Ragamutama.com – , Jakarta – Awalil Rizky, seorang ekonom dari Bright Institute, memberikan pandangannya mengenai implikasi dari perubahan status pengemudi ojek online atau ojol, dari yang saat ini sebagai mitra menjadi pekerja tetap. Usulan perubahan status ini merupakan salah satu aspirasi utama yang disuarakan oleh Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) kepada perusahaan penyedia aplikasi atau aplikator.
Penetapan status pekerja akan membawa serta berbagai bentuk perlindungan tenaga kerja bagi para pengemudi ojol, termasuk di antaranya adalah penerapan upah minimum provinsi, jaminan sosial, serta hak-hak pekerja lainnya. “Akan tetapi, di sisi lain, hal ini berpotensi menghilangkan fleksibilitas kerja yang selama ini menjadi daya tarik utama dari profesi pengemudi ojol,” ungkap Awalil kepada Tempo pada hari Rabu, 21 Mei 2025.
Fleksibilitas yang dimaksud oleh Awalil mencakup keleluasaan dalam mengatur jam kerja, serta kesempatan bagi pengemudi untuk menjalin kemitraan dengan lebih dari satu platform transportasi online. Selain itu, status pekerja tetap juga akan menambah beban biaya operasional yang harus ditanggung oleh aplikator, dan berpotensi memicu pengurangan jumlah pengemudi ojol yang dapat ditampung.
Pemutusan hubungan kerja dengan sebagian pengemudi diperkirakan tak dapat dihindari, mengingat adanya keterbatasan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak-hak seluruh pengemudi. Terlebih lagi, jumlah pengemudi ojol di Indonesia saat ini sangat besar, diperkirakan mencapai angka 6 juta orang.
“Apabila diwajibkan berstatus pekerja tetap, kemungkinan jumlah driver ojol yang tersisa tidak akan lebih dari 20 persennya, atau hanya sekitar 1 juta saja,” jelas Awalil.
Lebih lanjut, Awalil menjelaskan bahwa berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor ojol, tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak pengemudi jika mereka menjadi pekerja tetap aplikator. “Kecuali jika tarif layanan mengalami kenaikan yang signifikan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak pada penurunan minat masyarakat dalam menggunakan aplikasi ojol,” katanya.
Berdasarkan analisis tersebut, Awalil berpendapat bahwa status kemitraan adalah opsi yang paling realistis untuk saat ini, terutama di tengah maraknya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, profesi ojol seringkali menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat yang terkena dampak PHK.
“Industri ojol berfungsi sebagai semacam katup pengaman bagi kondisi ketenagakerjaan. Harus diakui, hal ini memang membuat posisi tawar driver menjadi lebih lemah,” tutur Awalil.
Ketua SPAI, Lily Pujiati, sebelumnya telah menyampaikan tuntutan agar para mitra pengemudi ojol diakui sebagai pekerja tetap. Menurutnya, sejak awal para pengemudi tidak memiliki fleksibilitas yang sesungguhnya, karena mereka harus bekerja lebih dari 8 jam sehari demi mencapai target pendapatan yang layak. Status kemitraan juga dianggap sebagai strategi yang digunakan oleh aplikator untuk menghindari tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak pekerja, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Kami menuntut adanya upah satuan waktu, yang disebut sebagai upah minimum. Jadi, waktu tunggu kami, waktu istirahat kami, serta hak cuti haid-melahirkan kami, harus dihargai,” kata Lily melalui pesan singkat kepada Tempo, Senin, 19 Mei 2025.
Government Relations Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, menyatakan bahwa status kemitraan merupakan opsi yang paling realistis dan relevan. Sistem ini memungkinkan aplikator untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar.
“Ketika status menjadi formal (menjadi pekerja tetap), akan ada (biaya) operasional yang bertambah. Ada upah minimum yang perlu diatur oleh perusahaan,” kata Rafi dalam sebuah forum diskusi di Jakarta pada Senin, 19 Mei 2025.
Pilihan Editor: Cadangan Devisa Menipis. Apa Risikonya Bagi Rupiah?