Mulai dari Taylor Swift, Beyoncé, Lady Gaga, hingga para bintang film dari franchise superhero kesayangan anak-anak, The Avengers, setidaknya ada sekitar tiga puluh selebritas papan atas yang memberikan dukungan penuh kepada tim pemenangan Kamala Harris dan Tim Walz dalam pemilihan presiden AS tahun lalu.
Kumpulan nama-nama besar ini menjadikan kampanye tersebut sebagai salah satu kampanye politik dengan dukungan selebritas terbanyak dalam sejarah politik Amerika Serikat.
Endorsement atau dukungan politik memang telah menjadi strategi penting yang digunakan oleh tim petahana dari kubu Demokrat, bahkan sejak sebelum Joe Biden mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden.
Saat itu, media arus utama tampak lebih fokus menyoroti kecenderungan politik Taylor Swift yang mendukung Partai Demokrat daripada membahas figur personal Joe Biden.
Sementara itu, Donald J. Trump—yang sudah memiliki popularitas—tampaknya tidak terlalu membutuhkan dukungan dari banyak selebritas untuk menarik perhatian publik dan memenangkan kembali pencalonannya.
Trump mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh publik pria yang cenderung memiliki basis penggemar tertentu, seperti Elon Musk, pegulat Hulk Hogan, YouTuber dan petinju Jake Paul, serta aktor-aktor senior seperti Mel Gibson dan Jon Voight.
Pada dasarnya, keterlibatan selebritas dalam advokasi politik praktis bukanlah fenomena baru.
Sejak dulu, bintang-bintang ternama telah turut mewarnai sejarah politik Amerika Serikat, baik sebagai tim di balik layar maupun sebagai juru bicara di atas panggung yang berusaha memenangkan hati masyarakat secara langsung.
Tren ini dapat ditelusuri hingga satu abad yang lalu—tepatnya pada momen pemilihan presiden AS tahun 1920 yang melibatkan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden dari kubu Republikan, Warren G. Harding dan Calvin Coolidge.
Aktor dan penyanyi paling populer di Broadway dan industri perfilman Hollywood pada masa itu, Al Jolson, mengajak 70 rekan aktornya naik kereta dari Chicago dan New York ke Ohio, tempat asal Harding. Mereka mengadakan parade meriah dari stasiun dengan iringan marching band bernuansa musik jazz menuju rumah Harding.
Rombongan Jolson dilaporkan menyanyikan lagu ciptaan sang artis berjudul Harding, You’re The Man For Us. Liriknya memuji Harding sebagai “pria yang akan membuat Gedung Putih bersinar terang bagaikan mercusuar”.
Pemilu tahun itu pun dimenangkan dengan telak oleh tim Harding.
Ada juga atlet baseball Babe Ruth (1895-1948) yang pernah menjadi sorotan karena dukungan politiknya.
Pada masa kampanye pemilihan presiden 1928, Ruth menolak ajakan berfoto dari kandidat presiden dari Republikan, Hebert Hoover, karena dia mendukung kandidat Demokrat, Al Smith.
Namun, Ruth kemudian mengeluarkan pernyataan tentang sikap politiknya dan menyebut insiden penolakan foto bersama tersebut sebagai “sebuah kesalahpahaman”.
Ruth sendiri bisa dikatakan sebagai atlet Amerika pertama, dengan tingkat ketenaran setara selebritas top, yang diketahui memanfaatkan popularitasnya untuk mendukung kandidat presiden dalam pemilihan presiden.
- Ms. Rachel, Anak-Anak Gaza, dan Cinta yang Menembus Zona Konflik
- Taylor Swift Tak Kehilangan Followers Usai Dukung Kamala Harris
Mark Harvey, penulis buku Celebrity Influence: Politics, Persuasion, and Issue-Based Advocacy (2017) mengatakan bahwa advokasi politik yang datang langsung dari selebritas sebelum dekade 1960-an dan 1970-an adalah hal yang jarang terjadi.
Selebritas baru berani mengambil risiko dalam endorsement politik setelah gerakan kebebasan sipil March on Washington for Jobs and Freedom yang dipimpin oleh Martin Luther King, Jr. berlangsung di Washington DC pada 1963.
Demikian Harvey menjelaskan dalam wawancara NPR beberapa waktu lalu.
Pasalnya, hingga saat itu, sebagian besar aktor memiliki klausul moral dalam kontrak kerja yang mencegah mereka untuk membuat pernyataan yang berpotensi memecah belah suara publik secara politis.
Pengecualian terhadap klausul tersebut hanya dipegang oleh Frank Sinatra.
