JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Aktor Atalarik Syah menceritakan awal mula permasalahan sengketa lahan yang telah berlangsung sejak tahun 2015.
Luas awal lahan milik Atalarik di wilayah Cibinong adalah 7.300 meter persegi, yang kemudian terbagi menjadi beberapa bagian. Lahan yang menjadi pokok sengketa ini adalah lahan yang
“Tanah ini milik PT Sabta. Saya membeli tanah ini, ada beberapa dokumen yang berhasil saya dapatkan. Saya mengurus surat-suratnya sejak tahun 2000,” ujar Atalarik kepada para wartawan di kediamannya yang terletak di Cibinong, Bogor, pada hari Kamis (15/5/2025).
Proses pengurusan dokumen tanah tersebut, dalam berbagai bentuk, rampung pada tahun 2002. Beberapa di antaranya sudah berupa sertifikat, sementara yang lainnya masih berupa Akta Jual Beli (AJB).
“Setelah itu, saya berniat untuk mengurusnya lebih lanjut, namun ternyata tidak bisa. Ada satu surat yang hilang, namanya surat pelepasan, katanya hilang,” jelasnya.
“Dulu, di tahun 2000, belum ada notaris. Jadi, semua urusan saya percayakan kepada pegawai pemerintah, baik di Kelurahan maupun Kecamatan, untuk mengurus semua ini. Ironisnya, Kelurahan dan Kecamatan juga termasuk dalam pihak yang digugat oleh Dede Tasno,” ungkap Atalarik.
Gugatan dari Dede Tasno baru muncul pada tahun 2015. Atalarik mengaku tidak mengenal penggugat tersebut.
Pihak-pihak yang digugat antara lain Atalarik sendiri, pihak kelurahan, pihak kecamatan, PT Sabta, serta pihak lainnya, yaitu almarhum Bapak Purnomo dan Direktur PT Sabta.
“Menurut penggugat, Dede Tasno merasa telah mengeluarkan sejumlah uang untuk pengelolaan lahan tersebut. Jumlahnya sangat fantastis, tidak masuk akal,” kata Atalarik, yang mulai membangun pagar di lahan tersebut sejak tahun 2003.
“Jumlah yang diklaim itu 3-4 kali lipat lebih besar dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dari harga tanah yang saya beli di sini. Padahal, sejak tahun 2003, saat saya membangun pagar dan rumah, klaim ini tidak pernah diusut,” lanjutnya.
Atalarik mengungkapkan bahwa ia telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada bulan Juni 2024, namun hasilnya tetap kalah.
“Kami mengajukan PK baru sebagai upaya untuk menunda eksekusi, mengingat di lahan ini sudah berdiri sebuah rumah,” ujar Atalarik.
Proses pembongkaran oleh aparat tersebut hanya menyasar sebagian dari rumah Atalarik.