Nasib pulau kecil: Setelah ditambang, kini diperjualbelikan – ‘Kami dibiarkan bertahan sendirian’

Avatar photo

- Penulis

Selasa, 24 Juni 2025 - 12:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Nasib pulau-pulau kecil di Indonesia memperlihatkan kerentanan secara nyata. Setelah mengalami penambangan nikel, kini pulau-pulau kecil menghadapi masalah lain yang tak kalah serius: dijual kepada orang-orang kaya.

Sejumlah pulau kecil di Indonesia terpampang di situs jual beli yang dikelola perusahaan berkantor di Kanada. Pulau-pulau ini diberi status for sale (untuk dijual).

Situs yang menampung pulau-pulau kecil tersebut bernama Private Islands Inc. Per Senin (23/6) siang, pulau-pulau kecil yang dijual melalui Private Islands Inc. antara lain sepasang pulau di Anambas (Kepulauan Riau), Pulau Panjang (Nusa Tenggara Barat), serta Pulau Seliu (Bangka Belitung).

Nama pulau-pulau di Anambas dan Pulau Panjang, belakangan, berdasarkan pemantauan BBC News Indonesia per Selasa (24/6), sudah dicabut dari laman Private Islands Inc.

Tak hanya pulau, situs ini turut menawarkan lahan di Pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur), masing-masing ditujukan untuk keperluan properti dan selancar. Yang terakhir bahkan berstatus off the market—alias terjual atau tidak ditawarkan lagi.

Pemerintah menyatakan tidak mengenal kepemilikan pribadi di setiap pulau-pulau kecil di Indonesia.

Bupati Anambas, Abdul Haris, membantah pihak pemerintah daerah terlibat dalam urusan jual beli itu. Ia menyebut penjualan pulau di Anambas “tidak benar dan tidak mungkin dilakukan.”

Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan pulau-pulau di Indonesia tidak bisa diperjualbelikan lantaran tidak mempunyai dasar hukum.

“Kami tegaskan bahwa tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang membolehkan penjualan pulau kecil,” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, Minggu (22/6).

“Yang diperbolehkan adalah terkait pemanfaatannya untuk kegiatan tertentu, hak atas tanahnya, serta investasinya. Itu pun dengan syarat-syarat ketat.”

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengaku akan mempelajari terlebih dahulu kasus ini. Namun, ia mengatakan “tidak ada pulau yang bisa dimiliki secara pribadi atau secara keseluruhan.”

“Dan pada intinya kami akan menginventarisir [mencatat] hal-hal atau wilayah-wilayah yang memang harus tetap kita jaga. Baik dari sisi regulasinya dan juga kepemilikannya,” tambahnya.

Warga di pulau kecil yang dihubungi BBC News Indonesia menganggap kabar jual beli pulau ini sebagai “hal yang menyedihkan.”

Masalah jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia pernah mencuat ke permukaan beberapa tahun lalu, tapi tak kunjung terselesaikan.

Salah satu pangkal masalahnya, sebut peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), cara pikir pemerintah yang meletakkan pulau-pulau kecil dalam kotak “aset.”

‘Ruang gerak kami makin sempit’

Bambang Zakaria cukup kaget mendengar kabar tentang beberapa pulau kecil di Indonesia, yang berada di Sumatra dan Nusa Tenggara, masuk ke dalam situs jual beli pulau yang terafiliasi dengan konglomerat luar negeri.

Sebagai warga Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Bambang mengaku merasa was-was.

“Kami, sebagai warga pulau kecil, merasa sangat terancam. Apalagi kemarin ramai isu tambang, sekarang giliran jual beli pulau,” kata lelaki kelahiran 1968 tersebut.

“Kalau dibiarkan, kami, lama-lama, pasti terusir dari pulau yang kami tinggali. Peradaban kami juga berpeluang lenyap akibat pembangunan,” tambahnya.

Bambang melihat dan, mirisnya, mengalami sendiri bagaimana geliat pembangunan, seiring waktu, telah memojokkan masyarakat di pulau-pulau kecil.

Pada mulanya, para pendahulu Bambang di Kepulauan Karimunjawa mengolah lahan di sana dengan menanam kelapa. Saat harga kelapa mulai turun, dekade 1980-an, mereka tidak punya pilihan selain berpindah ke laut guna bekerja menjadi nelayan.

