Ancaman Konflik Iran-Israel terhadap Ekspor Indonesia: Menyoroti Kritisnya Selat Hormuz
Jakarta – Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel memunculkan kekhawatiran serius bagi stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia. Hasran, Peneliti dan Analis Kebijakan dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), memperingatkan bahwa konflik ini berpotensi besar menggerus kinerja dan surplus ekspor Indonesia. Salah satu faktor utama yang menjadi sorotan adalah ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Pemerintah Iran, yang dapat memicu lonjakan biaya pengiriman dan transportasi logistik.
Menurut Hasran, penutupan jalur maritim strategis ini akan memaksa kapal-kapal untuk memilih rute alternatif yang jauh kurang efisien. Dampaknya tidak main-main. Energy Information Administration (EIA) bahkan memproyeksikan bahwa disrupsi di Selat Hormuz akan memiliki implikasi besar terhadap pasar energi di negara-negara ekonomi raksasa Asia seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan. Pernyataan ini disampaikan Hasran dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu, 25 Juni 2025.
Padahal, Indonesia telah mencatatkan rekor membanggakan dengan surplus neraca perdagangan selama lima tahun berturut-turut. Data terbaru menunjukkan, pada Mei 2025, surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$4,9 miliar, melonjak signifikan sebesar 2.962 persen secara bulanan (mtm) dibandingkan surplus US$160 juta pada April 2025. Keberlanjutan tren positif ini terancam oleh eskalasi konflik.
Ketegangan yang meningkat antara Israel dan Iran secara fundamental mengancam stabilitas perdagangan global. Salah satu konsekuensi paling nyata adalah potensi terganggunya pasokan minyak dunia. Hasran menjelaskan, gangguan pasokan minyak ini sangat mungkin mempengaruhi perdagangan Indonesia, baik dari sisi lonjakan biaya logistik maupun penurunan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama. Perlu dicatat, Selat Hormuz merupakan arteri vital yang dilalui sekitar 20 persen dari total transaksi minyak dunia pada tahun 2024.
Meskipun Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar 7 persen minyaknya melalui Selat Hormuz, potensi disrupsi pasokan global dapat memicu pergeseran permintaan minyak dari jalur tersebut ke produsen alternatif, termasuk Amerika Serikat sendiri yang juga terlibat dalam konflik ini. Kondisi ini dapat mendorong kenaikan tajam harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak secara langsung berdampak pada perdagangan Indonesia, di mana permintaan ekspor bisa terganggu akibat biaya tinggi yang timbul dalam proses pengiriman logistik. Lebih jauh, gangguan pasokan minyak ke negara-negara pengimpor utama berpotensi menghambat aktivitas ekonomi mereka, yang pada akhirnya akan mengurangi permintaan terhadap barang ekspor dari Indonesia.
Menyikapi tantangan ini, Hasran mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam mendorong upaya perdamaian di kawasan Timur Tengah. Konflik yang terus bereskalasi akan berdampak luas pada ekonomi dunia karena mengganggu jalur distribusi energi global. Kendati demikian, Hasran menekankan bahwa besarnya dampak yang akan dirasakan Indonesia sangat bergantung pada seberapa lama penutupan Selat Hormuz berlangsung.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penghapusan hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis lainnya. Di tengah meningkatnya biaya logistik dan produksi global, biaya tambahan akibat kuota, perizinan yang berbelit, atau regulasi yang tidak relevan hanya akan memperparah beban importir dan konsumen. “Penghapusan hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis sudah sejak lama menjadi sesuatu yang layak dipertimbangkan, mengingat dampaknya yang memunculkan biaya tambahan, waktu yang lebih panjang, dan inefisiensi rantai pasok,” tegas Hasran.
Pilihan Editor: Untung-Rugi Ekspor Listrik ke Singapura