20 Tahun Damai Aceh: Kesejahteraan, Keadilan, Birokrasi Belum Tuntas?

Avatar photo

- Penulis

Jumat, 15 Agustus 2025 - 01:12 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Harapan untuk terus merawat perdamaian ini begitu kuat, namun bayang-bayang isu yang belum teratasi seperti kesejahteraan ekonomi, ketidakadilan, dan tata kelola birokrasi lokal masih menyelimuti.

Peringatan 20 tahun perjanjian damai Aceh diselimuti tarik-menarik antara harapan dan ketakutan, antara sinisme dan rasa percaya, serta antara progres dan penolakan. Harapan menggantung tinggi karena dua puluh tahun perdamaian di Aceh ditafsirkan sebagai bukti bahwa siklus kekerasan di wilayah itu hanyalah mitos belaka. Namun, suara-suara kekecewaan tidak bisa disembunyikan, menegaskan bahwa perdamaian belum diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Aceh. Tantangan untuk terus membangun kepercayaan antara Aceh dan Jakarta juga terus digaungkan. Begitu pula suara-suara para korban konflik yang seolah tidak terdengar, terus didengungkan agar konflik berdarah di masa lalu tidak terulang. Selama sepuluh hari, BBC News Indonesia menjelajahi Banda Aceh dan sebuah desa di pesisir pantai Barat-Selatan wilayah itu, dan ini adalah seri pertama dari dua tulisan yang akan kami hadirkan.

“Di masa damai sekarang, istri kedua Muzakir itu becak mesin miliknya, bukan lagi senapan M-16,” ujar Saiful setengah berseloroh di hadapan kawannya, Muzakir. Mata Saiful melirik becak mesin butut milik temannya itu. Di hadapan saya dan Saiful, Muzakir hanya tersipu. Saiful dan Muzakir adalah warga Gampong Lambleut, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, yang berteman sejak Aceh luluh-lantak akibat konflik bersenjata. Muzakir, kelahiran 1976, adalah eks kombatan GAM, sementara Saiful (53 tahun) adalah tipikal warga Aceh kebanyakan yang memilih tidak terjebak dalam konflik tersebut.

Saat bergerilya sekitar empat tahun di pegunungan Aceh Besar, Muzakir memiliki senapan M-16. Senjata mematikan itulah yang dia sebut sebagai istrinya—saat itu dia masih bujangan. Ke mana pun dia pergi, termasuk saat tidur atau buang air besar, ‘sang istri’ itu selalu di sampingnya. Namun, itu dulu. Sejak GAM dan pemerintah Indonesia memilih berdamai pada 2005, Muzakir dan eks kombatan GAM lainnya harus merelakan ‘istri’ mereka untuk dihancurkan. Sebagai gantinya, ribuan pasukan TNI non-organik wajib ditarik dari Aceh. Kini, seperti diutarakan Saiful, pria kelahiran Pidie itu sangat mengandalkan becak mesinnya agar asap dapurnya tetap mengepul. Sehari-hari, dini hari atau selepas subuh, dia mengendarai becak mesinnya ke pasar ikan Lampulo di Banda Aceh, perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam. Di sanalah dia menawarkan jasa mengangkut ikan-ikan dari kapal nelayan yang baru merapat. Jika musim banyak ikan, Muzakir dapat menjual ikan ke Gampong Leubok Buni, Aceh Besar, tempat dia bersama istrinya tinggal dan membesarkan 10 anaknya.

Namun, saat saya dan videografer BBC, Dwiki Marta, menemui Muzakir di rumahnya pada 22 Juli lalu, dia terlihat mengeluh lantaran sudah beberapa hari tak berangkat ke Pasar Ikan Lampulo. “Sedang musim badai, tidak ada kapal yang melaut,” kata Muzakir, yang berarti tidak ada ikan yang bisa dia angkut. Kantongnya makin menipis karena tidak ada pemasukan, “Padahal ada biaya yang harus ditanggung, terutama terkait sekolah anak-anak.” Sampai awal Agustus 2025 lalu, musim badai itu tak kunjung berakhir. Praktis, ia hanya mengandalkan istrinya yang membuka jasa menjahit dan menjadi agen penjualan gas elpiji 3 kg.

