Tragis! Pelaut Belanda Dibuang dan Tewas di Pulau Terpencil Akibat Tuduhan Homoseksualitas

Avatar photo

- Penulis

Senin, 19 Mei 2025 - 02:05 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menurut Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, dan Interseks Internasional (ILGA), saat ini terdapat 64 negara di seluruh dunia yang masih memberlakukan kriminalisasi terhadap hubungan seksual sesama jenis, dengan ancaman hukuman mulai dari kurungan penjara hingga vonis mati.

Namun, pada periode-periode sebelumnya dalam sejarah, hukuman yang diterapkan seringkali jauh lebih kejam dan mengerikan.

Salah satu kisah yang luar biasa dari abad ke-18 adalah tentang seorang warga Belanda yang diasingkan ke sebuah pulau terpencil akibat tuduhan melakukan hubungan sesama jenis. Kisah ini hampir sepenuhnya terlupakan sampai akhirnya ditemukan kembali oleh dua orang sejarawan.

Tiga abad silam, Leendert Hasenbosch, menuliskan kata-kata berikut setelah ditelantarkan di Pulau Ascension, sebuah pos vulkanik terpencil di tengah Samudra Atlantik—berjarak sekitar 1.540 kilometer dari pesisir Afrika dan 2.300 kilometer dari Amerika Selatan:

“Sabtu, 5 Mei 1725. Atas perintah Komandan dan Kapten Armada Belanda, saya, Leendert Hasenbosch, diturunkan di pulau sunyi ini untuk menanggung penderitaan yang tak terhingga.”

Dengan catatan harian pertamanya itu, Hasenbosch memulai episode terakhir dalam kehidupannya—sebuah narasi yang akan terkubur selama berabad-abad sebelum akhirnya ditemukan kembali.

Pada abad ke-18, cerita mengenai orang-orang yang terdampar di pulau terpencil sangat populer.

Hanya beberapa tahun sebelum kejadian ini, novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, yang diinspirasi oleh kisah nyata, telah memikat perhatian banyak pembaca.

Akan tetapi, takdir yang dialami Hasenbosch sangat unik.

Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Elwin Hofman, Hasenbosch sengaja ditinggalkan di pulau tersebut, dan dihukum atas tuduhan “sodomi”—istilah pada masa itu untuk tindakan hubungan seksual sesama jenis.

Pelaut yang Terdampar

Kisah mengenai Hasenbosch pertama kali mencuat pada Januari 1726, ketika sekelompok pelaut Inggris berlabuh di Pulau Ascension dan menemukan sebuah tenda darurat.

Di dalam tenda itu, mereka menemukan sebuah buku harian, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan penulisnya.

Buku harian itu dibawa ke Inggris, diterjemahkan, dan diterbitkan dalam beberapa edisi sensasional dengan judul Sodomy Punished.

Meskipun publikasi tersebut memuat fragmen dari penderitaan berat yang dialami Hasenbosch, pihak penerbit menghilangkan namanya, menjadikannya sosok anonim dalam imajinasi publik.

Leendert Hasenbosch lahir sekitar tahun 1695 di Den Haag, sebagai putra tunggal dari Johannes Hasenbosch dan Maria van Bergende.

Setelah ibunya meninggal, ayahnya membawa keluarganya pindah ke Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta.

Pada usia 18 tahun, ia bergabung dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan memulai kariernya sebagai seorang prajurit. Ia kemudian dipromosikan menjadi akuntan yang terpercaya.

VOC, yang sering disebut sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, memiliki kekuatan perdagangan yang sangat besar di seluruh Asia, meskipun kondisi kerja bagi para pekerjanya sangat keras.

Selama hampir satu dekade, Hasenbosch bertugas di pos-pos terdepan VOC di Batavia dan Cochin (sekarang dikenal sebagai Kochi, India).

Kemudian, pada Oktober 1724, karena alasan yang tidak diketahui, ia berlayar kembali ke Belanda—sebuah perjalanan pulang yang tidak pernah berhasil ia selesaikan.

Daging Penyu, Darah, dan Urine

Pada suatu waktu selama pelayaran, Hasenbosch dituduh melakukan sodomi—yang pada masa itu dianggap sebagai salah satu dosa paling berat.

Baca Juga :  Arya Saloka dan Putri Anne Resmi Bercerai Hari Ini: Sidang Perdana Selesai

VOC biasanya menghukum pelaku dengan hukuman mati, namun dalam kasus ini, hukumannya adalah pengasingan.

Pada tanggal 5 Mei 1725, Hasenbosch ditinggalkan seorang diri di Pulau Ascension hanya dengan membawa tenda, Alkitab, beberapa benih tanaman, dan sebuah tong air yang hampir kosong.

Selama bulan-bulan berikutnya, ia mencari sumber air tawar di pulau yang tandus itu sambil berdoa memohon pertolongan.

Kesendiriannya menjadi semakin tak tertahankan.