Lahan-lahan yang dulunya ditanami kelapa lalu tak terurus. Pembangunan datang dan memaksa warga menyerahkan tanah mereka. Pemerintah dan pengusaha, sebut Bambang, bekerjasama untuk mengamankan kepentingan—tepatnya investasi—mereka.

Kini, kawasan Karimunjawa sudah berubah cukup drastis. Terutama di kawasan pantai, Bambang memperkirakan, “hanya tinggal 20% yang dihuni orang lokal.”

“Sisanya milik pengusaha, pebisnis, yang membeli tanah di sini dan membangun vila atau resor,” tuturnya.

Perubahan tersebut tidak benar-benar ‘mengajak’ warga yang hidup di pulau-pulau di sekitar Karimunjawa.

Warga, cerita Bambang, hanya dilibatkan sebagai pekerja informal dengan upah yang pas-pasan. Penentu arah tentang ‘mesti dibentuk seperti apa’ sektor pariwisata di Karimunjawa adalah keputusan para pemodal—dan pemerintah.

“Sementara ruang gerak kami semakin terbatas. Di laut, kami tidak bisa leluasa menangkap ikan karena pembangunan ada di mana-mana, begitu pula di darat,” aku Bambang yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan.

Bambang menarik napas sejenak.

“Kami dibiarkan bertahan sendirian.”

Berjarak sekitar 428 km ke arah barat, nasib tak jauh berbeda dialami Asmania, warga pulau kecil bernama Pari, yang secara administratif masuk wilayah DKI Jakarta.

Gelombang pembangunan di Pulau Pari nyaris tidak terhentikan lewat pendirian bermacam vila maupun resor: semua untuk menunjang pariwisata. Beberapa di antara terindikasi mengeruk lautan dan menimbunnya. Ada pula yang membangun tanpa izin—sebelum dicabut pemerintah.

Dampaknya, Asmania bilang, “ekosistem rusak, seperti rumput laut atau kawasan mangrove.”

Pembangunan di area pulau-pulau kecil disebut Asmania “tidak berpihak kepada masyarakat.” Sementara pada praktiknya, hal semacam ini seolah tidak mampu disetop dengan “perusahaan-perusahaan yang bebas mencaplok dan memiliki pulau-pulau kecil di mana saja,” imbuhnya.

“Tidak ada yang sejahtera dengan kehadiran korporasi,” tegasnya.

Warga di pulau-pulau kecil seperti Asmania dan Bambang berharap pemerintah tidak menutup mata atas kenyataan pahit yang harus dijalani masyarakat; saat pembangunan justru menjauhkan, ketimbang mendekatkan, pemenuhan terhadap hak hidup dengan manusiawi.

Realita dalam pulau-pulau kecil di Indonesia kerap kali berujung kecemasan.

Setelah mengalami penambangan, kini pulau-pulau kecil diperjualbelikan.

Keduanya sama-sama tidak menguntungkan, terutama untuk mereka yang mendiami pulau-pulau itu tidak hanya hitungan tahun, tapi selama beberapa generasi.

“Rasanya sangat sedih jika mendengar kabar kalau pulau kecil mau ditambang, pulau kecil mau dijual,” tutur Asmania.

“Apakah pulau kecil dan kami ini, yang tinggal maupun merawat, sama sekali tidak dianggap?”

‘Apa yang lebih baik dari pulau yang masih asli?’

Pada situs jual beli yang dikelola Private Islands Inc., dua pulau kecil di Anambas dijual dengan iming-iming “pulau tropis yang indah” dan “masih asli.”

Dengan lokasi yang mereka klaim “fantastis” sebab hanya “200 mil dari Singapura,” sepasang pulau di Anambas ini “cocok untuk sebuah resor ramah lingkungan yang indah,” tulis Private Islands Inc.

Private Islands Inc. turut menyertakan keterangan lain terhadap penjualan dua pulau di Anambas seperti, misalnya, belum ada pembangunan di sepasang pulau itu dan luas lahan di angka 159 hektare.

Bagaimana dengan harga yang dipatok?

Tidak dicantumkan nilai spesifik, melainkan upon request—berdasarkan permintaan calon pembeli.

Hal senada dijumpai di penjualan Pulau Panjang. Di sana, tertulis upon request mengenai harga yang dibanderol Private Islands Inc. Luas Pulau Panjang yang masuk tawaran Private Islands Inc. mencakup 33 hektare.

