Rahasia yang biasanya menyelimuti Vatikan perlahan mulai tersibak, memperlihatkan bagaimana 133 kardinal dari berbagai penjuru dunia secara tak terduga menyatukan suara di belakang Robert Francis Prevost, seorang pastor kelahiran Chicago yang kini memegang tampuk kepemimpinan sebagai Paus Leo XIV, demikian laporan dari Axios.
Terpilihnya Prevost sebagai Paus dipengaruhi oleh serangkaian faktor unik: ia dipandang sebagai “orang Amerika yang paling tidak Amerika” di antara jajaran kardinal AS, seorang pengikut setia Paus Fransiskus namun bukan sekadar tiruan, serta dihormati secara luas atas kemampuannya mendengarkan dengan seksama dan keterampilan administratifnya yang tenang. Wawasan ini diungkapkan oleh rekan-rekan kardinal selama konferensi pers yang diadakan pada Jumat, 9 Mei 2025.
Kandidat Amerika yang Muncul Secara Mengejutkan
Sebelum konklaf dimulai, nama Prevost nyaris tak terdengar dalam liputan media dan dianggap bukan unggulan dalam bursa taruhan. Namun, di kalangan kardinal, ia membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam pada hari-hari menjelang konklaf. Timothy Dolan, Uskup Agung New York, mengingat keterkejutannya atas banyaknya kardinal yang menanyakan apakah ia mengenal Prevost. Dolan sendiri mengakui bahwa ia tidak terlalu mengenal Prevost, yang menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di luar Amerika Serikat, terutama sebagai misionaris dan uskup di Peru, di mana ia juga memperoleh kewarganegaraan.
Prevost bahkan tidak termasuk dalam foto bersama para kardinal Amerika yang diambil sebelum konklaf. Secara historis, banyak yang berpendapat bahwa seorang Paus dari Amerika Serikat kecil kemungkinannya untuk terpilih, mengingat dominasi geopolitik AS. Namun, Robert McElroy, Uskup Agung Washington, menekankan bahwa identitas Amerika Prevost “hampir tidak diperhitungkan” dalam diskusi konklaf.
Penerus Fransiskus dengan Gaya Tersendiri
Meskipun Prevost baru diangkat menjadi kardinal pada tahun 2023, Paus Fransiskus dengan cepat mempromosikannya menjadi kardinal-uskup, salah satu tingkatan tertinggi dalam Gereja. Ia dipandang selaras dengan Fransiskus, baik secara pribadi maupun filosofis, namun dengan watak yang lebih moderat dan pendekatan yang tidak terlalu berapi-api dalam menghadapi isu-isu tertentu. Keseimbangan ini menjadikannya kandidat ideal untuk melanjutkan warisan Fransiskus tanpa menjadi salinan langsung, sehingga menarik bagi para kardinal yang memiliki keraguan terhadap paus sebelumnya.
McElroy merangkum sentimen di antara para pemilih: mereka menginginkan sosok yang akan mengikuti jejak Fransiskus, tetapi tidak sekadar meniru dirinya.
Pemimpin yang Cakap dan Pendengar yang Baik
Fransiskus menunjuk Prevost untuk memimpin departemen Kuria yang berpengaruh dan bertanggung jawab atas pengangkatan uskup, yang mempertemukannya dengan para pemimpin gereja senior yang kemudian mendukung pencalonannya sebagai Paus. Dolan menuturkan bahwa salah satu hal pertama yang ia ketahui tentang Prevost adalah kemampuannya untuk “menyelenggarakan rapat yang efektif,” sebuah keterampilan yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Beberapa kardinal memuji kemampuan mendengarkan dan efektivitas administratif Prevost. Kardinal Wilton Gregory menyampaikan bahwa Prevost tidak memberikan pidato-pidato dramatis untuk memengaruhi konklaf, melainkan terlibat secara bermakna dalam diskusi kelompok yang lebih kecil, yang terbukti sangat berpengaruh.
Langkah Cepat Menuju Konsensus
Meskipun konklaf tetap merahasiakan proses internalnya, jelas bahwa Prevost memperoleh momentum yang signifikan selama putaran pemungutan suara di hari kedua. McElroy menggambarkan “pergerakan besar” dalam konklaf yang tampaknya dipandu secara ilahi menuju konsensus, yang awalnya ia perkirakan akan memakan waktu lebih lama.
