Serangkaian pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menimbulkan beragam reaksi dan perdebatan di tengah masyarakat. Bahkan, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai beberapa pernyataan tersebut berpotensi “berbahaya”.
Mungkinkah hal inilah yang mendorong sejumlah guru besar di bidang kedokteran dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia untuk secara serentak melayangkan protes dan seruan keprihatinan?
Berikut ini adalah beberapa pernyataan dan kebijakan Menteri Kesehatan Budi yang menuai kontroversi.
Apa sajakah pernyataan kontroversial Menkes Budi tersebut?
Dalam sebuah acara peluncuran layanan kesehatan di Jakarta Pusat, pada hari Rabu, 14 Mei, Menkes Budi menyatakan bahwa pria dengan ukuran celana jeans di atas 32-33 cenderung mengalami obesitas dan memiliki risiko kematian lebih dini.
“Berapa ukuran celana jeans Anda? Jika 34-33, sudah pasti obesitas. Kemungkinan ‘menghadap Allah’ lebih cepat dibandingkan yang ukuran celana jeansnya 32,” ujar Budi.
Setelah melontarkan pernyataan tersebut, Budi berdalih bahwa niatnya bukanlah untuk mempermalukan bentuk tubuh atau melakukan *body shaming*, melainkan sebagai peringatan untuk menjaga lingkar pinggang agar terhindar dari risiko penyakit kronis.
Namun, dalih tersebut dibantah oleh Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto.
“Beliau [Menkes] menghitung BMI (Body Mass Index) berdasarkan tinggi badan. Jika tingginya 200 [cm], ukuran celananya mungkin di atas 35, bukan? Itu hanya salah satu faktor. Masih ada puluhan faktor lain yang menentukan seseorang sehat atau tidak,” tegas Slamet.
Dalam kesempatan lain, tiga hari kemudian, Menkes Budi kembali mengeluarkan pernyataan bahwa seseorang dengan gaji Rp15 juta per bulan pasti lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan dengan yang bergaji Rp5 juta.
“Apa perbedaan antara orang yang gajinya Rp15 juta dengan Rp5 juta? Hanya dua, satu, pasti lebih sehat dan lebih pintar. Jika tidak sehat dan tidak pintar, tidak mungkin gajinya Rp15 juta, pasti Rp5 juta,” kata Budi.
Lagi-lagi, pernyataan ini dinilai tidak tepat oleh Slamet Budiarto. Menurutnya, faktanya banyak orang di desa dengan pendapatan di bawah Rp5 juta yang mampu hidup hingga usia senja dalam kondisi sehat.
Saat bersilaturahmi Lebaran ke kediaman Presiden ke-7 Joko Widodo (11/04), Menkes Budi juga masih menyebut Jokowi sebagai “bos”nya.
“Silaturahmi karena Pak Jokowi kan bosnya saya,” ucapnya.
Padahal, saat itu dia menjabat sebagai menteri kesehatan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Pada bulan yang sama, Budi mengusulkan agar tukang gigi diperbolehkan praktik di puskesmas. Namun, pernyataan ini kemudian diralat.
“Pernyataan Menkes mengenai rencana mendidik tukang gigi agar *skill*-nya meningkat, merupakan kesalahan istilah. Yang beliau maksud adalah terapis gigi dan mulut yang memiliki pendidikan formal.
“Jadi, jelas Menkes tidak akan meningkatkan *skill* tukang gigi,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, seperti yang diberitakan oleh kantor berita Antara pada 16 April 2025.
Pada tahun 2024, Budi juga menjadi sorotan di media sosial karena dalam sebuah acara mengenai kecerdasan buatan, dia menyatakan bahwa “penggunaan stetoskop oleh dokter jantung itu tidak ilmiah“.
Pernyataan tersebut kemudian diklarifikasi di akun Instagram pribadinya. Ia menjelaskan, “Stetoskop tetap diperlukan oleh dokter saat pemeriksaan. Namun, akan lebih baik jika didukung dengan pemeriksaan canggih lainnya seperti EKG / Echocardiography / CT-scan jantung bahkan Polygenic Testing.”
Ketua IDI, Slamet Budiarto, menilai kalimat Menkes Budi tersebut tidak tepat. Menurut Slamet, di Amerika Serikat pun para dokter masih menggunakan stetoskop.
“Menurut saya ini sangat berbahaya, seorang menteri kesehatan [berkata] seperti ini,” pungkasnya.
Pernyataan lain dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin adalah keinginannya agar para dokter umum, terutama di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar, dilatih untuk melakukan bedah sesar dan diberikan aturan hukum yang jelas.
Namun, Ketua IDI, Slamet Budiarto, menilai hal tersebut tidak tepat. Menurut IDI, jumlah dokter kandungan di seluruh Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak, “tetapi tidak terdistribusi dengan baik.”
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, berpendapat bahwa pernyataan menteri kesehatan terlalu teknis dan tidak lengkap sehingga menjadi bumerang—meskipun niatnya baik dan dapat dianggap sebagai upaya penyadaran mengenai gaya hidup sehat.