Dalam situasi seperti itulah, ketika saya bertanya apa yang ia pikirkan saat perdamaian Aceh sudah memasuki 20 tahun, Muzakir menyalahkan keadaan sekarang. Jika memang Aceh digambarkan mengalami perubahan lebih baik setelah perdamaian diteken, dan lebih-lebih ketika sejumlah eks elit GAM berhasil berkuasa dalam pemilu yang demokratis, sosok Muzakir adalah komponen penting di dalamnya. Dia menghormati Muzakir Manaf, bekas panglima perangnya yang baru beberapa bulan menempati posisi sebagai Gubernur Aceh. Dan dia bukan pembelot, dia tetap setia menjadi anggota Partai Aceh – jelmaan GAM – yang sebagian elitnya berkuasa menjadi bupati dan gubernur. Dia hanya frustrasi atas pilihan damai yang disebutnya tidak menjanjikan apa pun bagi kemajuan ekonomi, setidaknya dari cara pandang dan pengalamannya sendiri.

Muzakir, yang tidak lulus SMP saat bergabung GAM pada akhir 1980-an, tentu mengetahui predikat Aceh sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia, di samping masalah tingginya pengangguran di sana. Tidak menutupi perasaannya, Muzakir bahkan membandingkan situasi sekarang dengan saat ia masih bergerilya di hutan-hutan dan pegunungan Aceh Besar. “Kalau dulu, kalau ada makanan, sama-sama makan bersama. Kalau tak ada, sama-sama diam,” ujarnya lirih. “Kalau sekarang, enggak ada nasi, beras, itu yang susah.”

Sampai di sini, Anda mungkin mengira Muzakir hanya sesumbar. Tidak, ada kalimat lanjutannya. Dia kemudian jelas-jelas menyindir tajam para pemimpin di Aceh, meskipun dia masih menaruh kepercayaan kepada mualem—panggilan akrab kepada Muzakir Manaf, Gubernur Aceh dan Ketua Umum Partai Aceh. “Kalau petinggi, kami enggak tahu. Kalau kami pion, beginilah keadaannya,” Muzakir melepas tawa getirnya. Bukankah setelah perdamaian, Anda bisa hidup tenang dan kembali ke kampung serta membangun keluarga, sahut saya. Muzakir menatap saya, dan tidak memungkiri dirinya ikut mensyukuri tak ada lagi perang, sehingga masyarakat Aceh bisa beraktivitas normal. Namun, sambungnya cepat-cepat, situasi sekarang tidaklah mudah. “Itulah selama masa damai ini, untuk kemakmuran memang kurang.”

Apa yang dikeluhkan Muzakir ini, seperti yang terekam dalam pertemuan saya dengan sejumlah orang di Aceh, mulai akademisi hingga politikus, jamak terdengar dan mirip ratapan massal: Mereka menyambut positif perdamaian yang memasuki tahun ke-20, tetapi menganggap kesejahteraan masyarakat Aceh belum terealisasi. Ada yang pesimisme, tetapi hampir bersamaan ada pula yang bersikap optimis. Dalam derajat tertentu, muncul pula suara-suara yang menganggap apa yang mereka sebut sebagai ketidakpercayaan Jakarta kepada Aceh sebagai biang keroknya. Tapi ada pula yang menganggap soal tata kelola di Aceh yang justru amburadul.

Kemiskinan dan hubungan Aceh-Jakarta

Orang yang bisa disebut bersikap optimis adalah Shaummil Hadi, peneliti dan staf pengajar di Fisip Universitas Almuslim di Kota Bireuen, Aceh. Bagi Shaummil, kedekatan personal antara Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, merupakan berkah yang harus dirawat. “Kedekatan itu membantu sekali,” kata pria kelahiran 1981 ini saat saya temui di Banda Aceh, 28 Juli lalu. Selama ini, menurutnya, Jakarta terkesan ragu dalam melihat Aceh, lantaran pemerintah pusat disebutnya kekurangan informasi. “Mengapa ini terjadi? Karena selama ini keterhubungan itu kurang kuat.” Akibat hubungan yang selama ini kurang kuat, sambungnya, Jakarta tidak percaya kepada Aceh. Keputusan kontroversial Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tentang status empat pulau adalah buktinya—walaupun kemudian diralat oleh Presiden Prabowo setelah muncul kemarahan massal di Aceh. “Ini semacam ketidakpedulian Jakarta terhadap konteks Aceh. Itu seperti mengulangi masalah di tahun 1950-an dan model tahun 1970-an,” katanya. Sikap seperti itu bisa muncul, demikian analisisnya, lantaran sebagian elite di Jakarta seolah melihat Aceh masih disibukkan soal ‘self-determination’. Untuk itulah, Shaummil menyarankan narasi seperti itu sudah saatnya dikesampingkan. Dia lalu menyarankan Jakarta lebih peka pada situasi Aceh kontemporer saat ini.