Ia berusaha menjinakkan seekor burung untuk dijadikan teman, namun burung itu mati.

Dia menanam bawang, kacang polong, dan calavances (sejenis kacang-kacangan), namun karena tanahnya tidak subur, usahanya tidak membuahkan hasil.

Pada bulan Juni, Hasenbosch mulai berhalusinasi. Ia dihantui oleh rasa bersalah dan mengalami penglihatan.

Salah satu roh, tulisnya dalam buku harian, adalah “seorang pria yang pernah saya kenal dan tinggal bersama saya selama beberapa waktu.”

  • Alegra Wolter: Dokter transpuan pertama di Indonesia yang terbuka dengan identitas gendernya – ‘Mereka belum pernah lihat ada transgender lulus pendidikan dokter’
  • ‘Transpuan dilarang bernyanyi’ – Surat edaran bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan ‘amnesia budaya’

Apakah kutipan itu benar-benar berasal dari tulisannya atau merupakan tambahan dari editor Inggris yang ingin menambahkan unsur drama, masih belum dapat dipastikan.

Satu-satunya sumber air di pulau itu, yang dikenal sebagai Dampier’s Drip, semakin mengering dan kondisi fisik Hasenbosch semakin melemah.

Hasenbosch juga tidak berhasil menangkap kambing, dan tikus-tikus di pulau itu menjarah hasil panennya yang sangat sedikit.

Dalam buku hariannya, ia menulis bahwa dia terpaksa melakukan tindakan nekat: “Pada tanggal 22 Agustus, saya menangkap seekor penyu besar. Saya meminum hampir seperempat galon darah penyu itu… Saya meminum urine saya sendiri”.

Pada bulan Oktober, ia hampir mati karena hanya mengandalkan daging penyu, darah, dan urine.

Catatan harian terakhirnya tertanggal 14 Oktober 1725, sangat singkat dan penuh tanda tanya:

“Saya hidup seperti sebelumnya”.

Mengungkap Sejarah

Selama lebih dari dua abad, kisah Hasenbosch hampir sepenuhnya terlupakan.

Publikasi dari Inggris berjudul Sodomy Punished (1726) atau An Authentic Relation (1728) memuat sebagian dari penderitaannya, namun menghilangkan identitasnya.

Pada tahun 1990-an, sejarawan Belanda Michiel Koolbergen menemukan buklet langka berbahasa Inggris berjudul An Authentic Relation di Museum Maritim Amsterdam.

Buku itu menceritakan kisah seorang ‘Robinson Crusoe’ dari Belanda yang terdampar karena tuduhan kejahatan sodomi.

Karena penasaran, ia menyelidiki arsip VOC dan menemukan nama Hasenbosch.

Sebuah catatan mengerikan dalam dokumen gaji VOC mengonfirmasi nasib Hasenbosch:

“Pada tanggal 17 April 1725, di Prattenburg, ia dijatuhi hukuman untuk diturunkan—sebagai seorang penjahat—di Pulau Ascension atau di tempat lain, dengan menyita gaji yang belum dibayarkan.”

  • Tujuh orang yang mengubah sejarah LGBT
  • ‘Kami akan sembuhkan kamu dari penyimpangan ini’ – Pengakuan transpuan yang diperdaya mengikuti terapi konversi di Siberia

Koolbergen menerbitkan temuannya pada tahun 2002, dengan buku berjudul Een Hollandse Robinson Crusoe, namun ia meninggal dunia karena kanker tak lama setelah buku itu diterbitkan.

Baca Juga :  Misa Requiem Paus Fransiskus Dipimpin Duta Besar Vatikan di Katedral Jakarta

Tiga tahun kemudian, sejarawan dan penulis Alex Ritsema menemukan karya Koolbergen di sebuah perpustakaan di Deventer.

Sebagai seorang kolektor sejarah pulau-pulau, Ritsema sangat tertarik dan pada tahun 2011, ia menerbitkan buku berjudul A Dutch Castaway on Ascension Island, yang menceritakan kisah Hasenbosch yang telah lama terkubur kepada para pembaca berbahasa Inggris.

Ia mendedikasikan bukunya untuk “dua pria Belanda yang meninggal terlalu cepat, Hasenbosch dan Michiel”.

Alex Ritsema juga meninggal dunia karena kanker pada tahun 2022.

Saat ini, Hasenbosch, Koolbergen, dan Ritsema terhubung dalam rentang abad—tiga pria Belanda yang hidupnya saling terkait dalam upaya untuk memastikan bahwa kisah Leendert Hasenbosch tidak akan hilang dari sejarah.

‘Tak Lagi Terlihat’

Penderitaan berat yang dialami Hasenbosch mungkin terasa jauh, namun kekuatan di balik penganiayaannya masih terasa dekat.

Sejarawan Elwin Hofman menjelaskan bahwa di Belanda abad ke-18, sodomi seringkali diabaikan atau ditoleransi secara diam-diam, hingga “krisis maskulinitas” yang dirasakan setelah kekalahan militer memicu gelombang penuntutan yang brutal.

