“`html
Ragamutama.com Bali, pulau yang kerap disinggung terkait isu overtourism, menghadapi persepsi bahwa kemacetan dan kepadatan turis telah menggerus daya tariknya yang dulu begitu memesona.
Wacana tentang overtourism terus membayangi reputasi Pulau Dewata. Apakah benar Bali sudah sedemikian padat dan kehilangan daya pikatnya sehingga wisatawan mulai enggan berkunjung?
Namun, para pelaku industri perhotelan, properti, dan pariwisata memiliki pandangan berbeda. Mereka melihat Bali tetap sebagai lahan subur yang menawarkan berbagai peluang menjanjikan.
Lev Kroll, CEO Nuanu Creative City, menegaskan bahwa Bali masih menjadi magnet kuat bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, meskipun tantangan seperti kepadatan dan kemacetan tak dapat disangkal.
Kroll mengakui bahwa kepadatan dan kemacetan adalah realitas yang tak terelakkan di Bali, terutama di area-area populer seperti Denpasar, Kuta, dan Seminyak.
“Kemacetan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan,” ungkapnya, sambil menambahkan bahwa wisatawan tetap berdatangan meski harus menghadapi perjalanan yang mungkin melelahkan.
Lebih lanjut, ia melihat kepadatan, kesesakan, kemacetan, dan fenomena overtourism sebagai potensi, bukan sebagai penghalang.
“Kami menciptakan ruang yang begitu nyaman dan memikat sehingga Anda tidak ingin meninggalkannya. Pendidikan, hiburan, hidangan berkualitas, dan beragam aktivitas seni serta budaya, semuanya tersedia di Nuanu Creative City,” jelas Kroll.
Data yang dikumpulkan oleh Kompas.com mendukung perspektif ini. Pemerintah Provinsi Bali menargetkan kedatangan 6,5 juta wisatawan asing dan 10 juta wisatawan domestik pada tahun 2025.
Target ini didasarkan pada rekam jejak kunjungan wisatawan, terutama domestik, yang menunjukkan tren peningkatan berkelanjutan dalam empat tahun terakhir.
Pada tahun 2021, di tengah pandemi Covid-19, jumlah wisatawan domestik tercatat mencapai 4,3 juta orang. Angka ini melonjak tajam menjadi 8,0 juta wisnus pada tahun berikutnya.
Tren positif ini berlanjut pada tahun 2023, dengan mencapai 9,8 juta wisnus, dan meningkat menjadi 10,2 juta wisnus pada tahun 2024.
Hal serupa juga terjadi pada wisatawan internasional, dengan Australia, Singapura, dan Jepang tetap menjadi penyumbang utama. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) sepanjang tahun 2024 mencapai 6,3 juta orang.
Tren peningkatan juga terlihat pada matriks tingkat penghunian kamar (TPK). Dari hanya 35,32 persen pada tahun 2022, TPK meningkat menjadi 53,05 persen pada tahun 2023, dan mencapai 62,23 persen pada tahun berikutnya.
Hal ini sejalan dengan peningkatan matriks lamanya tamu menginap atau length of stay (LOS) menjadi 2,73 hari, dibandingkan dengan 2,13 hari pada tahun 2022.
Meskipun demikian, fenomena overtourism bukanlah sekadar mitos. Persaingan ketat di kawasan Asia Tenggara, di mana Thailand dan Vietnam menarik lebih banyak wisatawan asing berkualitas tinggi, menjadi ancaman yang perlu diwaspadai.
Vietnam, misalnya, unggul dalam hal keselamatan, keamanan, dan daya saing harga menurut World Economic Forum. Negara ini berhasil menarik lebih banyak wisatawan dari China dan Korea Selatan.
Sementara itu, Thailand tetap menjadi destinasi utama yang memiliki kemiripan dengan Bali, menawarkan atraksi budaya, pantai yang indah, kuliner lezat, keramahan yang hangat, serta hotel-hotel berkualitas dengan harga terjangkau.
Bali menghadapi berbagai tantangan di tahun 2025 ini. Salah satunya adalah maraknya properti berupa vila independen, banyak di antaranya ilegal, yang menawarkan tarif rendah dan mengurangi tingkat okupansi hotel, menciptakan persaingan yang tidak sehat.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menduga penurunan tingkat okupansi hotel pada Kuartal I-2025 disebabkan oleh fenomena banyaknya wisatawan yang memilih menginap di akomodasi ilegal.
Sekretaris Jenderal PHRI Bali, Perry Marcus, mengungkapkan dalam rapat koordinasi di Denpasar pada Senin (29/4/2025) bahwa tingkat hunian hotel di Bali mengalami penurunan menjadi 52,84 persen sejak awal tahun 2025.
“Data yang ada menunjukkan bahwa tingkat hunian memang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kedatangan, terutama turis asing. Setelah kami selidiki, ternyata banyak wisatawan yang menginap di akomodasi ilegal,” jelas Perry.
Kondisi ini mendorong Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatur sektor ini dengan usulan beleid dan regulasi baru, dengan tujuan menciptakan pasar yang lebih adil.
