Dua Saham BEI Masuk Indeks Global FTSE, Harga Malah Terjun: Saatnya Beli atau Jual?
Fenomena menarik terjadi di pasar modal Indonesia. Dua saham pilihan, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Daaz Bara Lestari Tbk (DAAZ), resmi akan menjadi bagian dari konstituen indeks global bergengsi, FTSE Global Equity Index Series, mulai Juni 2025. Namun, di tengah euforia pengumuman tersebut, harga kedua saham ini justru terpantau melemah. Kondisi ini sontak memunculkan pertanyaan krusial di benak investor: apakah ini momen tepat untuk mengakumulasi atau justru melepas saham-saham tersebut?
Pengumuman dari FTSE Russell, yang dirilis pada Jumat (23/5) lalu, mengonfirmasi hasil tinjauan kuartalan untuk edisi Juni 2025. AADI akan bergabung dalam kategori *small cap* atau emiten berkapitalisasi pasar kecil, sementara DAAZ masuk dalam kelompok *micro cap*, yang mewakili perusahaan dengan kapitalisasi pasar sangat kecil. Keputusan ini akan berlaku efektif pada Senin, 23 Juni 2025, atau setelah penutupan perdagangan pada Jumat, 20 Juni 2025. Uniknya, tinjauan FTSE kali ini tidak membawa perubahan pada kategori *large cap* maupun *mid cap* untuk saham-saham asal Indonesia.
Paradoks pasar semakin terlihat jelas dari pergerakan harga saham AADI dan DAAZ belakangan ini. Pada perdagangan Rabu, 28 Mei 2025, harga saham DAAZ ditutup pada level Rp 4.310, anjlok 80 poin atau setara 1,82% dibandingkan hari sebelumnya. Nasib serupa menimpa AADI, yang pada hari yang sama tercatat ditutup di level Rp 7.225, melemah 100 poin atau 1,37%. Penurunan ini terjadi meskipun prospek jangka panjang mereka seharusnya cerah berkat inklusi dalam indeks global.
Untuk memahami lebih dalam kondisi kedua emiten ini, penting untuk menilik kinerja keuangan terbaru mereka. AADI mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$ 1,16 miliar pada kuartal I-2025. Angka ini lebih rendah 11,45% secara *year-on-year* (YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 1,31 miliar. Mayoritas pendapatan AADI ditopang oleh segmen bisnis pertambangan dan perdagangan batubara senilai US$ 1,11 miliar, diikuti oleh segmen logistik sebesar US$ 131,15 juta, serta segmen lain-lain sebesar US$ 17,93 juta, setelah eliminasi sebesar US$ 98,77 juta. Laba bersih periode berjalan yang diatribusikan kepada entitas pemilik induk AADI juga terkoreksi signifikan, anjlok 29,19% YoY menjadi US$ 196 juta dari US$ 276,79 juta.
Berbanding terbalik dengan AADI, DAAZ menunjukkan performa finansial yang jauh lebih impresif. Perseroan ini berhasil membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 58,63% pada kuartal I 2025, mencapai Rp 3,08 triliun. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan volume dan nilai penjualan di seluruh lini bisnis utamanya, termasuk perdagangan bijih nikel, batubara, dan bahan bakar, serta jasa angkutan laut dan jasa pertambangan. Peningkatan pendapatan usaha ini secara langsung mendongkrak tingkat profitabilitas perseroan, di mana laba bersih DAAZ melonjak signifikan 46,62%, mencapai Rp 133,83 miliar dibandingkan Rp 91,28 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Menanggapi kondisi ini, *Head of Equity Research* Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas, memberikan pandangannya khusus untuk saham AADI. Meskipun kinerja keuangan AADI pada kuartal I 2025 memang mengalami penurunan, harga sahamnya sempat menunjukkan kenaikan signifikan sebelumnya. Tercatat, harga saham AADI pernah menyentuh titik terendah Rp 5.750 pada 8 April 2025, sebelum kemudian terus meningkat.
Berdasarkan perhitungan Sukarno, valuasi saham AADI masih tergolong *undervalue* karena *price earning ratio* (PER) yang berada di bawah 15x. Oleh karena itu, Kiwoom Sekuritas merekomendasikan *trading buy* untuk saham AADI, dengan target harga antara Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per saham, serta patokan *support* di level Rp 6.650. Perbedaan kinerja keuangan dan pandangan analis ini menambah kompleksitas bagi investor untuk membuat keputusan investasi di kedua saham yang baru akan menjadi bagian dari indeks global tersebut.