Materi promosi untuk Pulau Panjang dikemas dengan cukup singkat.

“Pulau ini, sekarang, belum dikembangkan dan masih alami,” kata Private Islands Inc. di situs mereka. “Bandara internasional terdekat hanya berjarak dua jam perjalanan, satu jam menggunakan mobil, dan satu jam memakai kapal.”

Dari pulau-pulau kecil Indonesia yang dijual, cuma Pulau Seliu yang harganya dapat diketahui. Private Islands Inc. memasang lebih dari Rp2 miliar untuk mereka yang ingin membeli pulau ini.

Pulau Seliu, kata Private Islands Inc., “menawarkan tempat peristirahatan yang tenang di tengah-tengah keindahan alam yang menakjubkan serta peluang pengembangan yang strategis.”

Private Islands Inc. mengeklaim Pulau Seliu “diberkati dengan lingkungan yang masih asli dan terlindung dari bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi.”

Baca Juga :  Buku Harian Palsu Hitler: Skandal Penipuan Terbesar yang Guncang Media Inggris

“Pulau Seliu menyajikan prospek yang menarik bagi mereka yang mencari gaya hidup yang harmonis dan selaras bersama alam,” tandas Private Islands Inc.

Orang di balik Private Islands Inc. yaitu Chris Kowlow, pengusaha asal Toronto, Kanada. Chris getol dengan eksistensi pulau-pulau sejak usianya masih belasan tahun, tepatnya kala ia menjadi pemandu wisata di Kanada.

Waktu itu, turis dari Eropa, yang mendominasi porsi wisatawan di Kanada, rela merogoh uang sampai US$5.000 untuk pelesir ke pulau-pulau di Kanada. Sementara pihak penyedia jasa cukup membayar tak lebih dari US$100 untuk menyewa pulau yang dituju.

Chris melihat kesempatan menangguk untung.

Setelah tak lagi bekerja di kantor jasa wisata, Chris mencoba membangun usahanya sendiri. Idenya berangkat dari ketertarikan orang-orang—terutama dari kelompok ekonomi atas—untuk menikmati (keindahan) pulau secara privat.

Chris lalu mendata pulau-pulau kecil yang berpotensi, memasukkannya ke dalam internet, dan menjualnya setelah itu. Dua dekade kemudian, Chris menjadi pemain menonjol di industri perdagangan pulau.

Situs yang ia dirikan, Private Islands Inc., ramai dituju para pelancong berduit. Di situs tersebut terdapat 657 pulau yang dijual serta lebih dari 750 lainnya disewakan. Tak sekadar berjualan melalui website, Chris membuat pula reality show bertajuk Island Hunters—bertahan selama empat musim penayangan.

Berperan sebagai pemandu acara (host), Chris berbincang dengan calon pembeli pulau di berbagai lokasi di seluruh dunia. Akhir dari Island Hunters yakni kesepakatan antara Chris dan calon pembeli.

Chris melihat kemunculan internet berkontribusi signifikan dalam perkembangan bisnisnya. Biaya operasional mampu ditekan dan pada waktu bersamaan jangkauan ke calon pembeli—atau audiens—meluas.

Setiap minggu, “saya berbicara dengan setengah lusin pemilik pulau yang berbeda,” Chris bercerita. “Saya menemukan pulau-pulau yang kemungkinan belum terdaftar [secara resmi],” tambahnya.

Bagi Chris, menemukan pulau tidak pernah menjadi masalah, “mendapatkan pembeli adalah tantangannya,” ia pernah menulis dalam sebuah opini. Pembeli pulau, Chris berujar, merupakan orang-orang beruang lebih banyak daripada lainnya. Mereka cenderung tidak tertarik “pulau yang sudah siap pakai” melainkan yang masih belum terjamah apa pun—atau pulau ‘asli.’

Pulau yang telah berisi bangunan maupun fasilitas penunjang wisata itu, menurut Chris, “paling sulit dijual.”

“Pulau sering kali menjadi rumah kedua atau ketiga bagi para pengusaha ini. Saya memiliki beberapa klien yang sangat kaya. Beberapa selebriti juga membeli pulau. Tapi, umumnya mereka cenderung menyewa,” jelas Chris.

Transaksi jual beli pulau dilakukan dengan nominal yang tidak sedikit, dan biasanya, berdasarkan pengalaman Chris, terjadi di rentang US$50 sampai US$200 juta. Penjualan terbesar yang pernah direalisasikan Chris menyentuh US$130 juta.