“Mungkin juga [Jakarta] tidak melihat struktur penduduk di Aceh yang dominan Generasi Z. Mungkin juga mereka tidak melihat persoalan ekonomi di Aceh.” Fakta bahwa Aceh merupakan daerah termiskin di Pulau Sumatra pun dia garisbawahi. Dia menganggap, pemerintah pusat mesti memahami bahwa kemiskinan di Aceh tidak terlepas dari faktor geografi. “Aceh itu wilayahnya seperti terkunci, makanya tergantung wilayah lainnya di Sumatra,” ungkapnya.

Baca Juga :  Raja Yordania Murka, Iran Serang Pangkalan AS di Qatar Jadi Sorotan

Bicara soal posisi geografi Aceh yang seperti terkunci dan masalah kemiskinan di Aceh, Teuku Kamaruzzaman, eks anggota tim juru runding GAM semasa konflik, menaruh harapan pada revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Proses revisi itu digagas DPR Aceh dan saat ini sedang digodok DPR pusat. Saat ini Kamaruzzaman dipercaya sebagai juru bicara pemerintah Aceh. Dia juga terlibat intensif dalam revisi UUPA. Seperti diketahui, DPR Aceh telah merevisi beberapa pasal dalam UUPA yang intinya agar Aceh diberi wewenang lebih besar. Ini ditekankan para elit di Aceh lantaran seperti itulah tafsir mereka atas pasal-pasal dari Kesepakatan Helsinki 2005.

Setidaknya ada sembilan pasal yang ingin direvisi oleh DPR Aceh, mulai soal zakat dan pajak, dana otonomi khusus agar dibuat permanen, hingga soal Aceh berhak mendapat keuntungan 70% dari pembagian keuntungan gas dan minyak di perairan Aceh. Ampon Man, panggilan akrab Kamaruzzaman, mengatakan revisi UUPA ini sangat penting bagi Aceh, karena dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat Aceh. Dia kemudian memberi contoh, jika Aceh diberi wewenang lebih besar dalam ekspor impor, keuntungannya bisa berdampak langsung bagi pendapatan wilayah itu. Hal ini ditekankan Kamaruzzaman saat berdebat dengan Jusuf Kalla, mantan wakil presiden dan sosok penting di balik perjanjian damai di Helsinki. Perdebatan keduanya muncul ketika UUPA baru disahkan DPR. Kamaruzzaman memprotes aturan ekspor-impor yang disebutnya tidak sesuai semangat pasal-pasal Kesepakatan Helsinki. “Kami sudah ketemu Pak JK. Kami tolak itu,” ungkapnya. Pasalnya, draf yang dibuat oleh tim Aceh ditolak dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. “Diikat semua dan di bawah ketentuan hukum nasional,” ujar Kamaruzzaman.

Padahal, jika Aceh diberi wewenang lebih besar soal ekspor-impor itu, bakal menguntungkan finansial Aceh. Mirip yang dikatakan Shaummul, geografi Aceh di titik paling ujung Sumatra, dan satu-satunya pintu keluar-masuk adalah ke Sumatra Utara dan seterusnya. Jika saja wewenang ekspor-impor itu diperbesar, Aceh diuntungkan karena ‘di atas’ Aceh itu ada India, Timur Tengah, dan akses ke China melalui Myanmar. “Di atas kita ada tiga milyar lebih manusia, bahkan Aceh paling dekat ke Timur Tengah, Singapura atau Malaysia,” kata Kamaruzzaman. Impian ‘bebas berdagang’ seperti ini sudah dibayangkan oleh salah seorang juru runding GAM, Malik Mahmud saat perundingan di Helsinki. “Tapi akhirnya kandas, itu enggak bisa, karena berbenturan dengan Konstitusi Indonesia,” kata Kamaruzzaman kepada saya di Banda Aceh, Jumat, 1 Agustus 2025. Ketika dihadapkan tembok seperti itu, Kamaruzzaman berpikir bahwa Konstitusi Indonesia itu cocok untuk masyarakat homogen, dan tidak bisa bagi masyarakat heterogen. “Dari sisi Konstitusi, enggak ada itu Bhinneka Tunggal Ika, itu cuma simbol belaka,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh, dan kini berprofesi sebagai advokat ini.

