Ragamutama.com – , Jakarta – Program pendidikan karakter berorientasi militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bagi para siswa yang memerlukan pembinaan khusus, mulai diterapkan sejak Kamis, 1 Mei 2025. Purwakarta dan Bandung menjadi wilayah percontohan dalam implementasi program ini, yang melibatkan kolaborasi antara TNI dan Polri untuk membentuk karakter siswa.
Pilihan editor: Disiplin Militer untuk Siswa Nakal ala Dedi Mulyadi. Tepatkah?
Sedikitnya 69 siswa telah ditempatkan di lingkungan militer. Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa program ini menyasar siswa mulai dari jenjang sekolah menengah pertama dengan kriteria tertentu.
Secara spesifik, siswa yang diikutsertakan adalah mereka yang menunjukkan kecenderungan perilaku mengarah pada tindakan kriminal dan yang sudah tidak mampu lagi dididik oleh orang tua mereka.
“Intinya, siswa yang diserahkan adalah mereka yang sudah tidak mampu atau tidak bersedia lagi dididik oleh orang tua di rumah. Kami tidak akan menerima siswa tanpa persetujuan orang tua,” tegasnya usai memimpin upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tingkat Provinsi Jawa Barat di Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Dedi menambahkan bahwa surat edaran telah dikirimkan ke seluruh sekolah di Jawa Barat untuk menginformasikan mengenai pelaksanaan program pendidikan dengan pendekatan militer ini. “Surat edaran sudah disampaikan ke sekolah-sekolah sejak dua hari lalu,” ujarnya.
Pria yang kini dikenal dengan sapaan KDM tersebut menjelaskan bahwa siswa dari Purwakarta ditempatkan di barak milik Resimen 1 Sthira Yudha/Kostrad, sementara siswa dari Bandung ditempatkan di Rindam III/Siliwangi.
Dedi Mulyadi berharap program ini dapat mengubah perilaku siswa melalui penekanan pada kedisiplinan. Jadwal harian siswa meliputi tidur pukul delapan malam dan bangun pukul empat pagi, diikuti dengan membersihkan tempat tidur dan toilet.
Selanjutnya, siswa muslim melaksanakan salat subuh, diikuti dengan olahraga, sarapan, dan kemudian mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan guru yang berasal dari sekolah-sekolah di sekitar.
Pada pukul satu siang, siswa beristirahat dan kemudian mengikuti pendidikan keterampilan seperti pertanian, perkebunan, elektro, atau otomotif. “Asupan gizi terpenuhi, istirahat cukup, olahraga teratur, dan sistem pembelajaran di sekolah tetap berjalan. Mereka tetap belajar seperti biasa, hanya saja gurunya yang mengajar di barak,” jelas Dedi.
Dedi Mulyadi menambahkan bahwa siswa akan ditempatkan di lingkungan militer maksimal selama satu tahun. Selama masa pembinaan, siswa akan menginap di barak. Namun, durasi pembinaan dapat disesuaikan, bahkan mungkin hanya tiga hari, tergantung pada perkembangan individu siswa.
“Durasi pembinaan akan disesuaikan dengan perkembangan masing-masing siswa. Ada yang mungkin sudah menunjukkan perubahan positif dalam sebulan, ada pula yang hanya butuh tiga hari. Semuanya tergantung pada kondisi dan kemajuan siswa,” katanya.
Komnas HAM: Rencana Dedi Mulyadi Menempatkan Anak Nakal di Barak TNI Tidak Tepat
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Atnike Nova Sigiro, menanggapi rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirimkan anak-anak yang bermasalah ke barak TNI. Atnike berharap agar Dedi mempertimbangkan kembali wacana tersebut.
“Edukasi dan civic education bukanlah kewenangan TNI,” kata Atnike saat ditemui usai sebuah acara di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Mei 2025.
Menurut Atnike, tidak ada masalah jika anak-anak mengunjungi barak untuk mendapatkan pemahaman mengenai profesi tentara. Namun, jika rencana tersebut diwujudkan dalam bentuk pendidikan militer, maka hal itu dianggap tidak tepat.