Tantangan ini diperparah oleh penurunan jumlah acara Meeting, Incentives, Convention, and Exhibition (MICE) akibat efisiensi anggaran pemerintah, yang berdampak signifikan pada hotel-hotel yang bergantung pada pasar korporasi.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global memengaruhi daya beli wisatawan, memaksa hotel untuk melakukan diversifikasi pasar guna mengurangi risiko.
Meskipun demikian, Colliers Indonesia memperkirakan kinerja hotel di Bali akan membaik pada Kuartal II-2025, seiring dengan kedatangan wisatawan domestik dan musim liburan di Eropa dan Australia pada bulan Juni 2025 yang akan meningkatkan kedatangan wisatawan asing.
Dominasi pasokan hotel bintang 5 hingga tahun 2027 menunjukkan bahwa pasar internasional masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Bali.
Penambahan dua hotel baru dari IHG Hotels & Resorts di Kuta (dengan 72 kamar, kelas bintang 3) dan Seminyak (162 kamar, kelas bintang 4) meningkatkan total pasokan menjadi 58.822 kamar.
Inovasi Mengatasi Overtourisme
Untuk mengatasi tantangan overtourism dan kemacetan, pengembang seperti Nuanu Creative City dan OXO Group Indonesia menawarkan solusi inovatif yang mengedepankan keberlanjutan, budaya, dan kesejahteraan (wellness).
Nuanu Creative City, yang berlokasi di area seluas 44 hektar di Nyanyi, Tabanan, dirancang sebagai pusat visioner yang hanya mengembangkan 30 persen lahannya untuk menjaga harmoni dengan alam.
Kroll menjelaskan bahwa Nuanu dirancang sebagai “tempat di mana Anda tidak perlu menghadapi kemacetan.”
Dengan fasilitas seperti ProEd Global School, Luna Beach Club, Lumeira Spa, dan jalur pejalan kaki, Nuanu menawarkan ekosistem yang menggabungkan pendidikan, seni, budaya, kesehatan, dan hiburan.
“Kami mengurasi pengalaman yang mencerminkan kekayaan Indonesia sekaligus memenuhi standar internasional,” ujar Kroll.
Nuanu juga berbagi pengetahuan dengan pemerintah tentang transportasi ramah lingkungan, seperti bus dan kendaraan listrik, serta konsep kota cerdas (smart city).
Meskipun Kroll mengakui bahwa pemerintah Indonesia memiliki strategi yang baik, ia meyakini bahwa komunikasi terbuka dan kolaborasi dapat mempercepat solusi untuk masalah overtourism, kepadatan, dan kemacetan.
“Kami tidak memberikan nasihat, tetapi kami senang untuk berbagi data dan pengalaman,” tambahnya.
Sementara itu, OXO Group Indonesia memperkenalkan 24 vila berstatus hak milik (SHM) OXO The Pavillions, yang mengintegrasikan konsep kesejahteraan holistik (wellness living concept).
Dirancang oleh arsitek global Chris Precht, proyek ini berlokasi hanya dua menit dari Nuanu Creative City dan menawarkan vila seluas 170-420 meter persegi dengan fasilitas kebugaran premium.
CEO OXO Group, Johannes Weissenbaeck, menyebutnya sebagai game changer yang mendefinisikan ulang nilai-nilai neo-luxury.
“Kami menciptakan hunian yang membuat Anda merasa lebih baik dan hidup lebih lama,” ujarnya.
Chris Precht menekankan desain yang adaptif terhadap iklim, budaya, dan spiritualitas Bali.
“Arsitektur harus mencerminkan tempat dan waktunya,” katanya.
Dengan ketinggian bangunan maksimal 1,5 lantai, berbeda dari tren 3-4 lantai yang umum di Bali, OXO The Pavilions kembali ke akar budaya Bali, menciptakan hunian yang tahan lama dan ramah lingkungan.
Masih Menarik atau Sudah Jenuh?
Meskipun overtourism dan kemacetan menjadi isu utama, Bali tetap menarik bagi wisatawan dan investor.
Knight Frank menempatkan Bali sebagai salah satu dari 10 destinasi investasi rumah kedua pilihan para individu kaya di seluruh dunia.
Pasar real estat Indonesia diproyeksikan tumbuh dari USD 68,6 miliar pada tahun 2025 menjadi USD 91 miliar pada tahun 2030, dengan CAGR sebesar 5,82 persen, menurut Mordor Intelligence.
Kontribusi PDB sektor properti pada tahun 2022 mencapai Rp 488,31 triliun, yang menegaskan peran penting Bali sebagai pendorong ekonomi nasional.
Dengan demikian, Bali bukanlah destinasi yang kehilangan pesonanya, melainkan sebuah pulau yang sedang berevolusi.
“Kemacetan dan overtourism adalah tantangan yang nyata, tetapi inisiatif, inovasi, dan kreativitas membuktikan bahwa Bali mampu menawarkan pengalaman baru yang selaras dengan budaya, alam, dan keberlanjutan,” pungkas Weissenbaeck.
“`