Bagaimanapun, dalam momen 20 tahun perdamaian Helsinki, dia berharap Presiden Prabowo Subianto memainkan perannya dalam revisi UUPA. “Karena dengan revisi itu, dua-duanya [Aceh dan pemerintah pusat] akan dapat keuntungan besar,” katanya. Apalagi Prabowo disebutnya memiliki hubungan personal yang baik dengan Muzakir Manaf. “Dia memahami konteks Aceh,” katanya. Kamaruzzaman, seperti halnya Shaummil, jelas bersikap optimis. Tetapi tidak semua sependapat dengan cara pandang seperti itu. Wajah Munawar Liza, eks anggota tim juru runding GAM di Helsinki dan mantan Wali Kota Sabang (2007-2012) terlihat mengeras, ketika saya tanyakan apa yang di benaknya melihat kedekatan hubungan Presiden Prabowo dan Muzakir Manaf. “Ada baiknya, ada buruknya,” kata Munawar, kelahiran 1973. Sisi baiknya, menurutnya, Aceh selalu ada dalam pikiran Prabowo. Dia merasa bahwa Aceh ada dalam mindset-nya. “Tapi terkait dengan kebijakannya menyangkut keuntungan Aceh, saya masih pesimis,” kata Munawar yang dulu pernah bergabung dengan Partai Nanggroe Aceh (PNA) – sebagian elit partai ini dulu adalah anggota GAM, termasuk eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

Dia menilai, pendekatan Prabowo ke Aceh lebih dilatari kepentingan oligarki, pribadi, serta bisnisnya. Munawar kemudian memberikan contoh saat adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, datang ke Aceh untuk meresmikan pabrik miliknya di Aceh Barat, awal Juli 2025. “Adiknya presiden [Hashim Djojohadikusumo] itu bukan presiden, tapi ketika dia datang seolah-olah terasosiasi dengan Prabowo. Dia kan non-struktural, bukan menteri. Mestinya hubungan dengan Aceh itu struktural, misalnya, Prabowo membawa menteri keuangan, menteri investasi, datang ke Aceh, misalnya, menyelesaikan persoalan Aceh, membantu Aceh untuk keluar dari kemiskinan. Itu yang saya harap,” jelasnya.

Temuan ladang gas di perairan Aceh, berkah atau kutukan?

Semenjak perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Mubadala Energy, mengumumkan temuan gas berskala besar di lepas Pantai Aceh Utara dan Lhokseumawe, muncul semacam euforia: Inilah berkah, inilah obat mujarab guna mengatasi kemiskinan di Aceh. Mulai Presiden Prabowo, Gubernur Aceh Muzakir Manaf hingga warga Aceh seperti Muzakir ikut berkomentar tentang temuan ladang gas di perairan Aceh tersebut. “Hasilnya harus untuk Aceh, jangan dibawa ke tempat lain,” Muzakir berharap. Muzakir, tentu saja, setia mengikuti perkembangan soal temuan cadangan gas di perairan Aceh ini, dan dia berpikir sederhana saja, bagaimana caranya keberadaannya kelak dapat membuka lapangan kerja sebesar-besarnya. “Itu harapan untuk kesejahteraan anak-anak Aceh yang banyak menganggur,” katanya. “Utamakan anak-anak Aceh.”

