Ragamutama.com, JAKARTA. Aliran investasi asing signifikan terlihat pada saham-saham unggulan sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Apakah langkah serupa patut ditiru oleh investor lokal?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat kenaikan 0,86% pada penutupan perdagangan Kamis (15/5), mencapai level 7.040. Kenaikan ini sebagian besar didorong oleh pembelian saham perbankan oleh investor asing.
Pada hari perdagangan tersebut, investor asing melakukan pembelian bersih mencapai Rp 1,68 triliun di seluruh pasar. Rinciannya, Rp 1,65 triliun di pasar reguler dan Rp 33,92 miliar di pasar negosiasi dan tunai.
Saham-saham blue chip perbankan menjadi incaran utama investor asing. Saham blue chip dikenal sebagai saham perusahaan mapan di pasar modal dengan kapitalisasi pasar besar, mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Harga Mobil Listrik Polytron Murah, Bisakah Mengalahkan BYD yang Terlaris 2025
Di BEI, saham blue chip umumnya tergabung dalam indeks utama seperti LQ45. LQ45 mencakup 45 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar dan likuiditas tinggi.
Beberapa saham LQ45 sektor perbankan yang banyak diburu investor asing antara lain PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dengan net foreign buy sebesar Rp 912,82 miliar. Hal ini mendorong kenaikan harga saham BBRI sebesar 4,40% pada penutupan perdagangan Kamis (15/5), mencapai level Rp 4.270 per saham.
PT Bank Mandiri (BMRI) juga menjadi saham yang banyak dibeli asing, mencatatkan net buy sebesar Rp 494,87 miliar. Kenaikan harga saham BMRI mencapai 5,45%, ditutup pada level Rp 5.325 per saham.
Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) mencatat pembelian asing sebesar Rp 96,61 miliar, dengan kenaikan harga saham 2,97% ke level Rp 4.500. PT Bank Central Asia (BBCA) mencatatkan net buy asing Rp 80,93 miliar, dan harga sahamnya relatif stabil di level Rp 9.275 per saham.
Terakhir, PT Bank Syariah Indonesia (BRIS) mengalami peningkatan 0,35% ke level Rp 2.900, didorong oleh net buy asing sebesar Rp 38,55 miliar.
Achmad Yaki, Head of Online Trading BCA Sekuritas, menilai bahwa masuknya dana asing (foreign inflow) memberikan kontribusi signifikan terhadap penguatan IHSG, terutama karena pembelian bersih mayoritas terjadi di pasar reguler dan mendorong pergerakan saham perbankan.
“Broker memang mencari keuntungan jangka pendek karena harga saham sudah rendah, valuasi bank-bank besar tergolong murah, dan fundamental bank-bank tersebut tetap baik, dengan proyeksi kinerja yang masih tumbuh meskipun cenderung melambat,” jelas Yaki kepada kontan.co.id, Kamis (15/5).
Pelemahan nilai tukar rupiah, suku bunga yang belum turun, serta pelemahan daya beli dan konsumsi masih menjadi tantangan bagi sektor perbankan, yang menyebabkan perlambatan penyaluran kredit dan penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) akibat pengurangan tabungan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Pada kuartal pertama tahun ini, hanya BBCA, BMRI, dan BBNI yang mencatat kenaikan laba bersih, meskipun pertumbuhannya hanya sedikit (single digit).
BBCA menjadi yang terdepan dengan laba bersih Rp 14,1 triliun, tumbuh 9,8% secara tahunan. Pertumbuhan ini didorong oleh pendapatan bunga bersih dan pendapatan non-bunga yang masih solid, masing-masing naik 7,1% dan 8,1% secara tahunan.
Tonton: Industri Nikel Indonesia Ditekan Global, APNI: Market Sudah Paham Kondisi Indonesia
Bank Mandiri mencatatkan kenaikan laba bersih 3,9% yoy menjadi Rp 12,1 triliun, dengan pertumbuhan pendapatan bunga yang relatif kecil sekitar 5,4%.
Laba BBNI tumbuh tipis 1% yoy. Pertumbuhan yang lemah ini disebabkan oleh kontraksi tipis pendapatan non-bunga sebesar 0,5% secara tahunan dan biaya provisi yang belum berkurang.
Meskipun demikian, bank-bank tersebut tetap optimis terhadap kinerja mereka tahun ini, meskipun menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menjelaskan bahwa investor meningkatkan minat risiko (risk appetite) dengan membeli saham berkualitas yang berpotensi memberikan high return investment di tengah kondisi harga saham yang oversold, sehingga mendorong pasar ekuitas global.
“Saham emiten berbasis perbankan merupakan contoh high return investment, karena kinerja fundamentalnya yang solid. Perbankan di Indonesia didukung oleh likuiditas yang kuat meskipun terjadi tightening global liquidity. Sektor perbankan terbukti tangguh dalam menghadapi berbagai goncangan ekonomi global,” jelas Nafan.
Nafan menambahkan bahwa likuiditas yang kuat akan mendukung ekspansi kredit perbankan, yang merupakan peluang sekaligus tantangan.
“Tantangannya adalah kinerja penyaluran kredit yang masih kurang optimal (underwhelming), masih single digit. Namun, jika Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan dan mempertahankan kebijakan pelonggaran moneter, potensi peningkatan (the reduction of forecast effect) akan terbuka lebar,” tambahnya.
Hal ini, menurut Nafan, dapat mendorong ekspansi kredit berkat likuiditas yang memadai.
Sementara itu, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, melihat pembelian bersih asing yang signifikan pada saham perbankan, terutama bank-bank besar, sebagai peluang jangka panjang karena harga yang relatif murah, fundamental yang baik, dan potensi pemulihan seiring dengan perbaikan ekonomi.
“Ke depan, ada peluang pertumbuhan profitabilitas dan kredit bank dengan prospek penurunan suku bunga acuan dan pertumbuhan rasio perbankan. Di sisi lain, tantangan yang masih ada adalah likuiditas yang semakin ketat dan ketidakpastian ekonomi,” jelas Indy.
Indy menilai BBNI, BMRI, dan BBRI masih menarik, dengan target harga masing-masing Rp 5.200, Rp 6.100, dan Rp 5.500. Yaki merekomendasikan BBNI (beli dengan target Rp 6.075), BMRI (beli dengan target Rp 7.250), BBRI (hold dengan target Rp 4.400), dan BBCA (beli untuk perdagangan jangka pendek dengan target Rp 9.700).
Mobil Listrik BYD Makin Laris, Cek Harga Atto Dolphin M6 Seal Denza Sealion Mei 2025