Ragamutama.com – , Jakarta -Parlemen Iran pada Ahad, 22 Juni 2025, menyetujui penutupan Selat Hormuz. Seperti dilansir Al Arabiya yang mengutip Press TV, badan keamanan tertinggi Iran diharuskan untuk menyelesaikan keputusan mengenai tindakan tersebut.
Usulan penutupan Selat Hormuz terjadi sebagai tanggapan atas serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan, pada Sabtu, 21 Juni 2025. AS diketahui memutuskan untuk terlibat dalam perang Iran-Israel.
Adapun Selat Hormuz merupakan salah satu jalur pelayaran yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia. Selat yang terletak di antara Teluk Persia dan Teluk Oman itu memungkinkan sekitar 20 persen dari konsumsi minyak harian dunia melewatinya, atau sekitar 20 juta barel.
Lantas, apa saja dampak penutupan Selat Hormuz?
Harga Minyak Dunia Diprediksi akan Naik
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan harga minyak dunia akan naik apabila perang Iran-Israel tak kunjung henti.
“Jika perang ini berlarut-larut tentu tren harga minyak dunia akan naik, karena sekitar 20 persen konsumsi minyak global didistribusikan melalui Selat Hormuz. Bagi perdagangan global akan semakin menyulitkan distribusi barang dan harga akan naik, inflasi global bisa meningkat,” kata Eko di Jakarta, Senin, 23 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, menurut laporan surat kabar Turki, Hurriyet pada Senin, 16 Juni 2025, seperti dilansir dari Antara, harga minyak berpotensi melonjak hingga mencapai US$ 130 per barel atau sekitar Rp 2,08 juta (asumsi kurs Rp 16.000 per dolar AS) jika Iran menutup Selat Hormuz.
Risiko Inflasi Global
Ekonom sekaligus Dosen Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan Indonesia mempunyai kepentingan untuk menyuarakan dialog damai, karena ketika jalur pelayaran di Selat Hormuz terganggu, harga minyak dunia bisa melonjak drastis.
Risiko itu, lanjut dia, bisa memicu inflasi global dan mempersempit ruang fiskal bagi negara-negara berkembang.
“Kita berisiko menghadapi depresiasi rupiah, tekanan terhadap cadangan devisa, serta meningkatnya subsidi energi dan harga pangan,” ucap Syafruddin dalam keterangan resmi, Senin, 23 Juni 2025.
APBN Indonesia Berpotensi Tertekan
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan bahwa posisi Indonesia sebagai negara pengimpor minyak sangat rentan terhadap dampak eskalasi militer Iran dan Israel.
Menurut dia, lonjakan harga minyak dunia akan membuat pemerintah Indonesia dalam posisi sulit, terutama berkaitan dengan kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Tanpa ada kebijakan untuk menaikkan harga BBM, lanjut dia, beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan melesat tajam dan menekan ruang fiskal. Di sisi lain, kenaikan harga BBM juga akan berimbas langsung pada daya beli masyarakat.
“Kalau BBM bersubsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan membengkak dan cadangan devisa tergerus untuk membiayai impor BBM. Tapi jika dinaikkan, bisa memicu inflasi dan menurunkan daya beli rakyat,” ujar Fahmy dalam keterangan tertulis, Senin, 23 Juni 2025.
Sita Planasari, Ilona Estherina, dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Potret Selat Hormuz yang Rencananya Ditutup Iran