Bukan hanya Muzakir yang berpikir seperti itu. Kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas Aceh (BPMA), Nasri Djalal pun memiliki harapan sama. “Saya pikir temuan ini suatu berkah,” kata Nasri Djalal kepada saya dan videografer Dwiki Marta, 1 Agustus lalu, di kantornya di Banda Aceh. “Tinggal bagaimana mengelolanya, sehingga dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Aceh,” tambahnya. Perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Mubadala akan menjadi operator di Blok Andaman 1, sementara perusahaan energi asal Inggris, Harbour Energy, akan menjadi operator di Blok Andaman 2. Temuan ini di Blok Andaman 1 memiliki potensi mencapai 6 triliun kaki kubik (TCF). Adapun temuan di Blok 2 disebut berpotensi mencapai sekitar 5,5 triliun kaki kubik. “Secara total di Blok Andaman itu di bawah ladang gas alam Arun [di Lhokseumawe]. Arun dulu di tahun 1970-an sekitar 16 triliun kaki kubik. Dan Blok Andaman total 10 triliun kaki kubik,” ungkap Nasri.

Lantaran lokasi temuan di Blok Andaman itu di atas 12 mil laut, sesuai regulasi, maka menjadi wewenang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). “Kewenangan BPMA hanya sebatas wilayah darat sampai dengan 12 mil laut,” kata Nasri. Namun saat ini pihaknya tetap bekerja sama dengan SKK Migas untuk pengelolaan di atas 12 mil laut. Gubernur Aceh Muzakir Manaf telah menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar dilibatkan dalam proyek ini. Dengan demikian, seperti apa pembagian keuntungannya? “Kalau di luar wilayah kewenangan BPMA, Aceh mendapatkan 30%, sementara pemerintah pusat 70%.”

Masalah besaran bagi hasil ini dan sejauh mana Aceh mendapatkan keuntungan, menurut Nasri Djalal, merupakan hal penting. Dia menekankan hal itu agar masalah ketidakadilan yang pernah muncul di tahun 1970-an tidak terulang. Di sini Nasri menyinggung apa yang terjadi pada PT Arun di Lhokseumawe, Aceh Utara. PT Arun, atau PT Arun Natural Gas Liquefaction, adalah bekas perusahaan pengolahan gas alam yang berlokasi di Blang Lancang, Lhokseumawe. Dulu, kilang Arun merupakan salah satu produsen LNG terbesar di dunia. Namun, operasinya dihentikan pada akhir tahun 2015 karena cadangan gas alamnya menipis. ExxonMobil pernah beroperasi di Aceh melalui anak perusahaannya, Mobil Oil Indonesia, yang mengelola ladang gas Arun. Selama beroperasi, mereka dituduh melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil – yang melibatkan TNI. Kemunculan GAM yang dideklarasikan Hasan Tiro pada 1976 tidak terlepas dari keberadaan PT Arun dan ExxonMobil. “Secara historis kami dapat membaca bahwa pergolakan itu terjadi karena tidak adanya keadilan. Di mana pada saat itu belum ada undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah,” jelasnya.

Baca Juga :  KPK Kembali Periksa Anggota DPR Satori Kasus Korupsi CSR BI-OJK

Saat itu, lanjutnya, seluruh hasil keuntungan semuanya dibawa ke Jakarta. “Dengan pembagian yang relatif sangat sedikit untuk Aceh,” kata Nasri. Dilatari persoalan seperti inilah, DPR Aceh merevisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada Aceh dalam pengelolaan migas, di antaranya akses ke wilayah laut yang lebih luas dan potensi bagi hasil yang lebih adil. “Kami membuat lagi komposisi yang lebih adil. Logikanya begini, ketika ada sumber daya alam yang menguntungkan suatu daerah, maka daerah itu harus makmur dulu,” kata Teuku Kamaruzzaman, eks juru runding GAM yang kini dilibatkan dalam revisi UUPA. “Jadi menurut Anda, temuan cadangan gas di perairan Aceh itu berkah atau kutukan?” saya bertanya lagi kepadanya. “Saya kira berkah. Tapi berkahnya untuk siapa? Seharusnya berkahnya untuk masyarakat Aceh. Makanya harus diubah pasal dalam UUPA,” kata Kamaruzzaman.