Kaum yang dituduh melakukan sodomi menjadi kambing hitam atas kemerosotan masyarakat.

“Di Belanda, pada abad ke-18, ada banyak kemunduran dan solusinya adalah menuntut kaum sodomi dengan lebih keras,” ujar Hofman.

“Itulah sesuatu yang harus kita waspadai saat ini, di masa krisis, ada risiko kita mencoba memulihkan maskulinitas dengan menghukum kaum queer dengan lebih keras.”

Hanya lima tahun setelah kematian Hasenbosch, Pengadilan Sodomi Utrecht mengadili 300 orang.

Banyak di antara mereka dieksekusi di depan umum—dengan hukuman mulai dari dibakar di tiang pancang hingga dicekik—sampai akhirnya hukuman tersebut dihapuskan pada tahun 1803.

Saat ini, gaung dari praktik “kambing hitam” itu terlihat dalam undang-undang anti-LGBTQ+ yang semakin menguat di negara-negara seperti Rusia, Uganda, dan Polandia, yang seringkali dibingkai atas nama perlindungan terhadap “nilai-nilai tradisional”.

Di Amerika Serikat, sejak Presiden Donald Trump terpilih kembali, ia telah menandatangani perintah eksekutif yang menurut para kritikus akan membatasi hak-hak LGBTQ+ di negara tersebut.

Dua perintah eksekutif yang dicabut Trump mencakup arahan yang ditujukan untuk mencegah diskriminasi berdasarkan identitas gender atau orientasi seksual.

Trump juga menandatangani perintah eksekutif yang mengakui hanya ada dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, dan menyatakan bahwa keduanya tidak bisa diubah.

Undang-undang semacam itu telah lama berkontribusi pada penghapusan orang-orang LGBTQ+ dari sejarah, mengubah kehidupan nyata mereka menjadi kisah-kisah mengerikan, menurut Julia Ehrt, direktur eksekutif International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans dan Intersex Association.

Namun, dia mengatakan: “Kami selalu ada di sini… dorongan untuk mengecualikan orang-orang LGBTI dari masyarakat yang ‘terhormat’ ini mungkin masih ada seperti sebelumnya, hingga kami tidak akan terlihat lagi.”

  • ‘Transpuan dilarang bernyanyi’ – Surat edaran bupati Gorontalo dinilai diskriminatif dan ‘amnesia budaya’
  • Mengenang Muhsin Hendricks, ‘imam pertama di dunia yang mengaku gay’
  • Mengapa Thailand lebih ramah terhadap kelompok LGBT dibanding negara-negara lain di Asia?

Berita Terkait

Luna Maya, Maxime Bouttier, & Gugatan Atalarik: 5 Berita Selebriti Terpanas Hari Ini
Terungkap: Sejarah dan Fakta Unik Lapangan Santo Petrus Saat Inaugurasi Paus
Tanggapan Luna Maya soal Ijab Kabul Maxime Bouttier yang Dianggap Tidak Sah
Intip Prosesi Liturgi Pelantikan Paus Leo XIV: Sakral dan Megah!
Meriahnya Pelantikan Paus Leo XIV: Kilas Balik Sejarah
Terlibat Sengketa Tanah, Atalarik Syach Tertawa Disebut Kena Karma Tsania Marwa
Atalarik Syah Menang! Sengketa Tanah Selesai, Bayar Rp850 Juta, Rumah Selamat
Rumah Dibongkar: Atalarik Syah Bersyukur Dapat Azab?

Berita Terkait

Senin, 19 Mei 2025 - 07:56 WIB

Luna Maya, Maxime Bouttier, & Gugatan Atalarik: 5 Berita Selebriti Terpanas Hari Ini

Senin, 19 Mei 2025 - 03:57 WIB

Terungkap: Sejarah dan Fakta Unik Lapangan Santo Petrus Saat Inaugurasi Paus

Senin, 19 Mei 2025 - 02:05 WIB

Tragis! Pelaut Belanda Dibuang dan Tewas di Pulau Terpencil Akibat Tuduhan Homoseksualitas

Minggu, 18 Mei 2025 - 11:35 WIB

Tanggapan Luna Maya soal Ijab Kabul Maxime Bouttier yang Dianggap Tidak Sah

Minggu, 18 Mei 2025 - 01:07 WIB

Intip Prosesi Liturgi Pelantikan Paus Leo XIV: Sakral dan Megah!

Berita Terbaru

technology

Pramugari Naik Pesawat Lebih Dulu? Ini Rahasianya!

Senin, 19 Mei 2025 - 09:36 WIB

health

8 Olahraga Aman & Efektif Turunkan Tekanan Darah Tinggi

Senin, 19 Mei 2025 - 09:12 WIB

Uncategorized

Kardinal Suharyo: Paus Leo XIV Teruskan Jejak Paus Fransiskus

Senin, 19 Mei 2025 - 09:05 WIB