“Kelemahan dalam penyampaian informasi oleh Menkes terletak pada narasi substantif yang terkadang terlampau teknis. Pejabat negara seharusnya [fokus] pada hal-hal yang strategis dan konseptual. Hindari hal-hal yang terlampau teknis,” paparnya.</pSoal independensi kolegium
Kebijakan Menkes Budi terkait posisi kolegium juga menjadi sorotan. Dalam dunia kedokteran di Indonesia, kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi, seperti IDI. Kolegium memegang peranan penting dalam penyusunan standar, kurikulum, pengembangan ilmu, uji kompetensi, rekomendasi pengakuan keahlian, serta pembinaan dan koordinasi.
Terdapat kekhawatiran bahwa pemerintah akan melakukan intervensi terhadap lembaga ini. Menurut para guru besar, independensi kolegium kedokteran harus dijaga untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi.
Kementerian Kesehatan mengklaim bahwa posisi badan ini justru lebih independen dibandingkan sebelumnya. “Sebelum UU 17/2023 tentang Kesehatan, kolegium berada di bawah organisasi profesi. Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, kolegium tidak berada di bawah Kementerian Kesehatan.”
Keterangan tertulis dari Kementerian Kesehatan di atas juga menyebutkan bahwa proses pemilihan anggota kolegium yang ditetapkan pada Oktober 2024 dilakukan secara transparan melalui pemilihan langsung oleh tenaga medis/tenaga kesehatan.
Namun, hal ini dibantah oleh Ketua IDI, Slamet Budiarto. “Pemerintah mengambil alih kolegium milik IDI. Padahal itu tidak diperintahkan oleh undang-undang. Mereka membentuk sendiri. Dokter-dokter yang melawan langsung dimutasi,”
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, juga menyoroti adanya penunjukan langsung.
“Yang terjadi adalah pemilihan dilangsungkan berdasarkan voting, kemudian ditentukan oleh menteri kesehatan, dan penilaian menteri kesehatan beserta jajaran kementerian kesehatan. Bahkan ada satu kolegium yang ditunjuk langsung oleh kementerian kesehatan,” ungkapnya usai deklarasi Salemba Berseru yang disiarkan melalui akun Youtube Fakultas Kedokteran UI.</pPengembangan rumah sakit vertikal
Rumah sakit vertikal adalah rumah sakit yang dikelola secara langsung oleh Kementerian Kesehatan. Contohnya, RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, dan RS Pusat Otak Nasional.
Berbeda dengan rumah sakit umum daerah (RSUD) yang dikelola oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, atau rumah sakit swasta, rumah sakit vertikal memiliki struktur dan rantai komando langsung ke Kemenkes di tingkat pusat.
Di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, peran rumah sakit vertikal menjadi salah satu sorotan, terutama terkait dengan pendidikan dokter spesialis.
Kemenkes berencana untuk memperbanyak rumah sakit vertikal dan menggunakannya sebagai basis utama pendidikan dokter spesialis (PPDS), di luar sistem pendidikan universitas yang selama ini berlaku.
“Reformasi ini bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan kesehatan di seluruh pelosok Indonesia,” tulis pernyataan Kementerian Kesehatan.
Namun, hal ini juga menjadi sorotan keprihatinan para guru besar dalam deklarasi Salemba Berseru yang disiarkan melalui akun Youtube Fakultas Kedokteran UI.
“Pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran. Tanpa sinergi yang baik, para guru besar khawatir muncul ketimpangan kualitas dokter.”
Menurut mereka pula, “Pemisahan fungsi akademik dan rumah sakit pendidikan dapat mengancam proses pendidikan kedokteran,”
Sementara itu, Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto, juga mengkritik rencana pembangunan rumah sakit vertikal yang tidak tepat sasaran. “Beliau [Menkes Budi] membuat rumah sakit vertikal. Bukannya di tempat-tempat daerah yang terpencil, malah di kota-kota besar. Contohnya Surabaya, Palembang, Makassar.”
Cek kesehatan gratis
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Cek Kesehatan Gratis yang dikoordinasi dan berada di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
Sejak diluncurkan, 1,5 juta orang telah melakukan pemeriksaan melalui program ini, seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dan dikutip dari laman Tempo.co.
Pemeriksaan tidak terikat waktu, “Tidak berulang tahun pun boleh periksa. Yang penting satu puskesmas kuotanya 30 orang per hari,” ujarnya.
CISDI, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memajukan pembangunan sektor kesehatan, menyambut baik dan mendorong agar program ini terus dikembangkan.
Namun, CISDI memberikan catatan bahwa program ini perlu ditindaklanjuti dengan tahapan perawatan/sistem rujukan.
“Selain mempersiapkan logistik untuk CKG, pemerintah juga harus memastikan layanan selanjutnya terjamin,” kata Diah Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, dalam jawaban tertulisnya kepada BBC News Indonesia.
Di Indonesia, menurut Diah, terdapat 10.000 puskesmas, lebih dari 300.000 posyandu, dan lebih dari 70 ribu puskesmas pembantu (pustu).