Selesai? Belum. Peneliti dan staf pengajar di sebuah perguruan tinggi di Kota Biereun, Shaummil Hadi mengatakan, karena perusahaan migas itu padat modal yang membutuhkan “tenaga terampil”, Aceh harus mempersiapkan sumber dayanya. “Kewajiban investor migas itu sendiri untuk mendidik sumber daya lokal di Aceh,” kata Shaummil. BPMA sendiri sudah mengajak sejumlah kampus di Aceh untuk mempersiapkan anak didiknya untuk kelak berkecimpung di industri hulu migas. Baginya, keberadaan perusahaan migas ini bakal menjadi daya tarik bagi investor untuk berduyun-duyun masuk ke Aceh. “Kalau investor migas sudah masuk, saya yakin investor lain juga akan masuk. Jadi trust (kepercayaan) yang mau kita bangun,” paparnya. Dengan kata lain, solusi masalah pengangguran dan kemiskinan di Aceh itu bukan pada industri migasnya. “Tapi dari investasi dari industri lainnya yang timbul nantinya. Misalnya industri pengolahan. Di sini tugas pemerintah Aceh untuk mengembangkannya.” Bagaimana dengan produksi gasnya, apakah bakal ada yang memanfaatkan dan membelinya? Menurut Kepala BPMA, Nasri Djalal, pihaknya membutuhkan investor untuk berinvestasi di Aceh, utamanya yang membutuhkan gas.

Masalah tata kelola dan ongkos perdamaian

Bukan rahasia lagi, isu kemiskinan dan kesejahteraan ekonomi adalah salah satu narasi yang paling menyedot perhatian masyarakat Aceh, di sela-sela peringatan 20 tahun perdamaian di Aceh. Di media sosial, di ruangan seminar yang melibatkan para pakar, hingga obrolan ringan tapi tajam di warung-warung kopi, dua masalah itu menjadi topik yang seolah-olah tidak ada habisnya. Biasanya, mereka kemudian membandingkan isu itu dengan gelontoran dana otonomi khusus (otsus) dari pemerintah pusat. Semestinya keberadaan dana itu berjalan seiring bagi pengentasan kemiskinan di Aceh, begitulah narasi yang berkembang. Dan ketika diskusi menukik kepada siapa yang harus bertanggung jawab, muncullah anggapan bahwa ini bisa terjadi karena sebagian pejabat di Aceh tidak mampu mengelolanya.

Syaiful Mahdi, peneliti dan staf pengajar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tidak memungkiri ada persoalan tata kelola birokrasi. Hanya saja, Syaiful Mahdi melihat Jakarta seperti menutup mata terhadap persoalan ini. Argumen yang mendasarinya, menurutnya, pemerintah pusat seolah menganggap Aceh saat ini masih dalam masa transisi. “Sehingga seolah-olah perilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) tidak begitu menjadi perhatian, atau dibiarkan, dengan alasan Aceh sedang dalam masa transisi,” kata Syaiful Mahdi saat saya temui di Banda Aceh, 21 Juli lalu. Dia menduga, sikap Jakarta yang seolah-olah menutup mata terhadap masalah tata kelola di Aceh, sebagai “ongkos atau biaya perdamaian”. “Atau sebagian yang lain mengatakan, dalam Bahasa yang lebih positif, yaitu peace dividend sehingga semua orang kebagian,” kata Saiful Mahdi. Bisa saja, dia melanjutkan, orang-orang yang dulu mungkin berjuang untuk melawan ketidakadilan di Aceh, dan sekarang menjadi pemimpin, justru “tidak bisa bersikap adil”. “Dulu sebagian mereka yang hidup susah, begitu mendapatkan kesempatan, sehingga memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.”

Dan, lagi-lagi Saiful Mahdi menekankan, masalah seperti ini terkesan dibiarkan terjadi begitu saja. “Bahwa Aceh masih bisa damai sampai 20 tahun, sebagian orang mengatakan itu ongkos kecil lah dibandingkan dengan level korupsi yang lebih besar di tempat lain,” ungkapnya. “Tapi,” Saiful Mahdi menekankan, “saya ingin memberi catatan setelah 20 tahun damai, seharusnya masa transisi jangan lagi menjadi alasan.” Walaupun dengan tekanan agak berbeda, sejumlah orang di Aceh yang saya hubungi mengakui masalah tata kelola oleh para pejabat terkait ikut menyumbang masalah kesejahteraan di Aceh. Teuku Kamaruzzaman, eks juru runding GAM di masa konflik, dan dikenal pula sebagai juru bicara pemerintah Aceh, mengaku “ada masalah di tata kelola”. “Ada persoalan birokrasi. Ketika ada kewenangan, seperti diatur dalam UUPA, birokrasi boleh membesarkan dirinya, sehingga dana banyak terserap pada belanja aparatur, dan bukan belanja modal atau melayani publik. Itu sebuah persoalan,” Kamaruzzaman menjelaskan.

