5 Instrumen Investasi Aman di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global 2025

Avatar photo

- Penulis

Kamis, 26 Juni 2025 - 04:12 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ragamutama.com JAKARTA. Semester II-2025 masih akan diwarnai ketidakpastian, terutama terkait risiko eksternal. Namun, sinyal de-eskalasi konflik dan arah kebijakan The Fed yang lebih dovish membuka peluang bagi stabilisasi pasar.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan bahwa sentimen ketidakpastian global diperkirakan tetap akan berlanjut di semester II, meskipun intensitasnya bisa menurun. Faktor-faktor utama seperti konflik geopolitik Israel–Iran, tarif dagang AS (Trump tariffs), dan proyeksi pertumbuhan global yang lesu masih membayangi pasar.

Di sisi lain, sejumlah perkembangan terbaru memberi harapan meredanya tekanan. Pertama, konflik Israel–Iran memasuki fase de-eskalasi, dengan kesepakatan gencatan senjata diumumkan pada 24 Juni 2025.

Konflik Israel-Iran Memanas, Kemenkeu Fokus Jaga Ketahanan Pangan

“Meski implementasinya belum sepenuhnya tuntas, risiko ekstrem seperti penutupan Selat Hormuz telah berkurang signifikan, menurunkan harga minyak dari puncaknya di atas US$ 77 ke sekitar US$ 68 – US$ 70 per barel,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/6).

Lalu, dari sisi kebijakan moneter global, peluang pemangkasan suku bunga The Fed pada Juli 2025 meningkat pasca pernyataan dovish oleh Gubernur Bowman. Ini bisa menenangkan pasar dan memperkuat arus modal ke emerging markets seperti Indonesia.

“Namun, tarif dagang AS tetap menjadi faktor utama ketidakpastian karena berpotensi menurunkan perdagangan global, mendorong stagflasi, dan memicu volatilitas pasar,” jelasnya.

Nah, efek ke pasar keuangan Indonesia diperkirakan tetap campuran, tergantung dinamika eksternal dan respons domestik. Josua melihat rupiah berisiko tetap tertekan, meski tekanan dapat berkurang seiring meredanya harga minyak dan potensi pemangkasan Fed Funds Rate (FFR).

Namun, tren pelemahan rupiah sudah terlihat sejak awal Juni dengan USD/IDR menyentuh Rp 16.500, tetapi diperkirakan bisa kembali stabil di kisaran Rp 16.100 – Rp 16.400 jika eskalasi geopolitik mereda dan inflow membaik.

Baca Juga :  Reksadana Saham & Campuran Unggul Mei 2025, Ini Faktor Pendorongnya!

Lalu, yield SBN diperkirakan tetap berada di kisaran 6,7%-6,8%, karena tekanan global dan pelemahan rupiah mengurangi minat investor asing. Dari saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi karena risk-off sentimen, tetapi rebound didorong oleh rilis data retail sales China yang positif dan potensi Fed cut yang mengembalikan minat pada aset berisiko di Asia.

Sementara itu, neraca berjalan Indonesia berisiko melebar di 2025 karena harga minyak yang tinggi dan nilai tukar yang lemah.

Kemenkeu: Tidak Ada Negara yang Sepenuhnya Siap Hadapi Eskalasi Konflik Global

Di tengah ketidakpastian itu, Josua menilai beberapa instrumen yang dinilai tetap prospektif. Pertama, obligasi pemerintah jangka pendek–menengah, dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga BI sebesar 25–50 bps di semester II dan potensi capital inflows, obligasi seri FR0087, FR0091, dan FR0101 yang yield-nya kompetitif (6,2%–6,5%) dapat menjadi pilihan.

Kedua, emas sebagai lindung nilai atas risiko geopolitik dan inflasi. Harga emas telah naik 1,37% sejak serangan Israel ke Iran. “Selama ketidakpastian belum sepenuhnya usai, emas tetap menjadi instrumen defensif utama,” sebutnya.

Ketiga, di pasar saham, sektor consumer staples dan energi bisa tetap resilient. Menurutnya, konsumsi domestik relatif stabil, dan emiten energi bisa mendapat manfaat dari harga minyak yang tinggi jika tidak terlalu ekstrem.

Keempat, SBN Ritel dan Surat Berharga Valas BI. Josua menjelaskan, di tengah risiko pelemahan rupiah, investor ritel bisa mempertimbangkan SVBI/SUVBI atau SBN ritel yang memberikan imbal hasil menarik sekaligus berkontribusi pada stabilitas pasar domestik.