Chris memandang bahwa pulau-pulau kecil dan terpencil, kini, telah layak huni.

Minat terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil melonjak saat pandemi Covid-19. Saat pandemi meledak, orang-orang memerlukan tempat yang aman, “seperti halnya mereka menginginkan bungker perlindungan dari bom,” ujar Chris.

Pulau kecil memenuhi kebutuhan itu.

PascaCovid-19, ketertarikan masyarakat atas pulau-pulau kecil tidak luntur. Faktor pendorongnya bukan lagi “ketakutan,” tapi menjauh dari keramaian maupun kepadatan kota-kota besar. Sebuah pulau, terang Chris, “adalah versi ekstremnya.”

Jual beli pulau kecil tidak sekali saja muncul

Isu perdagangan pulau di Indonesia adalah masalah lama yang terus terulang.

Pada 2006, beberapa pulau di Kabupaten Manggarai Barat dan Sumba Timur—keduanya di Nusa Tenggara—disinyalir dijual kepada warga asing.

Setahun berselang, masalah serupa menyeret Pulau Bawah yang terletak di perairan selatan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pemerintah menemukan indikasi jual beli atas beberapa pulau di daerah tersebut.

Bupati Natuna kala itu, Daeng Rusnadi, menegaskan gugusan pulau yang dimaksud—berjumlah lima buah—tidak dijual kepada asing, tapi hanya dikelola. Daeng menambahkan pihak asing yang “mengurus” pulau ialah warga negara dari Amerika Serikat. Ia membayar ‘modal’ sebesar Rp1 miliar kepada pemerintah.

Pengelolaan pulau ini ditujukan demi mengantisipasi kegiatan ilegal. Di sana, pemerintah juga akan berpartisipasi dengan membangun helipad (landasan helikopter), pelabuhan, hingga jalan lingkar.

Pada 2009, masalah penjualan pulau lagi-lagi mengemuka dengan Pulau Tatawa, Nusa Tenggara Timur, sebagai subjeknya. Pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) diduga ikut campur dalam proses jual beli ini. Modusnya: mengeluarkan sertifikat atas nama warga yang tidak bermukim di wilayah itu.

Masih pada tahun yang sama, giliran pulau di Mentawai yang dikabarkan masuk situs lelang. Pemerintah pusat menepis informasi ini.

Maju ke depan, tepatnya pada 2021, warga melaporkan praktik penjualan Pulau Lantigiang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Harga jualnya disebut mencapai Rp900 juta.

BBC News Indonesia juga mendapati jual beli pulau dengan Private Islands Inc. selaku perantara tidak sekali saja muncul, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini.

Pada 2021, pulau yang berlokasi di Lombok Barat dan Kepulauan Riau terpampang di website Private Islands Inc. dengan status “dijual.” Pemerintah Provinsi NTB mengatakan “informasi dan situs tersebut tidak jelas.”

Senada dengan Pemprov NTB, pemerintah di Kepulauan Riau mengungkapkan “isu jual beli pulau tidak benar.” Pulau-pulau yang masuk radar Private Islands Inc. saat itu berada di area Anambas, mirip dengan sekarang.

Indikasi jual beli pulau di Kepulauan Riau masih berlanjut dengan kasus Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan, yang ditawarkan melalui Instagram seharga Rp1,4 triliun.

Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, telah meminta aparat penegak hukum menelusuri penjualan tersebut. Ia menyatakan pulau di wilayahnya tidak akan bisa dilelang oleh siapapun.

Tiga tahun yang lalu, 2022, pulau-pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara, diberitakan tercatut di situs pelelangan di luar negeri. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menampik kalau pulau-pulau itu dijual.

Tito mengaku keberadaan pulau-pulau di Kepulauan Widi di laman jual beli merupakan upaya pengelola yang ditunjuk pemerintah, PT Leadership Islands Indonesia, dalam rangka mencari investasi.

“Tujuannya bukan lelang buat dijual. Tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja,” ujar mantan kapolri ini.

Pada 2023, isu penjualan pulau menyasar Pulau Poto yang berada di area Kepulauan Riau. Jajaran Pemkab Bintan segera mengklarifikasi kabar ini, menggarisbawahi jual beli tersebut tidak terjadi.

