Ekonomi Nasional Bayangi Deflasi: BPS Catat Penurunan Harga di Mei 2025, Kekhawatiran Terhadap Konsumsi Rumah Tangga Meningkat
Jakarta – Perekonomian nasional menunjukkan gejala deflasi yang patut dicermati. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Mei 2025, terjadi deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan (month to month). Data ini diumumkan langsung oleh Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers yang digelar di kantor BPS, Jakarta Pusat, pada Senin, 2 Juni 2025.
Pudji menjelaskan, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat turun menjadi 108,07 pada Mei 2025 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini menandai penurunan signifikan, apalagi jika dilihat secara tahunan (year on year), IHK anjlok sebesar 1,66 persen. Fenomena deflasi yang berlangsung selama tiga bulan berturut-turut ini sontak menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, mengungkapkan bahwa deflasi yang berkelanjutan bukan sekadar gejala ekonomi biasa, melainkan indikasi serius melemahnya fondasi ekonomi nasional. “Deflasi yang berkepanjangan memberi sinyal buruk bagi konsumsi rumah tangga. Ini memperlihatkan bahwa publik menahan belanja karena tekanan ekonomi yang dirasakan,” kata Awalil saat dihubungi pada Selasa, 3 Juni 2025, menegaskan bahwa daya beli masyarakat sedang tertekan.
Menurut Corporate Finance Institute, deflasi dalam suatu perekonomian utamanya disebabkan oleh dua faktor krusial. Pertama, adalah penurunan permintaan agregat. Ini terjadi ketika masyarakat cenderung menahan pengeluaran, misalnya akibat kebijakan moneter ketat yang menaikkan suku bunga sehingga mendorong orang untuk menabung, atau saat kepercayaan konsumen menurun drastis selama masa resesi.
Di sisi lain, peningkatan penawaran agregat juga dapat memicu deflasi. Kondisi ini sering terjadi jika biaya produksi menurun tajam, misalnya karena penurunan harga bahan baku seperti minyak, atau berkat kemajuan teknologi yang memungkinkan produsen menekan biaya secara efisien. Dalam situasi ini, produsen terpaksa menurunkan harga produk agar tetap diminati di tengah permintaan yang stagnan atau bahkan melemah.
Deflasi sering kali terjadi di tengah masa resesi dan umumnya dianggap sebagai fenomena ekonomi yang merugikan, karena dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian. Corporate Finance Institute mengidentifikasi tiga efek negatif utama dari deflasi yang berkepanjangan:
1. Pengangguran Meningkat
Selama periode deflasi, tren peningkatan tingkat pengangguran menjadi sangat nyata. Saat harga-harga barang dan jasa terus menurun, produsen terdorong untuk mengambil langkah-langkah penghematan biaya, yang seringkali berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagian karyawan mereka.
2. Peningkatan Nilai Riil Utang
Deflasi acapkali diiringi dengan kenaikan suku bunga, yang secara langsung menyebabkan nilai riil utang menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Kondisi ini kian membebani konsumen, mendorong mereka untuk menunda pengeluaran guna mengurangi beban keuangan yang terasa semakin berat.
3. Memperburuk Kondisi Ekonomi (Spiral Deflasi)
Spiral deflasi adalah kondisi berbahaya di mana penurunan tingkat harga memicu reaksi berantai yang memperparah ekonomi. Penurunan harga ini menyebabkan produksi menurun, diikuti oleh berkurangnya upah, melemahnya permintaan, dan pada akhirnya, harga terus mengalami penurunan lebih lanjut. Selama masa resesi, spiral deflasi menjadi tantangan ekonomi yang luar biasa berat karena berpotensi memperburuk kondisi ekonomi secara signifikan dan berkepanjangan.