Aktor dan penyanyi legendaris tersebut dipandang memiliki nama yang terlalu terkenal untuk mendapatkan konsekuensi atas pernyataan sikap politik yang dapat berpotensi mengakhiri karier selebritas-selebritas lain pada masa itu.
Selama setengah abad, Sinatra menjadi sosok penting dalam kampanye-kampanye politik tokoh Partai Demokrat, dari Franklin D. Roosevelt sampai John F. Kennedy, dan Ronald Reagan dari Republikan.
Hubungan Sinatra dengan tokoh-tokoh politik ini dapat ditarik mundur sejak 1944, ketika ia mendukung pemenangan kembali Roosevelt.
Pelantun lagu My Way ini ikut berkampanye untuk pencalonan Harry S. Truman pada 1948 dan Adlai Stevenson pada 1956, yang semuanya mengalami kekalahan.
Kemesraan ini tidak berlanjut pada masa kepresidenan John F. Kennedy. Tepatnya pada 1962, pihak Kennedy memutuskan untuk menjaga jarak dari Sinatra karena adanya kekhawatiran bahwa sang penyanyi memiliki asosiasi dengan Mafia.
Sinatra lantas mengalihkan dukungannya kepada tokoh-tokoh Republikan, Richard Nixon dan Ronald Reagan. Pada 1980, Sinatra dilaporkan memberikan donasi sebesar empat juta dolar untuk kampanye Reagan.
Runtuhnya sistem studio di industri Hollywood pada dekade 1970-an kelak memberikan artis lebih banyak keleluasaan untuk menunjukkan sikap politik.
Selebritas mulai melakukan advokasi yang bisa dibilang revolusioner pada masanya.
Alih-alih membatasi ruang gerak dengan dukungan terhadap tokoh politik dari kubu Republik atau Demokrat, mereka mulai lebih vokal dalam aktivisme terkait isu sosial dan kemanusiaan.
Aktris senior Jane Fonda (87) misalnya, dikenal sebagai salah satu bintang Hollywood pertama yang vokal menentang perang Amerika di Vietnam (1955-1975).
Perempuan yang mengoleksi sederet penghargaan bergengsi dari Academy Award itu terjun ke dalam gerakan aktivisme untuk membela hak-hak sipil penduduk asli Amerika, menyuarakan krisis lingkungan, mengangkat diskriminasi gender dalam film-film produksinya, hingga mendatangi Vietnam Utara untuk memohon gencatan senjata kepada pasukan militer.
Melansir New York Times, aktivisme yang digaungkan selebritas mulai menguat seiring tingkat kepercayaan publik Amerika terhadap politisi dan institusi politik merosot.
Pew Research Center menunjukkan, pada 1958, tiga perempat publik Amerika percaya pada pemerintah. Dua dekade kemudian, angkanya merosot jadi seperempat saja.
Era kejayaan selebritas dalam panggung politik dimulai ketika aktor Hollywood Ronald Reagan terpilih sebagai presiden ke-40 Amerika, menjadikannya presiden-selebritas pertama AS.
Selama kampanye, Reagan bahkan memanfaatkan statusnya sebagai “pendatang dari luar politik” untuk meraih simpati publik.
Mulai dari situlah, garis pembatas antara dunia hiburan artis dan jagat politik menjadi semakin kabur.
Kini, kita dapat menyaksikan bagaimana bintang film hingga musisi dengan percaya diri mencalonkan diri untuk jabatan publik dan menang—sebut salah satunya aktor laga Arnold Schwarzenegger.
Sebaliknya, politisi mulai menjadi bagian dari budaya pop dan sering tampil di televisi.
Bersamaan dengan itu semua, semakin banyak musisi, atlet, influencer, dan komedian yang tidak segan-segan menyuarakan isu kebijakan publik, keamanan vaksin, hingga mengeluhkan harga barang pokok yang mahal.
Sebagaimana disampaikan Daniel Drezner, dosen politik internasional di Fletcher School of Law and Diplomacy, Tufts University pada New York Times pada 2020 silam, “Alih-alih gerakan sosial yang menarik selebritas masuk ke pusarannya, selebritaslah yang memutuskan bahwa mereka memiliki cakupan kebijakan sendiri yang ingin mereka perjuangkan.”
Pada akhirnya, suara selebritas tentang isu-isu publik dan sosial, yang pada tahap tertentu pasti beririsan dengan ranah politik, semakin jamak dan lazim ditemui—terlebih pada era digital yang memungkinkan setiap orang mempunyai platform untuk berbicara.
- Chappell Roan, Taylor Swift, dan Peran Selebritas dalam Politik
- Olimpiade Bukan Sekadar Arena Kompetisi, Ia Juga Panggung Politik