Perlindungan kepada pulau-pulau kecil—beserta kawasan pesisir—termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014—perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007. Pulau-pulau kecil dan pesisir, menurut beleid tersebut, ditempatkan sebagai pilar penyangga dan penjaga ekosistem.

Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi).

Dengan kata lain, segala kegiatan yang dilakukan di pulau-pulau kecil, pertama dan utama, difungsikan untuk konservasi.

Meski begitu, peluang pengelolaan di pulau-pulau kecil tetap dibuka, walaupun sangat dibatasi. Aturan yang dikeluarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 2016 menjelaskan penguasaan atas pulau-pulau kecil oleh swasta paling banyak 70% dari luas pulau.

Sisanya, 30%, dikuasai langsung oleh negara dan “digunakan serta dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat,” demikian tulis Pasal 9 ayat (2b).

Aturan lainnya yang dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan pelaku usaha—swasta—yang diberi hak pengelolaan diharuskan mengalokasikan “paling sedikit 30% dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH).”

Jangka waktu pengelolaan pulau-pulau kecil diberikan sepanjang 30 tahun serta dapat diperbaharui sebanyak satu kali (untuk 30 tahun ke depan) dengan mempertimbangkan hasil penilaian teknis.

Baca Juga :  Kejagung Pertimbangkan Panggil Nadiem Makarim Terkait Kasus Laptop?

Secara hitam di atas putih, tidak ditemukan poin yang mempersilakan pulau untuk diperjualbelikan.

Implementasi di lapangan, masalahnya, kerap menerabas aturan yang sudah disusun.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), organisasi nonpemerintah yang fokus pada isu maritim, Susan Herawati, menuturkan isu jual beli pulau tidak lahir dalam satu malam.

“Pada 2018, kami sudah teriak-teriak soal privatisasi pulau. Catatan KIARA, tahun itu, ada 110 pulau yang sudah bukan milik kita lagi. Artinya, sudah dimiliki perorangan atau perusahaan, termasuk pertambangan,” ungkapnya merespons BBC News Indonesia, Senin (23/6).

Sekitar lima tahun usai data itu dirilis, 2023, angka pulau-pulau kecil yang dikuasai melonjak ke 226.

Faktor mendasarnya, Susan menganalisa, ialah paradigma pemerintah.

Sebagai pembuat kebijakan, kata Susan, pemerintah menganggap pulau-pulau kecil—baik yang berpenghuni atau tidak—harus diberdayakan melalui serangkaian penerbitan izin usaha maupun penanaman modal.

“Jadi, penjualan pulau ini, apalagi yang dipandang kosong, dipicu asumsi bahwa pulau-pulau itu bisa menghasilkan pendapatan melalui pajak, misalnya. Pemerintah tidak bisa melihat sebuah pulau itu kosong. Selalu ingin jual saja bawaannya. Itu yang jadi masalah,” kata Susan.

Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor, Yoppie Christian, menambahkan pengelolaan atas pulau-pulau kecil, secara garis besar, dilihat melalui dua sudut pandang terhadap nilai dalam suatu aset: tukar dan guna.

Dalam konteks “nilai guna,” pulau-pulau kecil dimanfaatkan untuk menunjang ekosistem sampai melindungi dari abrasi—pengikisan air laut.

Nah, pemerintah lalu melihat daripada tidak diapa-apakan, tidak menghasilkan apa-apa, pulau-pulau kecil itu disewakan, dijual, dikelola dengan swasta sehingga sebagai aset, mereka bisa punya nilai tukar,” papar Yoppie kepada BBC News Indonesia, Senin (23/6).

Dari sini, kebijakan yang dikeluarkan, pada akhirnya, menjustifikasi cara pandang itu.

Ketentuan pembagian porsi 70% dan 30% yang ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), sebagai contoh, dinilai tidak seimbang, ucap Susan. Pasalnya, ia menuturkan, “70%—untuk swasta—itu bukan angka sedikit.”

“Kalau satu pulau, katakanlah, 70% dimiliki [pihak] privat, otomatis nyaris 70% itu [membuat] nelayan tidak bisa singgah di sekitar area itu,” imbuhnya.

“Sudah pasti mereka akan diusir.”

Eksistensi pulau-pulau kecil, Yoppie menyatakan, dipengaruhi oleh lanskap yang sempit dengan daya dukung masing-masing pulau yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Alhasil, pemberian jatah 70-30 menunjukkan betapa ketentuan tersebut “masih mengikuti logika pengelolaan tanah di kota [darat],” tandas Yogi.

