Amerika Serikat Serang Fasilitas Nuklir Iran, Konflik Israel-Iran Memasuki Babak Baru
Setelah berminggu-minggu ketegangan yang memuncak, Amerika Serikat akhirnya mengambil langkah militer langsung dalam konflik antara Iran dan Israel. Pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan serangan “berhasil” terhadap tiga fasilitas nuklir strategis di Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Langkah ini menandai eskalasi signifikan saat perang di Timur Tengah memasuki pekan kedua.
Menurut sumber internal *CNN*, operasi vital ini menggunakan pesawat pembom siluman B-2 Amerika, menunjukkan kekuatan dan presisi serangan tersebut. Tak lama setelah serangan, pejabat regional Iran, melalui laporan media pemerintah, segera mengonfirmasi bahwa fasilitas nuklir di Isfahan, Natanz, dan Fordow memang telah menjadi target serangan. Konfirmasi ini menegaskan dampak langsung dari intervensi militer AS.
Langkah intervensi ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Jauh sebelum penyerangan ke fasilitas nuklir Iran, Amerika Serikat telah secara signifikan meningkatkan kehadiran militernya di kawasan Timur Tengah. Dilansir dari *NewsX*, pengerahan pesawat tempur canggih seperti F-16, F-22, dan F-35, serta pengalihan kapal induk USS Nimitz ke wilayah tersebut, telah menjadi sinyal jelas akan niat Washington untuk memperkuat posisinya.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Pete Hegseth, secara resmi membenarkan langkah-langkah pengerahan pesawat dan kapal perang ke Timur Tengah tersebut. “Melindungi pasukan Amerika Serikat adalah prioritas utama kami dan pengerahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan postur pertahanan kami di wilayah tersebut,” tegas Hegseth, seperti dikutip dari *The Hill*. Pernyataan ini menggarisbawahi fokus AS pada keamanan personelnya di tengah memanasnya situasi.
Selain pengerahan aset udara dan laut, persiapan logistik juga diperkuat. Secara strategis, *Al Arabiya English* melaporkan penempatan sejumlah pesawat pengebom B-52 milik Amerika Serikat di Diego Garcia, sebuah pangkalan militer vital di Samudra Hindia. Penempatan ini menggantikan peran pengebom siluman B-2 yang sebelumnya digunakan dalam beberapa bulan terakhir untuk menargetkan gudang senjata bawah tanah kelompok Houthi di Yaman, menunjukkan adaptasi strategi militer AS di berbagai lini. Pejabat pertahanan Amerika Serikat juga membenarkan bahwa lebih dari selusin pesawat pengisian bahan bakar milik Angkatan Udara Amerika Serikat tengah dalam perjalanan atau sudah berada di kawasan tersebut, menjamin kemampuan operasional yang berkelanjutan bagi armada udara mereka.
Di sektor maritim, seperti diberitakan oleh *Politico*, Pentagon pekan lalu telah memerintahkan dua kapal perusak di Laut Mediterania untuk bergerak lebih dekat ke wilayah Israel. Langkah ini diambil guna memperkuat perlindungan terhadap aset-aset Amerika Serikat di kawasan tersebut dan menunjukkan komitmen terhadap sekutu. Sementara itu, Israel sendiri telah memanfaatkan sistem pertahanan udara canggih milik Amerika Serikat untuk berhasil menembak jatuh drone dan rudal yang diluncurkan Iran dan menyasar infrastruktur sipil di wilayahnya, menggarisbawahi peran penting teknologi AS dalam pertahanan Israel.
Kehadiran militer Amerika Serikat di Timur Tengah sejatinya sudah mengakar kuat. Negara ini memiliki delapan pangkalan militer di delapan negara strategis di kawasan, meliputi Bahrain, Mesir, Yordania, Kuwait, Irak, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Menurut data dari *Al Jazeera*, total jumlah personel militer Amerika Serikat di pangkalan-pangkalan tersebut berkisar antara 40.000 hingga 50.000 orang, menandakan jejak kaki militer yang substansial di wilayah yang bergejolak ini. Dengan eskalasi terbaru ini, keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Iran-Israel kini menjadi lebih nyata, menandai babak baru dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang semakin kompleks.