Shaummil Hadi, staf pengajar di sebuah perguruan tinggi di Bireuen, Aceh, juga tidak menutup mata terhadap masalah tata kelola birokrasi Aceh. “Penggelontoran dana otsus yang penting itu, harus dikunci juga dengan tata kelola yang baik,” kata Shaummil. “Kalau tidak, [program pembangunan] tidak berimbas ke masyarakat.” Namun bagi Munawar Liza, eks anggota tim juru runding GAM di Helsinki, masalah tata kelola itu bukanlah khas Aceh semata. Hampir masalah yang sama juga terjadi di wilayah lain di Indonesia, katanya. “Bukan murni di Aceh saja. Tapi semua wilayah di Indonesia, terkait proyek-proyek pembangunan, itu sama masalahnya. Apa yang terjadi di IKN, Hambalang, itu kan sama,” ujarnya. Dia kemudian memberikan contoh kasus-kasus terkait tata kelola di dunia birokrasi. “Coba kalau aparat tidak menjadi kontraktor, atau tidak membackingi kontraktor, mungkin akan lebih bagus,” kata Munawar. Di ujung wawancara, Munawar akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa “negara kita memang sedang sakit.”

  • Mengapa eks kombatan GAM mengangkat senjata lagi?
  • ‘Bingkisan Syariat Islam itu diletakkan di depan parlemen Aceh’
  • Mendirikan museum, merawat perdamaian di Aceh
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: ‘Hikmah terbesar dari tsunami adalah perdamaian Indonesia-GAM’
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Kisah ‘bocah ajaib’ Martunis Ronaldo bertahan hidup selama 21 hari – ‘Saya dikelilingi mayat dan dikira hantu’
  • Warga desa Aceh dapat ganti rugi dari ExxonMobil atas gugatan penyiksaan oleh tentara Indonesia yang disewa
  • Kesaksian korban dugaan pelanggaran HAM di Aceh yang gugat ExxonMobil di AS: ‘Ada yang ditembak dan dipukul gara-gara pohon durian, besoknya minta maaf’

Berita Terkait

Hilman Latief: Profil Pejabat Kemenag yang Kantornya Digeledah KPK
Hasto Kristiyanto: Dari Amnesti ke Sekjen PDIP Lagi, Kok Bisa?
Demo Pati: Kapolri Janji Fasilitasi Aspirasi, Situasi Terkini
Reuni Para Presiden! SBY, Jokowi, Megawati Hadiri HUT RI di Istana
Bupati Pati Dimakzulkan? Reaksi Warga dan Implikasi Hukum!
Sudewo Terancam? Pansus DPRD Pati Belum Pastikan Pemakzulan!
Sudewo ‘Ngawur’? DPRD Pati Siap Makzulkan! Kebijakan Dikritisi
Angket PBB Pati: Ketua Pansus Ungkap Fakta Mengejutkan!

Berita Terkait

Jumat, 15 Agustus 2025 - 01:12 WIB

20 Tahun Damai Aceh: Kesejahteraan, Keadilan, Birokrasi Belum Tuntas?

Kamis, 14 Agustus 2025 - 22:24 WIB

Hilman Latief: Profil Pejabat Kemenag yang Kantornya Digeledah KPK

Kamis, 14 Agustus 2025 - 16:34 WIB

Hasto Kristiyanto: Dari Amnesti ke Sekjen PDIP Lagi, Kok Bisa?

Kamis, 14 Agustus 2025 - 15:17 WIB

Demo Pati: Kapolri Janji Fasilitasi Aspirasi, Situasi Terkini

Kamis, 14 Agustus 2025 - 13:53 WIB

Reuni Para Presiden! SBY, Jokowi, Megawati Hadiri HUT RI di Istana

Berita Terbaru

sports

Spurs Kalah dari PSG: Dokter Gagal Selamatkan Pasien?

Jumat, 15 Agu 2025 - 02:00 WIB