Baca Juga :  BEI Awasi Pergerakan Saham Informasi Teknologi Indonesia (JATI), Ini Penyebabnya

Dus, ia pun menyarankan investor sebaiknya menerapkan strategi defensif-dinamis. Yakni, diversifikasi aset berdasarkan horizon waktu dan sensitivitas risiko.

Untuk jangka pendek (0–6 bulan), fokus pada instrumen pasar uang, obligasi tenor pendek, dan emas. Pasar masih bergejolak dan likuiditas penting. Lalu jangka menengah (6–12 bulan) dengan  selektif masuk ke SBN tenor menengah–panjang saat yield tinggi, sembari menanti sinyal lebih kuat terkait suku bunga BI dan inflow.

“Jangka panjang dengan mulai akumulasi saham-saham dengan fundamental kuat yang terdampak sementara akibat sentimen, terutama di sektor defensif seperti telekomunikasi dan konsumer,” paparnya.

Ekonomi Indonesia Rentan Tekanan Global, Bank Dunia Ingatkan Risiko Serius

Strategi lainnya, melindungi portofolio dari risiko nilai tukar. Ia menyarankan untuk menggunakan instrumen lindung nilai (hedging) jika memiliki eksposur valas signifikan atau pertimbangkan alokasi sebagian ke aset dolar seperti US Treasury ETF atau instrumen DHE valas.

Kemudian, mencermati respons fiskal dan moneter lantaran BI kemungkinan tetap mempertahankan triple intervention policy (spot, DNDF, SBN) untuk menjaga stabilitas rupiah. Lalu, pemerintah juga dipandang cenderung tidak menaikkan harga Pertalite hingga minyak menyentuh US$ 100 per barel, memberi waktu bagi pasar untuk menyesuaikan diri.

Terakhir, menggunakan momentum bila terjadi koreksi harga. Bila terjadi koreksi tajam berbasis sentimen (bukan fundamental), gunakan sebagai entry point untuk akumulasi aset strategis.

“Dengan tetap waspada terhadap tekanan inflasi dan nilai tukar, investor disarankan untuk menjaga likuiditas, memilih aset defensif, serta mulai menyiapkan strategi akumulasi jika volatilitas mereda,” tutup Josua.

Berita Terkait

Bursa Asia Menguat pada Kamis (26/6) Pagi
Saham Ini Dibeli Grup Djarum dengan Harga Tinggi, Investor Perlu Ikut Beli / Jual?
Cermati Ini 8 Emiten yang Masuk Cum Date Kamis (26/6), Tertinggi Rp 273 per saham
Permintaan Energi AS Kuat, Harga Minyak Dunia Rebound
Saratoga Bakal Bagikan Dividen Senilai Rp 200 Miliar Setara Rp 14,75 Per Lembar Saham
Investor Pantau Iran-Israel dan Pernyataan Bos The Fed, Wall Street Ditutup Variatif
IHSG Diprediksi Rawan Terkoreksi pada Kamis (26/6), Simak Rekomendasi Saham Berikut
Bank Raya (AGRO) Dapat Restu Buyback Saham Senilai Rp 20 Miliar

Berita Terkait

Kamis, 26 Juni 2025 - 08:52 WIB

Bursa Asia Menguat pada Kamis (26/6) Pagi

Kamis, 26 Juni 2025 - 07:58 WIB

Saham Ini Dibeli Grup Djarum dengan Harga Tinggi, Investor Perlu Ikut Beli / Jual?

Kamis, 26 Juni 2025 - 07:47 WIB

Cermati Ini 8 Emiten yang Masuk Cum Date Kamis (26/6), Tertinggi Rp 273 per saham

Kamis, 26 Juni 2025 - 07:23 WIB

Permintaan Energi AS Kuat, Harga Minyak Dunia Rebound

Kamis, 26 Juni 2025 - 06:57 WIB

Saratoga Bakal Bagikan Dividen Senilai Rp 200 Miliar Setara Rp 14,75 Per Lembar Saham

Berita Terbaru

entertainment

Arnold Schwarzenegger Ungkap Film yang Paling Banyak Memberinya Uang

Kamis, 26 Jun 2025 - 09:42 WIB

sports

Klasemen Piala Dunia Antarklub 2025 Grup A Sampai Grup D

Kamis, 26 Jun 2025 - 09:27 WIB