Ragamutama.com – , Jakarta – Praktek yang diduga sebagai aksi premanisme oleh organisasi masyarakat (ormas) ternyata tidak hanya dirasakan oleh sektor swasta. Baru-baru ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebuah lembaga pemerintah, melaporkan bahwa sebidang tanah yang menjadi aset mereka telah diduduki oleh ormas GRIB Jaya.
Luas lahan yang diklaim mencapai 127.780 meter persegi dan terletak di Kelurahan Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, Banten, kini diduga kuat dikuasai secara tidak sah oleh ormas GRIB Jaya tersebut.
Rangkaian Kejadian: Laporan BMKG Mengenai Pendudukan Lahan oleh GRIB Jaya
Terungkapnya kasus ini bermula ketika BMKG secara resmi melaporkan dugaan pendudukan lahan negara secara ilegal oleh ormas GRIB Jaya kepada Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pada hari Selasa, 20 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, BMKG secara khusus meminta bantuan pihak kepolisian untuk menertibkan GRIB Jaya yang dianggap telah menduduki dan memanfaatkan aset tanah negara tanpa izin yang jelas.
Surat laporan tersebut juga ditembuskan kepada Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam), Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Polres Tangerang Selatan, serta Polsek Pondok Aren sebagai informasi.
BMKG menegaskan bahwa lahan seluas 127.780 meter persegi itu merupakan aset negara yang diperuntukkan bagi pembangunan gedung arsip. Menurut keterangan Plt. Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Akhmad Taufan Maulana, seperti yang dikutip dari Antara, gangguan keamanan di area lahan tersebut telah berlangsung selama hampir dua tahun, yang mengakibatkan terhambatnya rencana pembangunan gedung arsip.
Taufan menjelaskan bahwa pembangunan gedung arsip BMKG sebenarnya sudah dimulai sejak November 2023. Namun, prosesnya mengalami kendala akibat adanya sekelompok orang yang mengklaim sebagai ahli waris lahan dan beberapa anggota ormas terkait. Mereka memaksa para pekerja untuk menghentikan kegiatan konstruksi, mengeluarkan alat berat dari lokasi, dan menutupi papan proyek dengan tulisan “Tanah Milik Ahli Waris”.
“Bahkan, ormas tersebut mendirikan posko dan menempatkan anggota mereka secara permanen di lokasi, dan sebagian lahan disewakan kepada pihak ketiga, serta telah didirikan bangunan di atasnya,” ungkapnya.
BMKG memastikan bahwa kepemilikan lahan tersebut sah secara hukum oleh negara, berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Pondok Betung Tahun 2003, yang sebelumnya tercatat sebagai SHP No. 0005/Pondok Betung. Kepemilikan ini juga telah dikuatkan oleh serangkaian putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, termasuk Putusan Mahkamah Agung RI No. 396 PK/Pdt/2000 tanggal 8 Januari 2007.
Menurut Taufan, Pengadilan Negeri Tangerang juga telah mengeluarkan pernyataan tertulis yang menegaskan bahwa putusan-putusan tersebut saling menguatkan, sehingga tidak diperlukan adanya eksekusi. Meskipun memiliki dasar hukum yang kuat, BMKG tetap mengutamakan pendekatan persuasif melalui koordinasi dengan berbagai pihak, mulai dari tingkat RT dan RW, kecamatan, kepolisian, hingga pertemuan langsung dengan ormas dan pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris.
Namun, Taufan menyatakan bahwa pihak ormas tidak menerima penjelasan hukum yang telah disampaikan oleh BMKG. Bahkan, dalam salah satu pertemuan, pimpinan ormas disebut mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 5 miliar sebagai syarat untuk menarik massa dari lokasi proyek. BMKG menilai tuntutan tersebut merugikan negara. Sebab, proyek pembangunan Gedung Arsip menggunakan sistem kontrak multi years dengan durasi 150 hari kalender, yang dimulai sejak 24 November 2023.
Sementara itu, GRIB Jaya berdalih bahwa tindakan pendudukan lahan yang dilakukan oleh organisasinya bertujuan untuk membela ahli waris dan masyarakat yang telah lama menempati lahan sengketa tersebut. Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, Wilson Colling, menjelaskan bahwa perkara tanah tersebut sudah berlangsung sejak dua tahun lalu dan sedang ditangani oleh timnya.
“Tim advokasi tidak serta merta menerima kasus tersebut. Kami memeriksa seluruh data dan dokumen untuk melakukan pembelaan,” kata Wilson dalam keterangan di YouTube GRIB Jaya, Jumat, 23 Mei 2025. Tempo telah memperoleh izin untuk mengutip pernyataan tersebut.
Wilson mengklaim bahwa akar permasalahan sengketa tanah di Pondok Betung sudah ada sejak tahun 1992. Namun, tidak ada klausul putusan yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat atau ahli waris yang menempati lahan tersebut untuk keluar. “Tidak ada satu pun perintah (pengadilan) untuk eksekusi,” tegasnya.