Kemunculan asap putih yang cepat memicu spekulasi bahwa Pietro Parolin, wakil Fransiskus dan favorit dalam bursa taruhan, telah menang. Namun, media Italia melaporkan bahwa Parolin, meskipun memimpin di awal, mengundurkan diri ketika jelas bahwa ia tidak dapat mengamankan dua pertiga suara mayoritas yang dibutuhkan.
Faktor-faktor Kunci dalam Terpilihnya Leo XIV
Dolan, yang duduk di belakang Prevost selama penghitungan suara, menyaksikan saat nama Prevost berulang kali disebut dan dengan tenang menundukkan kepalanya. Ketika Prevost mencapai 89 suara yang diperlukan, Kapel Sistina bergema dengan tepuk tangan meriah.
Sesuai tradisi, Parolin, sebagai pemilih kardinal senior, menanyakan kepada Prevost apakah ia menerima jabatan kepausan. Prevost menjawab dengan singkat, “Saya terima.” Ketika ditanya nama apa yang ingin ia gunakan, ia terdiam sejenak sebelum memilih “Leo.”
Berikut adalah faktor-faktor kunci yang melatarbelakangi terpilihnya Robert Prevost sebagai Paus Leo XIV:
- Profilnya sebagai kandidat yang menjanjikan keberlanjutan dengan temperamen moderat: Prevost dipandang sebagai sekutu dekat Paus Fransiskus, baik dalam pandangan pribadi maupun filosofis, namun dengan gaya yang lebih moderat dan tidak terlalu konfrontatif. Hal ini menjadikannya pilihan yang dapat diterima oleh para kardinal yang ingin melanjutkan warisan Fransiskus tanpa memilih seorang penerus yang identik.
- Kepemimpinan yang efektif dan keterampilan administratif yang mumpuni: Prevost dikenal karena kemampuannya memimpin rapat dengan baik, mendengarkan dengan seksama, dan mengelola urusan gereja secara efisien. Sebagai kepala departemen Vatikan yang bertanggung jawab untuk mengangkat uskup, ia memperoleh rasa hormat di antara para tokoh gereja senior, yang membantu membangun dukungan dalam konklaf.
- Latar belakang misionaris dan pengalaman global yang luas: Setelah menghabiskan lebih dari dua dekade sebagai misionaris dan uskup di Peru, Prevost membawa pengalaman pastoral langsung dan pemahaman mendalam tentang kebutuhan Global South, wilayah yang semakin penting bagi Gereja. Pengalaman internasional ini kemungkinan besar memperluas daya tariknya di luar identitasnya sebagai seorang Amerika.
- Pencalonannya yang relatif tidak menonjol dan mengejutkan: Prevost awalnya merupakan kandidat “siluman”, kurang disukai oleh media atau pasar taruhan, yang mungkin menguntungkannya dengan memungkinkan para kardinal untuk mempertimbangkannya tanpa prasangka.
- Keinginan konklaf untuk persatuan dan konsensus: Momentum bergeser dengan kuat mendukung Prevost selama hari kedua pemungutan suara, dengan para kardinal mencari kandidat yang dapat menyatukan Gereja di tengah ketidakstabilan geopolitik dan perpecahan internal. Terpilihnya Prevost setelah hanya empat putaran pemungutan suara mencerminkan konsensus yang cepat yang didorong oleh apa yang digambarkan oleh beberapa orang sebagai “rahmat Tuhan”.
- Kewarganegaraan Amerika Serikatnya ternyata tidak terlalu menjadi pertimbangan utama: Meskipun ia adalah paus Amerika pertama, kewarganegaraannya bukanlah faktor penentu dalam musyawarah konklaf, sebagian karena AS telah menjadi negara adidaya secara geopolitik dan sebagian lagi karena identitas Prevost lebih banyak dibentuk oleh pekerjaan misionarisnya di luar negeri.
Pilihan Editor: Mengenal Vatikan, Negara Terkecil di Dunia dan Pusat Gereja Katolik