Pernahkah kamu merasakan sepi yang menusuk, padahal kamu berada di tengah keramaian? Perasaan ini sering muncul di tempat-tempat yang kita kunjungi hanya untuk tujuan transaksi atau transit, seperti bandara, stasiun kereta, jalan tol, rest area, wahana wisata, hotel, pusat perbelanjaan, atau kantor pelayanan publik. Meski dikelilingi banyak orang, seringkali kita sulit menyimpan memori spesifik tentang lokasi-lokasi tersebut, karena interaksi yang terjadi cenderung dangkal dan fungsional.
Fenomena ini memiliki istilah tersendiri dalam studi antropologi. Konsep ini dikenal sebagai non-place, sebuah terminologi yang diperkenalkan oleh antropolog Prancis Marc Auge pada tahun 1992 melalui bukunya yang berjudul Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity. Menurut Auge, non-place adalah ruang yang lahir bersamaan dengan supermodernitas, sebuah kondisi di mana manusia mengalami surplus dalam tiga aspek kehidupan: waktu, ruang, dan individualitas, berkat kemudahan yang ditawarkan oleh penemuan teknologi baru. Kondisi berlebih ini kerap dianggap sebagai salah satu ciri dari tahapan akhir kapitalisme.
Mungkin konsep non-place masih terdengar abstrak. Untuk membantu kamu memvisualisasikannya lebih jauh, mari simak lima rekomendasi film berikut yang berlatar di berbagai jenis non-place. Siapa tahu, kamu merasa terhubung dengan pengalaman para tokohnya!
1. The Terminal (2004)
Untuk menyelami konsep non-place, film The Terminal adalah titik awal yang tepat. Film ini mengisahkan Viktor Navorski (diperankan oleh Tom Hanks), seorang turis Eropa Timur yang terperangkap di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Nasibnya terkatung-katung setelah negara asalnya tiba-tiba masuk dalam daftar hitam imigrasi Amerika akibat konflik politik. Viktor terpaksa menjadikan bandara sebagai rumahnya selama berhari-hari. Meskipun ia berhasil membangun beberapa koneksi dengan orang-orang di sana, tetap saja ada rasa hampa yang menyelimuti, seiring dengan nasibnya yang tanpa kepastian.
2. Mystery Train (1989)
Hotel atau penginapan juga dapat digolongkan sebagai non-place dalam kerangka konsep Marc Auge. Hal ini karena hotel menawarkan anonimitas penuh, di mana kehadiran penghuninya semata-mata bersifat transit. Dalam film Mystery Train, kita akan mengikuti tiga narasi berbeda yang semuanya berpusat di sebuah hotel di jantung Kota Memphis, Amerika Serikat. Setiap karakter dalam cerita memiliki permasalahan pribadi, namun benang merah yang menyatukan mereka adalah perasaan kesepian dan kehilangan arah, yang diperkuat oleh latar hotel yang impersonal.
3. Locke (2013)
Sebagai jalur yang hanya kita lewati untuk berpindah dari satu titik ke titik lain, jalan tol juga termasuk dalam kategori non-place. Film Locke menampilkan Tom Hardy sebagai seorang pria yang melakoni perjalanan penuh emosi, sebagian besar terjadi di dalam mobilnya di jalan tol. Meskipun hanya berdurasi beberapa jam, penonton akan diajak merasakan naik-turun emosi yang intens. Jalan tol dalam film ini menjadi representasi ideal dari non-place; sebuah ruang yang terasa begitu tidak signifikan, hanya dilintasi, tanpa adanya interaksi sosial yang bermakna yang terbentuk di sana.
4. Limbo (2020)
Limbo bercerita tentang sekelompok pencari suaka yang terdampar di sebuah pulau terpencil di Skotlandia, menanti keputusan atas permohonan mereka. Mereka tidak diizinkan bekerja dan hidup dalam kondisi yang membingungkan. Ketidakpastian yang berkelanjutan menghantui mereka, bahkan menyebabkan konsekuensi fatal. Dengan genre komedi gelap, latar film Limbo adalah penggambaran sempurna dari non-place, terutama dalam konteks hubungan kontraktual antara pengguna (pencari suaka) dengan pengelola atau sistem yang menaungi tempat tersebut.
5. Cloud (2024)
Selain tempat-tempat transit, lokasi yang berfungsi sebagai pusat transaksi, seperti mal atau pusat perbelanjaan, juga dapat disebut non-place. Di sana, koneksi yang bermakna jarang terjadi, dan satu-satunya alasan seseorang berada di sana adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi. Di era digital saat ini, marketplace daring pun menjadi pengganti mal fisik. Peran marketplace ini digambarkan secara gamblang dalam film Cloud karya Kiyoshi Kurosawa. Film ini mengikuti kisah seorang pria yang meraih kesuksesan dari bisnis jual beli barang bekas secara daring. Namun, kesuksesannya tidak diiringi dengan koneksi langsung dan tulus dengan konsumen serta rekan bisnisnya, hingga suatu hari ia diteror oleh orang-orang yang keberatan dengan sistem jual beli di tokonya.
Meski terkesan kompleks, konsep antropologi tentang non-place menjadi lebih mudah dipahami ketika diwujudkan dalam sebuah karya seni seperti film. Ini membuktikan bahwa film bukan hanya hiburan, tetapi juga medium kuat untuk merefleksikan dan mengapresiasi berbagai aspek eksistensi manusia.
6 Film Horor Terbaik Shudder di Paruh Awal 2025, Berani Nonton?