Hitung-hitungan untung dan rugi menempatkan nelayan serta ekosistem lingkungan di pulau-pulau kecil sebagai pihak yang paling terdampak. Bagi nelayan, ruang gerak mereka dalam menangkap ikan kian terjepit. Lalu pembangunan yang timbul berkat penguasaan terhadap tanah di pulau-pulau kecil membikin aspek ekosistem menjadi terancam.

Riset berjudul Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil (2018) yang disusun Yoppie beserta dua koleganya, Arif Satria dan Setyawan Sunito, menerangkan pulau-pulau kecil mempunyai karakter yang berbeda dengan wilayah lain berupa “keterpisahan” (insularitas) dari daratan utama.

Dari sisi biodiversitas, “keterpisahan” memengaruhi sumber daya hayati di pulau-pulau kecil menjadi bernilai lebih tinggi. Sementara dari aspek sosial, “keterpisahan” merupakan kerentanan berskala besar.

“Ketika kerentanan ini bertemu dengan kuasa dan orientasi yang memandang kekayaan hayati sebagai komoditas, maka kekayaan ekologis tersebut bisa jadi akan menghadapi tekanan,” tulis penelitian itu.

Pembangunan yang dominan mengarah ke profit, lanjut riset Yoppie, hanya kian meletakkan pulau-pulau kecil dalam periferi—tepi atau batas luar suatu objek—perluasan “pertumbuhan kota yang memiliki tingkat risiko yang tinggi.”

Yoppie berpandangan eksploitasi pulau-pulau kecil—penambangan nikel sampai dinamika jual beli—merupakan bagian dari agenda pembangunan pemerintah dan kepentingan kapital yang telah solid bersekutu pasca-1998.

“Sebelumnya kita melihat bagaimana hutan hujan tropis dikeruk habis-habisan, lalu diteruskan ke hutan-hutan di dataran rendah yang mayoritas untuk keperluan [perkebunan] sawit. Makin ke sini, trennya berubah lagi ke pesisir,” jelasnya.

“Kini, kita melihat pulau-pulau kecil jadi sasaran tembak karena secara potensial begitu tinggi.”

Situasi bertambah runyam belaka tatkala, Yogi berpendapat, “pemerintah tidak pernah menjalankan regulasi secara konsekuen.”

Bahwa, secara garis besar, pulau kecil ialah ruang khas yang membutuhkan perlindungan.

Susan mencontohkan kondisi di sekitar Kepulauan Seribu yang, menurut pengamatannya, “sudah diprivatisasi dan rata-rata itu adalah hasil reklamasi.”

“Jadi mereka ambil pasir, karang, dari sekitar pulau. Kemudian mereka membuat daratan baru. Terus kemudian, apakah negara pernah mengawasi resor-resor nakal ini? Tidak pernah sama sekali. Itu masalah sebenarnya,” ucap Susan.

Kebijakan pembangunan secara masif, beserta efek buruk yang mengiringinya, diprediksi Yoppie bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang, sekaligus menjadi wajah keberpihakan pemerintah yang pro-pengusaha.

Dalam taraf tertentu, ketika semua saluran sudah dijajaki dan tidak ada lagi hasil yang memuaskan, pemerintah, ucap Yoppie, akan mengurai pintu-pintu lain yang bahkan tujuan utamanya bukan untuk merusak, melainkan melestarikan.

Yoppie menyebutnya sebagai green grabbing, metode atau pola perampasan ruang hidup dengan topeng segala hal yang ‘hijau’—energi terbarukan serta mitigasi krisis iklim.

Pemerintah, dalam hubungannya dengan masalah jual beli ini, mengaku akan melindungi posisi pulau-pulau kecil. Pasalnya, kehadiran mereka beririsan erat ihwal kedaulatan negara.

Menteri ATR-BPN, Nusron Wahid, menegaskan “satu pulau tidak mungkin dapat dijual ke satu orang.”

“Apalagi kalau statusnya hak guna bangunan (HGB), tidak bisa dimiliki sama pihak asing, baik badan hukum maupun perorangan,” ujar Nusron, Minggu (22/6).

Susan menyebut investasi yang mengeruk habis sumber daya di pulau-pulau kecil tidak sebatas mengikis—secara harfiah—kandungan di daerah tersebut melainkan juga “harga diri kita sebagai negara kepulauan.”

