Mendalami Makna Kurban: Anies Baswedan Soroti Keadilan Sosial dalam Khotbah Idul Adha di Masjid Al-Azhar
Jakarta, Jumat (6/6) – Di tengah semangat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, Anies Baswedan berkesempatan menjadi khatib Salat Idul Adha di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan. Dalam khotbahnya yang bertajuk “Kurban, Kota, dan Agenda Keadilan”, Anies mengajak ribuan jemaah untuk merenungkan makna kurban yang lebih mendalam, melampaui ritual penyembelihan hewan semata, menuju keberanian berkorban demi tegaknya keadilan sosial.
Anies mengawali khotbahnya dengan menegaskan esensi Idul Adha sebagai momen refleksi. “Hari ini kita berkumpul merayakan Idul Adha, hari raya kurban yang mengajarkan kita tentang ketundukan kepada Allah dan kepedulian kepada sesama,” ujarnya, membuka perspektif jemaah pada dimensi spiritual dan sosial perayaan ini.
Ia kemudian menyoroti kontras mencolok antara suasana kesetaraan yang terasa di Tanah Suci—saat jemaah haji bersatu dalam balutan ihram dan seruan ‘Labbaika Allahumma labbaik’—dengan realitas ketimpangan yang seringkali menganga di kota-kota besar, seperti Jakarta. Kesetaraan itu, menurut Anies, seolah menguap saat kembali ke kehidupan sehari-hari, menyingkap ironi yang memilukan.
“Di satu sisi, restoran mewah penuh pengunjung. Di sisi lain, anak-anak memungut sampah demi sesuap nasi,” ucap Anies, melukiskan potret ketidakadilan yang miris. Ia mengingatkan, “Ini bukan pemandangan di negeri asing. Ini halaman rumah kita sendiri,” sebuah kalimat yang menggugah kesadaran akan tanggung jawab bersama.
Lebih lanjut, Anies mengaitkan pembangunan peradaban dengan penataan kota yang adil. Ia merujuk pada sejarah Islam yang tumbuh besar melalui transformasi Yatsrib menjadi Al-Madinah Al-Munawwarah. Menurutnya, kota yang tertata dengan baik adalah cerminan peradaban yang sehat, sementara kota yang diliputi ketidakadilan adalah tanda masyarakat yang sakit. “Islam tumbuh besar ketika Nabi Muhammad SAW memimpin dari sebuah kota. Islam adalah agama yang tumbuh besar di kota dan di kota itulah peradaban Islam dibangun,” jelasnya, menekankan peran sentral kota dalam narasi peradaban Islam.
Anies juga menyinggung rekayasa struktural untuk keadilan yang pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab. Ia menceritakan bagaimana Umar melakukan reformasi agraria di masa paceklik dengan membagikan tanah telantar kepada rakyat yang bersedia menggarap. “Bila ada tanah lebih dari tiga tahun tidak dikelola, ambil alih dan berikan kepada yang mau mengerjakan,” tegasnya, menggambarkan betapa kebijakan pro-rakyat bisa menghadirkan keadilan nyata.
Pertanyaan inti pun ia lontarkan kepada jemaah: “Apa yang siap kita kurbankan untuk menghadirkan keadilan?” Anies memaparkan bahwa bentuk kurban dapat bervariasi sesuai posisi dan kapasitas masing-masing individu. Bagi pemimpin, kurban berarti keberanian dalam membuat kebijakan yang adil. Bagi mereka yang berkecukupan, wujud kurban bisa berupa investasi sosial. Sementara bagi rakyat biasa, kurban dapat berupa waktu dan keahlian yang disumbangkan.
Dalam memperkuat argumennya, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengutip pemikiran Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah yang masyhur, yang menyebut bahwa ketidakadilan adalah akar utama keruntuhan peradaban. Bukan karena serangan dari luar, melainkan karena ketimpangan internal yang tidak tertangani. Oleh karena itu, Anies menegaskan pentingnya membangun kota yang adil, yang menjamin akses setara terhadap pendidikan, kesehatan, ruang publik, serta keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelaku UMKM dan pekerja informal.
“Prinsipnya, membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar. Ini semua hanya mungkin bila pemimpin dan warganya berjalan seiring,” pungkas Anies, menyerukan kolaborasi antara pemerintah dan rakyat dalam mewujudkan kota yang berkeadilan.
Menutup khotbahnya, Anies Baswedan mengingatkan kembali bahwa yang sesungguhnya sampai kepada Allah bukanlah daging kurban, melainkan ketakwaan. Ketakwaan yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam bentuk kepekaan sosial. “Ketakwaan yang menimbulkan kesadaran bahwa kita tidak bisa khusyuk Salat Subuh sementara kita tahu tetangga kita semalam tidur kelaparan,” tutupnya, memberikan pesan penutup yang sarat makna dan menggugah nurani.