Hal ini berarti bahwa logistik dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan di berbagai fasilitas ini harus lengkap, “agar saat orang datang ke fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut dengan antusiasme dan animo yang tinggi dapat disambut baik dan bisa mengakses pemeriksaan kesehatan gratis,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, melihat kemungkinan lain dari program ini.
Pemeriksaan kesehatan gratis dapat difokuskan pada tiga bidang, “Pencegahan penyakit fokus pada kontrol risiko diabetes, kontrol risiko hipertensi, dan juga bagaimana menangani kesehatan mental yang buruk.”
Pemeriksaan kesehatan mental, menurutnya, belum tercakup dalam paket skrining CKG.
“Kalau kita hanya fokus pada tiga tadi, kita tidak perlu menghabiskan antara 800 ribu sampai 1,5 juta [untuk] pemeriksaan sekali [setiap] orang.”
Dengan efisiensi seperti itu, cakupan pelayanan CKG dapat diperluas.
Ia memperkirakan paket untuk pemeriksaan ini mungkin tidak sampai Rp100.000.
Diprotes kampus-kampus
Sepanjang pekan lalu, sejumlah fakultas kedokteran di Indonesia menggelar seruan dan protes yang ditujukan kepada pemerintah dan Kementerian Kesehatan.
Beberapa kampus yang terlibat antara lain Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, Universitas Sebelas Maret, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Gunadarma, seperti yang dirangkum di laman detik.com.
Beberapa tema protes mereka antara lain mempertanyakan berbagai kebijakan menteri kesehatan yang dianggap mengganggu independensi kolegium dan sistem pendidikan dokter spesialis.
Namun, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa berbagai langkah yang diambil merupakan bagian dari upaya mengatasi tantangan mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia—mulai dari akses, kualitas layanan, hingga pemerataan sumber daya manusia kesehatan yang masih perlu ditingkatkan, seperti yang tertulis dalam keterangan resmi Kemenkes.
Menanggapi protes para guru besar ini, Kemenkes mengatakan, “Reformasi sistem kesehatan yang tengah berlangsung sejak diterbitkannya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dapat menimbulkan perdebatan maupun kesalahpahaman.
“Karena itu, Kemenkes terus membuka ruang dialog dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak demi mewujudkan sistem kesehatan yang lebih baik.”
Bagaimana peran IDI dalam penyusunan kebijakan?
Berdasarkan catatan IDI, menteri kesehatan sering kali mengeluarkan kebijakan kontroversial tanpa terlebih dahulu melakukan dialog.
Menurut Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto, sikap semacam itu seperti “mengebiri organisasi profesi”.
Sejak 2023, menurut Slamet, IDI tidak lagi dilibatkan dalam berbagai perumusan kebijakan kesehatan. “Beliau [Menkes Budi] tidak melibatkan [IDI sebagai] stakeholder. Tidak ada meaningful participation itu.”
Selain IDI, nasib yang sama juga menimpa organisasi profesi kesehatan lainnya, termasuk organisasi bidan dan perawat.
“Padahal undang-undang mewajibkan partisipasi masyarakat yang meaningful [bermakna],” katanya.
Hal ini juga yang disuarakan dalam pernyataan para guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang bertajuk ‘Salemba Berseru’ “Kami sangat prihatin karena kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif,” tulis seruan tersebut.
Melalui keterangan tertulisnya, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa berbagai proses penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program Kemenkes telah banyak melibatkan dokter-dokter lulusan FKUI, termasuk beberapa ketua kolegium yang juga merupakan alumni FKUI yang aktif berdiskusi dengan Kemenkes.
- Menteri kesehatan baru diharapkan pimpin program vaksinasi Covid, meski tak berlatar belakang kesehatan
- Tiga tersangka kasus dugaan pemerasan mahasiswa PPDS Undip ditahan – ‘Itu bullying finansial’
- Uji vaksin TBC disponsori Bill Gates – Apakah warga Indonesia jadi ‘kelinci percobaan’?
- Dokter di Garut jadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, korban diperkirakan lebih dari satu orang – ‘Saya merasa risih, USG berlangsung lama’
- ‘Saya trauma ditangani dokter laki-laki’ – Kasus dugaan pemerkosaan oleh dokter PPDS anestesi picu ketidakpercayaan terhadap tenaga medis
- Kesaksian korban dugaan bullying di pendidikan dokter spesialis: Mulai ‘jam kerja panjang’, sediakan ‘tiket pesawat’, hingga ‘menjadi babu’ para senior
- Indonesia laporkan kasus HMPV – Apa gejala HMPV dan bagaimana penyebarannya?
- Menkes akan izinkan riset ganja, bagaimana dampaknya terhadap upaya legalisasi untuk keperluan medis?
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8r5n05n61po
- Menteri kesehatan baru diharapkan pimpin program vaksinasi Covid, meski tak berlatar belakang kesehatan
- Uji vaksin TBC disponsori Bill Gates – Apakah warga Indonesia jadi ‘kelinci percobaan’?
- Dokter di Garut jadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, korban diperkirakan lebih dari satu orang – ‘Saya merasa risih, USG berlangsung lama’