Masak negara kepulauan jual pulau?” pungkasnya.

  • Nasib puluhan pulau kecil selain Raja Ampat yang terancam tambang
  • Izin empat perusahaan di Raja Ampat dicabut – Apa untung-rugi menambang di pulau-pulau kecil?
  • Kisah perempuan Papua di balik peristiwa viral Save Raja Ampat – ‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
  • Pulau Rempang: ‘Kami tidak akan pindah meski kami terkubur di situ’
  • ‘Penjualan pulau’ milik Indonesia, perusahaan Kanada: ‘Kami hanya menyewakan’
  • Pulau Tojo Una-una di Sulawesi ‘dijual’ perusahaan Kanada, lima pulau lain disewakan
  • MK tolak dalil perusahaan nikel, DPR dan pemerintah – ‘Aktivitas tambang tak boleh masuk pulau kecil’
  • Pulau-pulau kecil ramah lingkungan, antara ‘harapan menerangi dunia atau sekedar tetesan air di lautan’
  • Ternate, pulau tempat ditulisnya teori evolusi
  • Mengapa pemerintah Indonesia mendaftarkan 1.700 ‘pulau baru’ ke PBB?
  • Iklan penjualan rumah di Karimun Jawa untuk WNA, warga lokal khawatir ‘terusir dari kampung sendiri’
  • Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan ‘untungkan korporasi dan rugikan warga’? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur
  • Di balik tambang mineral milik China yang menggurita di Indonesia, Argentina, dan Kongo
  • Tambang emas ilegal di Pulau Sangihe ‘makin masif beroperasi’ – ‘Air laut dulunya jernih, sekarang keruh’
  • ‘Penderitaan dan kerusakan lingkungan’, nelangsa warga dan alam di wilayah lingkar tambang
  • Kisah nelayan-nelayan Natuna: ‘Gali lubang tutup lubang’ meski hidup di surga ikan
  • Pulau Tojo Una-una di Sulawesi ‘dijual’ perusahaan Kanada, lima pulau lain disewakan
  • Iklan penjualan rumah di Karimun Jawa untuk WNA, warga lokal khawatir ‘terusir dari kampung sendiri’

Berita Terkait

GIAA Terbang Tinggi? Analisis Saham Garuda Usai Suntikan Dana Rp6,65 T
RUU KUHAP: Ketua MA Ingatkan Fleksibilitas Aturan Teknis
3 Survival Show yang Dimentori oleh TEN WayV, Terbaru B:MY BOYZ
Davina Karamoy Ungkap Rahasia Pendalaman Karakter di Series Main Hati
Ancaman Iran Tutup Selat Hormuz, Trump Minta Eksplorasi Minyak Masif
Wisata Anti Hujan, Ini Tempat Liburan Seru Saat Musim Hujan!
Kapan Asa & Ahyeon BABYMONSTER di Running Man? Jadwal Tayang!
Adam Suseno Kritis, Inul Daratista Duga Kena Ain?

Berita Terkait

Selasa, 24 Juni 2025 - 17:03 WIB

GIAA Terbang Tinggi? Analisis Saham Garuda Usai Suntikan Dana Rp6,65 T

Selasa, 24 Juni 2025 - 15:33 WIB

RUU KUHAP: Ketua MA Ingatkan Fleksibilitas Aturan Teknis

Selasa, 24 Juni 2025 - 12:28 WIB

Nasib pulau kecil: Setelah ditambang, kini diperjualbelikan – ‘Kami dibiarkan bertahan sendirian’

Selasa, 24 Juni 2025 - 05:28 WIB

3 Survival Show yang Dimentori oleh TEN WayV, Terbaru B:MY BOYZ

Selasa, 24 Juni 2025 - 03:13 WIB

Davina Karamoy Ungkap Rahasia Pendalaman Karakter di Series Main Hati

Berita Terbaru

finance

Timur Tengah Memanas, IHSG Ikut Panas? Ini Analisisnya!

Selasa, 24 Jun 2025 - 19:48 WIB

travel

Bulan Madu Afrika Impian, Berapa Hari Idealnya?

Selasa, 24 Jun 2025 - 19:28 WIB

Public Safety And Emergencies

Perang Iran-Israel Picu Delay Penerbangan ke Indonesia, Ini Dampaknya!

Selasa, 24 Jun 2025 - 18:53 WIB