Selain itu, GRIB Jaya juga membantah pernah meminta uang sebesar Rp 5 miliar kepada BMKG sebagai imbalan untuk menghentikan pendudukan lahan di Tangerang Selatan. Anggota Tim Hukum dan Advokasi Grib Jaya, Hika T.A Putra, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan konfirmasi kepada jajaran Dewan Pimpinan Pusat GRIB Jaya mengenai tuduhan tersebut.
“Hasil dari konfirmasi kami, tidak pernah ada yang menyebutkan Rp 5 miliar,” kata Hika dalam video di YouTube GRIB Jaya, Jumat, 23 Mei 2025.
Bagaimana Tindakan Kepolisian dalam Menangani Kasus Ini?
Perkembangan terbaru, sengketa lahan antara BMKG dan GRIB Jaya ini berujung pada penangkapan 17 anggota ormas tersebut oleh aparat Polda Metro Jaya pada hari Sabtu, 24 Mei 2025. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa dari 17 orang yang ditangkap, enam di antaranya mengaku sebagai ahli waris lahan tersebut.
“Dari tujuh belas orang tersebut, 11 di antaranya berasal dari ormas GRIB Jaya, salah satunya adalah berinisial Y, yang menjabat sebagai Ketua DPC ormas GRIB Jaya Tangsel. Kemudian, enam orang lainnya mengaku sebagai ahli waris tanah ini,” jelas Ade Ary di Tangerang, Sabtu, seperti yang dikutip dari Antara.
Dalam proses pengamanan lokasi sengketa tanah, Ade Ary mengungkapkan bahwa pihaknya menyita sejumlah barang bukti, seperti senjata tajam hingga karcis parkir yang digunakan oleh anggota ormas tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari penyewaan lahan.
“Tadi ditemukan beberapa atribut, rekapan parkir, karcis parkir dari ormas GRIB Jaya, atribut dan bendera ormas tersebut, serta senjata tajam. Ada juga bukti transfer dari kedua penyewa kepada Y,” rincinya.
Ade Ary menambahkan bahwa pihak terlapor dalam kasus ini terdiri dari enam orang yang diduga merupakan anggota Ormas GRIB Jaya. Tindakan yang dilaporkan meliputi dugaan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin, penggelapan hak atas benda bergerak, dan atau perusakan secara bersama-sama.
Perbuatan tersebut diatur oleh pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin, pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas barang tidak bergerak, serta pasal 170 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama di muka umum terhadap orang atau barang.
“Ini merupakan bagian dari sasaran target pemberantasan operasi preman oleh Polda Metro Jaya dan kasus ini masih berjalan, proses penyelidikan, dan kasus ini akan diusut tuntas,” tegasnya.
Pada hari yang sama, jajaran Polda Metro Jaya juga membongkar posko GRIB Jaya yang berada di lahan milik BMKG di Pondok Betung. Ade Ary menjelaskan bahwa dari hasil pemeriksaan di lokasi, ditemukan bangunan yang disewakan oleh ormas kepada para pedagang. Kegiatan tersebut diketahui telah menghasilkan keuntungan hingga puluhan juta rupiah.
“Mereka memberikan izin kepada beberapa pihak, beberapa pengusaha lokal seperti tukang pecel lele, pedagang hewan kurban. Itu dipungut secara liar oleh mereka,” ujar Kombes Ade. “Lapak pecel lele dipungut Rp3,5 juta per bulan. Kemudian dari pengusaha pedagang hewan kurban dipungut Rp22 juta. Jadi, dua korban ini langsung mentransfer kepada anggota ormas berinisial Y.”
Di sisi lain, GRIB Jaya mempertanyakan tindakan polisi dalam menangkap sejumlah anggotanya. Tudingan premanisme dalam kasus pendudukan lahan milik BMKG di Tangerang Selatan, Banten, dinilai tidak memiliki dasar yang kuat. Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, Wilson Colling, menegaskan bahwa dalam konflik lahan tersebut, GRIB Jaya bertindak sebagai perwakilan ahli waris.
“Penangkapan anggota GRIB Jaya secara cepat, tanpa adanya upaya mediasi atau penyelesaian konflik dasar terkait hak-hak ahli waris dan legalitas klaim BMKG, menimbulkan pertanyaan besar,” kata Wilson dalam keterangan tertulis, Ahad, 25 Mei 2025.
Hingga saat ini, penyidik Polda Metro Jaya masih terus melakukan pendalaman terkait kasus tersebut untuk mengungkap dalang di balik penguasaan lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan gedung arsip BMKG tersebut.
Yudono Yanuar, Raden Putri, Intan Setiawanty, dan Hammam Izzuddin turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: BMKG Vs GRIB Jaya Soal Lahan: Apa Kata Menteri Agraria hingga Istana