewajiban Iran berdasarkan perjanjian pengamanannya,” kata Kepala IAEA Rafael Grossi, seperti yang tertulis di *Euro News*. Menurut ISIS, stok uranium 60% yang dimiliki Iran dapat diubah menjadi 233 kg uranium tingkat senjata dalam waktu hanya tiga minggu, jumlah yang cukup untuk sembilan senjata nuklir. Tingkat pengayaan ini memicu kekhawatiran serius bahwa Iran sedang mempersiapkan langkah menuju kapabilitas senjata nuklir.
Meskipun pihak Tehran bersikeras bahwa uranium yang diperkaya digunakan untuk tujuan damai, terutama untuk keperluan medis, IAEA menilai Fordow tetap menjadi pusat utama pengayaan uranium Iran hingga 60%, nilai yang jauh di atas level untuk tujuan damai dan sangat mendekati kadar senjata (90%). Situasi ini semakin memperkuat kekhawatiran Israel yang memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial.
Dampak Serangan AS Terhadap Fasilitas Nuklir Iran
Sebelumnya, fasilitas nuklir Fordow ini dijaga ketat oleh Garda Revolusi Iran dan dilindungi sistem rudal permukaan ke udara buatan Iran dan Rusia. Namun, serangan Israel baru-baru ini diyakini telah menetralkan pertahanan tersebut. Analis militer menyatakan hanya AS yang memiliki bom GBU-57 *Massive Ordnance Penetrator*, seberat 13.000 kilogram, yang mampu menghancurkan ruang bawah tanah Fordow, sementara Israel diperkirakan memiliki bom GBU-28 yang dapat menembus hingga enam meter di bawah tanah. Selain serangan fisik, perang siber seperti virus Stuxnet yang diduga dikembangkan AS dan Israel pada 2010 juga pernah berhasil menghancurkan ribuan sentrifus Iran.
Dilansir dari laporan *Antara*, menurut IAEA, serangan AS Iran pada Senin lalu diperkirakan membuat Fordow mengalami kerusakan bawah tanah yang parah. Dalam rapat darurat Dewan Gubernur IAEA, Direktur Jenderal Rafael Grossi menyatakan bahwa kerusakan ini kemungkinan besar disebabkan oleh muatan eksplosif berkekuatan tinggi yang digunakan dalam serangan. IAEA juga mencatat bahwa sentrifus di Fordow sangat sensitif terhadap getaran, sehingga dampak serangan ini signifikan. Adanya sejumlah kawah di permukaan situs nuklir Fordow mengindikasikan penggunaan amunisi penetrasi tanah, sejalan dengan pernyataan AS yang mengkonfirmasi serangan terhadap fasilitas tersebut.
Meskipun demikian, Grossi menegaskan bahwa belum ada pihak, termasuk IAEA, yang dapat menilai secara menyeluruh tingkat kerusakan di dalam struktur bawah tanah Fordow, “Saat ini, tidak ada pihak, termasuk IAEA, yang berada dalam posisi untuk menilai secara penuh kerusakan bawah tanah di Fordow,” ujarnya.
Selain Fordow, situs nuklir di Isfahan juga menjadi sasaran serangan rudal jelajah AS. Menurut Grossi, sejumlah bangunan yang terkait dengan proses konversi uranium di Isfahan mengalami kerusakan, termasuk salah satu pintu masuk terowongan yang digunakan untuk menyimpan bahan uranium yang telah diperkaya. Fasilitas Pengayaan Bahan Bakar di Natanz, situs nuklir terbesar Iran, juga tidak luput dari serangan AS Iran. Grossi menyebutkan amunisi penetrasi tanah AS juga digunakan di sana, menyebabkan kerusakan pada infrastruktur kunci. Meskipun demikian, Iran telah melaporkan kepada IAEA bahwa tidak ada peningkatan level radiasi di luar Fordow, Isfahan, dan Natanz yang dapat mengindikasikan kebocoran bahan radioaktif, menyisakan pertanyaan besar tentang dampak jangka panjang dari eskalasi konflik Iran AS ini.