Penyebab dan Dampak: Bobot Saham Indonesia di MSCI Menyusut Drastis

Avatar photo

- Penulis

Kamis, 15 Mei 2025 - 20:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ragamutama.com, JAKARTA. Porsi saham Indonesia dalam berbagai indeks global, termasuk Morgan Stanley Capital International (MSCI) Index, mengalami penurunan. Ironisnya, pertumbuhan jumlah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak sejalan dengan peningkatan representasi saham di indeks tersebut.

Pada periode 2010–2011, bobot saham Indonesia dalam MSCI Asia ex-Japan sempat mencapai angka 5%. Namun, pada tahun 2025 ini, angka tersebut menyusut drastis menjadi sekitar 1% dalam MSCI Asia ex-Japan.

Sebagai perbandingan, pada akhir tahun 2010, jumlah emiten di BEI hanya sekitar 398 perusahaan. Namun, per tanggal 15 Mei 2025, jumlah emiten yang tercatat di BEI telah melonjak menjadi 960 perusahaan.

IHSG Menguat pada Kamis (15/5), Begini Proyeksinya untuk Perdagangan Jumat (16/5)

Menurut pengamat pasar modal, Kartika Sutandi, penyedia indeks global seperti MSCI dan FTSE tidak berfokus pada kuantitas perusahaan yang terdaftar di BEI.

“MSCI tidak akan mempertimbangkan saham-saham dengan kapitalisasi kecil karena likuiditasnya rendah. BEI sebaiknya mendorong perusahaan-perusahaan besar seperti Wings dan ABC untuk melakukan IPO,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (15/5).

Situasi ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah emiten tidak secara otomatis berkorelasi dengan jumlah saham yang masuk ke dalam indeks global. Kartika menekankan perlunya BEI untuk meningkatkan jumlah emiten yang memenuhi syarat untuk masuk indeks global.

Baca Juga :  Catat! Peserta JKN Non-aktif Masih Bisa Cairkan Manfaat Tunjangan PHK (JKP)

“Seharusnya, salah satu KPI (Key Performance Indicator) direksi bursa adalah peningkatan jumlah perusahaan yang terdaftar di indeks global, minimal satu hingga tiga saham per tahun,” tambahnya.

Kartika juga berpendapat bahwa otoritas bursa perlu menyesuaikan diri dengan kriteria yang ditetapkan oleh MSCI. Menurutnya, ini adalah bentuk dukungan otoritas untuk mempromosikan saham-saham Indonesia di pasar global.

IHSG Naik 0,86% ke Level 7.040 pada Kamis (15/5), PGEO, BMRI, BBRI Top Gainers LQ45

Ia menyarankan agar bursa mempertimbangkan untuk menghapus ketentuan papan pemantauan khusus dan Unusual Market Activity (UMA). Sebagai alternatif, saham-saham dengan harga di bawah Rp 50 dapat dikarantina di papan pemantauan khusus.

“Penyedia indeks global lebih mengutamakan market capitalization yang dikalikan dengan free float. BEI sebaiknya mendorong lebih banyak emiten dengan market cap Rp 1.000 triliun,” jelas Kartika.

Kartika memprediksi bahwa PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Bumi Minerals Resources (BRMS), dan PT Aneka Antam Tbk (ANTM) berpotensi besar untuk masuk ke dalam MSCI jika kapitalisasi pasar mereka di atas Rp 3.000 triliun.

Baca Juga :  Spin Off BTN Syariah, Makin Mudah Miliki Rumah Tanpa Riba

Namun, sayangnya, BREN dan CUAN sempat masuk ke papan pemantauan khusus, sehingga MSCI memutuskan untuk menunda memasukkan kedua saham Grup Barito tersebut dalam rebalancing kali ini.

Dalam MSCI Global Standard Index, tidak ada saham Indonesia yang ditambahkan. Namun, terdapat penambahan dua saham dalam MSCI Indonesia Small Cap Index, yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA).

Analis Investasi Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, menjelaskan bahwa masuknya kedua saham tersebut ke dalam indeks MSCI berpotensi menarik minat investor sehingga terjadi net buy terhadap MTEL dan MBMA.

Indy menambahkan bahwa MTEL masih memiliki prospek yang cukup baik seiring dengan permintaan yang stabil untuk kebutuhan menara telekomunikasi oleh para operator yang berencana melakukan ekspansi.

“MBMA juga masih memiliki prospek yang baik seiring dengan permintaan kendaraan listrik dari China yang masih kuat, tetapi investor perlu mewaspadai pergerakan harga komoditas yang masih volatile,” ungkapnya.

Indy merekomendasikan beli MTEL dengan target harga Rp 690 per saham, dan speculative buy untuk MBMA dengan target harga Rp 390.

Berita Terkait

Timor Leste Jadi Pintu Ekspor ke AS? Kadin Bahas Peluang!
Stock Split 15 Juli 2025, Harga Saham Orang Terkaya Indonesia Ini Akan Dipecah 1:10
Bara Makmur Abadi Lepas Saham TOBA: Ada Apa?
Fikih Finance – Berita Terkini
Manulife Prediksi Minat Investor Terhadap Pasar Pendapatan Tetap Asia Meningkat
Pemerintah akan Merilis SBR014, Masih Menarik dengan Perkiraan Kupon 6,35%-6,4%
IHSG Sepekan Menguat 2,65%, Investor Asing Net Sell Rp1,87 Triliun
Wall Street Melemah, S&P 500 Tergelincir Imbas Sentimen Tarif Perdagangan Trump

Berita Terkait

Sabtu, 12 Juli 2025 - 15:53 WIB

Timor Leste Jadi Pintu Ekspor ke AS? Kadin Bahas Peluang!

Sabtu, 12 Juli 2025 - 12:10 WIB

Stock Split 15 Juli 2025, Harga Saham Orang Terkaya Indonesia Ini Akan Dipecah 1:10

Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:52 WIB

Bara Makmur Abadi Lepas Saham TOBA: Ada Apa?

Sabtu, 12 Juli 2025 - 11:41 WIB

Fikih Finance – Berita Terkini

Sabtu, 12 Juli 2025 - 09:23 WIB

Manulife Prediksi Minat Investor Terhadap Pasar Pendapatan Tetap Asia Meningkat

Berita Terbaru

entertainment

Jurassic World: Rebirth Rajai Box Office! 10 Film Terlaris

Sabtu, 12 Jul 2025 - 20:11 WIB

sports

Marquez Ngebut di GP Jerman: Target Kualifikasi Depan!

Sabtu, 12 Jul 2025 - 20:05 WIB

sports

Vietnam Terpukul! FIFA & Indonesia Jadi Sorotan: Ada Apa?

Sabtu, 12 Jul 2025 - 19:58 WIB

Uncategorized

Android 16 Lebih Dulu di Galaxy Z Fold 7 & Flip 7? Ini Bocorannya!

Sabtu, 12 Jul 2025 - 19:23 WIB

Uncategorized

Pelihara Hewan: Alergi & Autoimun Minggat? Ini Faktanya!

Sabtu, 12 Jul 2025 - 19:11 WIB