Ragamutama.com – , Jakarta – Sebuah insiden tragis menimpa sembilan warga sipil dalam ledakan yang terjadi saat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) melaksanakan proses pemusnahan amunisi yang sudah melewati masa pakai (kedaluwarsa) di wilayah Garut, Jawa Barat, pada hari Senin, 12 Mei 2025. Secara keseluruhan, peristiwa tersebut merenggut 13 jiwa, termasuk empat prajurit TNI yang bertugas di Pusat Amunisi III Pusat Peralatan Angkatan Darat.
Keberadaan warga sipil di lokasi pemusnahan amunisi dan peralatan TNI yang sudah tidak terpakai tersebut memunculkan berbagai pertanyaan. Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menegaskan bahwa lokasi pemusnahan amunisi tersebut terletak jauh dari area permukiman warga.
“Area penghancuran amunisi afkir tersebut adalah lahan milik BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kabupaten Garut yang secara rutin digunakan untuk kegiatan pemusnahan amunisi afkir, dan lokasinya sangat jauh dari permukiman penduduk,” jelas Wahyu dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari Senin.
Dalam kesempatan yang berbeda, Wahyu menyampaikan bahwa pihaknya masih berupaya mencari tahu alasan kehadiran warga sipil di lokasi kejadian. Ia menambahkan bahwa penyelidikan mendalam sedang dilakukan oleh tim investigasi dari Angkatan Darat. “Seluruh aspek terkait hal ini menjadi bagian dari substansi yang sedang diselidiki secara seksama. Kami mohon diberikan waktu kepada tim untuk bekerja,” ungkap Wahyu dalam keterangannya pada hari Selasa, 13 Mei 2025.
Warga Diduga Terlibat Sebagai Pekerja Harian dalam Proses Pemusnahan Amunisi TNI
Seorang warga sekitar, Aom, yang berusia 46 tahun, mengungkapkan bahwa empat rekannya menjadi korban dalam insiden ledakan amunisi kedaluwarsa tersebut. Ia menduga bahwa warga yang menjadi korban diminta oleh pihak TNI untuk membantu tim peledakan.
Menurut Aom, warga sipil ini biasanya membantu dalam menyusun amunisi yang sudah tidak layak pakai atau kedaluwarsa untuk kemudian diledakkan. Namun, ia tidak bersedia memberikan rincian lebih lanjut mengenai bentuk bantuan yang diberikan. Ia hanya menyebutkan bahwa kegiatan peledakan semacam ini biasanya dilakukan oleh TNI sebanyak tiga hingga empat kali dalam setahun. “Hari ini saya tidak pergi ke lokasi peledakan karena ada urusan lain,” ujarnya pada Senin, 12 Mei 2025.
Selain memberikan bantuan kepada petugas, Aom juga mengungkapkan bahwa warga seringkali mengambil sisa-sisa bahan amunisi. Bahan-bahan yang dicari oleh warga tersebut antara lain besi dan kuningan untuk dijual kembali kepada pengepul barang bekas. “Kebanyakan yang dikumpulkan itu besi,” jelasnya.
Aom menambahkan bahwa sebelumnya tidak pernah terjadi insiden ledakan yang menyebabkan korban jiwa. Hal ini dikarenakan selama proses pemusnahan, penjagaan dilakukan secara ketat oleh personel TNI.
Di sisi lain, keluarga korban yang meninggal dunia membantah anggapan bahwa anggota keluarga mereka sedang mencari sisa selongsong di lokasi ledakan. “Kakak saya baru kali ini bekerja di lokasi peledakan,” ujar Farid, 33 tahun, adik kandung dari korban bernama Endang Rahmat, saat ditemui di RSUD Pameungpeuk, Garut, pada hari Selasa, 13 Mei 2025.
Menurut Farid, kakaknya mulai bekerja di area peledakan sejak bulan April, setelah perayaan Idul Fitri. Ia bekerja atas ajakan seorang teman dengan status sebagai buruh harian lepas. “Upahnya tidak tahu pasti berapa, katanya ada yang bilang Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu per hari,” tuturnya.
Endang terakhir kali menghubungi keluarganya sehari sebelum peristiwa nahas tersebut terjadi. Dalam percakapan tersebut, ia hanya mengatakan bahwa dirinya sedang bekerja di area peledakan dan menyatakan bahwa keadaannya baik-baik saja. “Kakak saya bekerja serabutan. Alhamdulillah tadi pemerintah akan bertanggung jawab terhadap keluarga,” ujar Farid.
Hal serupa juga diungkapkan oleh keluarga korban atas nama Yus dan Anwar, yang merupakan warga Kecamatan Pameungpeuk. Mereka merasa tidak terima jika kerabat mereka dituduh sebagai pemulung. “Saya meminta pertanggungjawaban. Karena bapak saya di sana bukan seperti yang orang-orang pikirkan. Bapak saya bukan memulung, tapi bekerja sama dengan tentara. Saya tahu itu sejak saya masih sekolah. Bapak saya tidak mungkin menyelonong melawan TNI,” ujar anak perempuan korban sambil menangis.
Novali Panji Nugroho, Sigit Zulmunir, dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Mengapa Sulit Menjerat Ormas yang Menjalankan Bisnis Ilegal