“Tidak tepat jika hal itu dilakukan sebagai hukuman. Itu adalah proses di luar jalur hukum, kecuali jika berdasarkan hukum pidana atau hukum pidana anak di bawah umur,” tegasnya.
Wamendagri Bima Arya Merekomendasikan Keterlibatan Para Ahli
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, menekankan pentingnya melibatkan para pakar dan ahli di bidangnya dalam menangani anak-anak bermasalah melalui program pendidikan ala militer.
“Saya menyarankan agar program ini disiapkan dan dikonsepkan dengan cermat, serta melibatkan para pakar, pemerhati keluarga, ahli ilmu keluarga, psikolog, dan tentunya keluarga dari anak-anak tersebut,” ujar Bima di Balai Kota Malang, Jawa Timur, Jumat, 2 Mei 2025, seperti dilansir Antara.
Bima menambahkan bahwa meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk pendidikan, pengkajian mendalam terhadap konsep pelaksanaannya tetap diperlukan.
“Perlu diingat bahwa mendidik tidak hanya tentang melatih kedisiplinan, tetapi juga melibatkan aspek psikologis dan kepribadian yang perlu diperhatikan,” tuturnya.
Pola pendidikan, lanjutnya, harus lebih menekankan pada pendekatan kekeluargaan, membangun interaksi yang baik antara peserta, pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan, dan pihak-pihak yang bertugas menangani anak-anak tersebut.
“Konsepnya harus benar-benar dimatangkan, dengan pendekatan yang mengutamakan kekeluargaan, selain melengkapi pembinaan disiplin,” kata Bima.
Bima juga menceritakan pengalamannya mengikuti retret kepala daerah di Akademi Militer, di mana para peserta mendapatkan materi tentang penguatan hubungan kekeluargaan dengan jajaran kementerian dan lembaga (K/L).
“Di sana kami merasakan kekeluargaan, ada team building. (Menempatkan anak bermasalah di barak) tempatnya boleh saja di barak, tetapi konsepnya harus melibatkan bimbingan atau konseling,” ujarnya.
Wali Kota Depok Berharap Tidak Banyak Anak di Wilayahnya yang Membutuhkan Pembinaan Semi-Militer
Pemerintah Kota Depok belum menerapkan kebijakan baru dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengenai pengiriman anak-anak yang bermasalah ke barak militer. Wali Kota Depok, Supian Suri, menjelaskan bahwa pihaknya masih mempertimbangkan anggaran dan akan belajar dari Kabupaten Purwakarta yang telah menjalankan program ini.
“Kami akan mempelajari program yang telah digulirkan oleh Purwakarta. Kami berharap dapat mengimplementasikannya di Kota Depok,” kata Supian, Jumat, 2 Mei 2025.
Supian menjelaskan bahwa berdasarkan kajian awal, terdapat dua opsi: membuat program serupa seperti di Purwakarta atau bergabung dengan program yang sudah ada di sana. “Dua opsi itu yang menjadi pertimbangan awal kami,” kata Supian.
Meskipun demikian, Supian berharap tidak banyak anak di Depok yang termasuk dalam kategori anak nakal dan harus mengikuti pembinaan semi-militer seperti di Purwakarta. “Sehingga kami cukup mengirimkan saja, tidak perlu membuat sekolah sendiri,” kata Supian.
Supian mengatakan bahwa pihaknya akan segera membahas hal ini dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
“Teman-teman masih menjajaki apakah kita perlu membangun program sendiri atau cukup mengirimkan saja. Ya, mudah-mudahan, InsyaAllah tidak perlu ada yang masuk sekolah di sana,” ucap Supian.
Daniel Ahmad Fajri dan Ahmad Fikri berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Kekerasan Terhadap Jurnalis saat Hari Buruh, KKJ Desak Kapolri Proses Hukum Anggotanya